family?

TW // violance

Ketika Jian menerima pesan dari Abangnya, Ia langsung berburu-buru keluar dari sekolah dan menaiki motor miliknya. Hanya membutuhkan 10-15 menit, sampailah di rumah.

Jian langsung bergegas masuk ke rumahnya, melihat bahwa apa yang dikatakan Abangnya itu benar— rumahnya berantakan sekali. Piring-piring pecah, botol miras milik Ayahnya pun berserakan dimana-mana, serta barang-barang lainnya yang dirusak oleh Ayahnya sendiri. Benar, ini adalah hal yang sudah biasa terjadi dalam keluarga Jiandra.

Not so happy as you think, right?

“AYAH, SADAR DONG AYAH!” teriak Jian, mencoba menyadarkan Ayahnya kembali yang sudah mabuk berat. “Biar Abang yang ngurusin Ayah. Kamu obati Bunda aja, oke?” perintah Abangnya.

Jian mengangguk nurut dan langsung menuntun perlahan Bundanya ke kamar. Ia mengambil sebuah kotak P3K dan bertanya, “Bunda, mau sampai kapan Ayah begini?”

“Nggak tau, Jian. Bunda nggak tau, cuman Tuhan yang tau. Maafin Bunda, ya?” balas Bunda dengan suara yang bergetar.

Anak bungsunya hanya terdiam, mencoba menahan dirinya supaya tidak terlihat “lemah” di hadapan Bundanya. Prinsip yang dipegang oleh Jian; seorang putra harus bisa menjadi perisai bagi Bundanya, kan? Tidak boleh lemah, sama sekali.

Ia mengambil sebuntal kapas dan betadine, mulai **mengobati setiap bagian tubuh Bundanya yang terluka akibat perkelahian tadi dengan Ayahnya yang mabok berat.

Jujