basketball match.
CW // harsh words, violence.
Saat pertandingan basket sebentar lagi di mulai, Haidan menggunakan jersey-nya di atas kaos putihnya, dan menggunakan celana basket sebagai bawahan. Ia pun memanggil anggota-anggota tim-nya untuk berkumpul di lapangan; walaupun Haidan bukan kapten tim tersebut.
Tim dari kelas sebelah mereka ikut berkumpul juga di lapangan basket. Mereka terlihat sudah siap untuk bertanding. “Kalau nggak menang gapapa, oke? Semangat!” seru Jian. Semuanya berseru dan kedua tim berkumpul di tengah-tengah lapangan.
Pertandingan pun di mulai, semua siswa-siswi bersorak untuk tim yang mereka dukung. Beberapa guru juga ikut menyoraki pertandingan mereka.
Haidan, sudah merasakan keringat yang bercucur di tubuhnya. Ia juga merasa gugup dan takut. Hingga menyebabkan dirinya tidak terlalu fokus. Sampai Jiandra harus meneriaki Haidan supaya Ia dapat sadar kembali dan fokus bermain dalam pertandingan yang ketat ini.
Para tubuh-tubuh lawan tim jauh lebih besar jika dibandingkan dengan mereka. Kabarnya, tim tersebut begitu unggul. Mereka juga pernah mengikuti lomba-lomba pertandingan basket hingga ke luar kota. Namun, karena Haidan memiliki tekad yang besar, Ia memberanikan diri untuk melawan mereka.
Bugh! Bugh! Bugh!
Tiga kali berturut-turut, Haidan terjatuh. Ia di dorong oleh lawan pemain, tetapi tidak ada yang menyadarinya. Sungguh sial. “Haidan!” seru Jian, berlari ke arah sahabatnya. “Lo gapapa?” tanya Jian sembari membantu Haidan berdiri kembali. “Gue gapapa kok Ji,” ucap Haidan.
“Tapi lo udah luka-luka gitu tolol! Udah sana lo ke UKS gih, nggak usah khawatir sama pertandingan ini,” gerutu Jian. Kini, Haidan sedang berdebat di dalam pikirannya. Kalau Ia berhenti, takutnya para pendukungnya kecewa. Tapi kalau Ia tetap lanjut, dirinya akan bertambah sakit dan luka.
Sialan, sudahlah. Ia mengalah saja.
“Yaudah, gue ke UKS.” Haidan berjalan perlahan keluar dari lapangan basket. “Yoi! Jangan khawatir bro, kita pasti menang kok!” sahut Jian. Akhirnya, pertandingan tersebut tetap berlanjut meski Haidan tidak ikut bermain lagi. Walaupun Ia masih merasa kecewa terhadap dirinya sendiri.
Haidan berjalan perlahan-lahan ke arah ruangan UKS untuk mengobati dirinya. Tak hanya fisiknya yang kacau, pikirannya pun juga. Banyak sekali yang mengganggu pikirannya dan membebankan pundaknya. Pertandingan basket itu begitu penting bagi dirinya.
Sebenarnya, Ia masih ingin lanjut bermain di pertandingan tersebut dan memenanginya. Ia ingin menunjukkan kepada Arjuna; ingin membuatnya bangga dengan hasil perjuangannya di pertandingan basket itu. Tetapi.. Haidan tidak bisa. Alam tidak mengijinkannya.
Ia membuka kenop pintu UKS, memperlihatkan sahabatnya; Arjuna yang sedang membereskan meja. “Misi,” ucap Haidan seraya memegangi lututnya yang luka. “Eh anjir, lo kenapa?” tanya Arjuna, menghampirinya dengan raut wajah yang terlihat khawatir. “Gue.. jatuh Jun. Pas pertandingan, gue jatuh berkali-kali. Alhasil, lo lihat sendiri aja tangan sama kaki gue,” balas Haidan.
Arjuna langsung menuntunnya ke kasur, membantu Haidan untuk duduk di situ. “Tunggu bentar, gue ambil betadine, kapas sama plester dulu. Jangan kemana-mana,” perintah Arjuna. “Iya, gue nggak kemana-mana. Kan gue maunya sama lo,” balas Haidan. Bisa-bisanya Ia sempat gombal di situasi seperti ini. Arjuna hanya menggeleng dan menghembuskan nafasnya.
Lelaki yang lebih pendek itu kembali lagi setelah mengambil beberapa peralatan dan obat untuk mengobati sahabatnya. Salah satu kursi di dalam ruangan itu ditarik oleh Arjuna, agar lebih mudah mengobati luka-luka di anggota tubuh Haidan.
Tangannya mengambil sebuah kapas, lalu menaruh beberapa tetesan betadine di atasnya. “Pelan-pelan ngobatinnya,” ucap Haidan. “Iya, ini gue pelan-pelan. Yakali gue tetesin satu botol ini ke luka lo,” balas Arjuna. Ia menepuk-nepuk kapas tersebut di luka bagian lutut Haidan dengan perlahan, dan meniupnya juga.
“Geli,” ucap Haidan. “Banyak ngomong ya lo,” ucap Arjuna. “Biar nggak sepi-sepi amat kali Jun,” balasnya dengan enteng. Arjuna kembali fokus mengobati luka-luka yang berada di kaki ataupun lutut Haidan. Sahabatnya itu malah fokus melihat wajahnya. “Jun,”
“Diem lo,”
“Ini siku gue belum,”
“Sabar,”
Setelah selesai mengobati bagian lutut, Arjuna menarik lengan Haidan secara perlahan dan mengobati bagian siku. “Jun,” panggilnya. “Apa lagi?” tanya Arjuna. “Kok lo cantik ya?” goda Haidan. Tetapi serius, jika melihat wajah Arjuna dari dekat, semuanya Ia miliki. Tampan, cantik, indah. “Gue ganteng, lebih dari lo,” celetuk Arjuna. “Nggak peduli sih,” balas Haidan.
“Gue pukul nih,” ancam Arjuna. “Ampun cil,” ucap Haidan. “Lo gemes cil,” lanjutnya. Jantung Arjuna berdetak semakin tidak karuan lagi. Terlihat jelas bahwa kedua pipinya memerah. “Cie maluuu,” goda Haidan, Ia sangat senang melihat sahabatnya seperti itu. Arjuna langsung berdiri dan memasang muka datar. “Mau kemana?” tanya Haidan, sedikit terkejut.
Arjuna menyilangkan kedua tangannya, bersikap seperti sedang marah. “Mau ninggalin lo,” ucapnya. “Kenapa?” tanya Haidan. “Lo berisik sih!” gerutu Arjuna. Haidan sedikit menyondongkan tubuhnya ke depan, lalu menarik pinggang Arjuna ke dekatnya.
Ia tertawa kecil melihat sahabatnya terkejut.
“M-mau ngapain lo?!”
“Nahan lo,”
“Biar apa coba?”
“Biar lo nggak ninggalin gue lagi. Gue masih sakit gini, masa lo mau ninggalin gue?”
“Lagian lo berisik banget bangsat, kesel tau!”
“Yaudah, maaf Jujunnn~ Please lanjut ngobatin gue yaa?”
“Ya, diem lo.”
“Iyaaa, gemes.”
Arjuna pun melanjutkan kegiatan mengobati luka-luka Haidan kembali. Jujur saja, Ia tidak marah dengan ke-cerewetan Haidan. Hanya ingin mengujinya saja, karena itu seru. Tapi.. hal tersebut malah membuat jantungnya kewalahan dan tidak karuan.
Haidan hanya tersenyum sembari melihat wajah Arjuna yang sedang serius mengobati luka-lukanya. Menggemaskan sekali, menurutnya. Ia ingin menyubit kedua pipi Arjuna yang gembul itu. Namun, Haidan harus menahan dirinya supaya tidak membuat sahabatnya emosi lagi; seperti tadi.
Keduanya hanya sibuk dengan kegiatan masing-masing, hingga suasana menjadi begitu hening. Hanya suara udara AC yang terdengar di dalam ruangan UKS itu.
Beberapa menit kemudian, semua luka Haidan sudah terobati; tertutup oleh plester yang dipasang oleh Arjuna. “Thanks banget cil,” ucap Haidan. “Hm, sama-sama. Lain kali hati-hati, jangan terlalu gugup,” ucap Arjuna. Haidan mengangguk dan tersenyum.
Ia mengusap-usap rambut Arjuna dengan lembut. “Dan,” panggil Arjuna. “Hm? Kenapa?” tanya Haidan. “Erm.. Kalau lo ada luka lagi, mau itu fisik lo atau hati lo yang kena, just go to me ya?”
“Emang lo bakal ada buat gue?”
“Selalu, Dan. It's always been like that.”
“Hahaha, gue juga kok. Bakal selalu ada buat lo, Jun.”
written by kalacaffe.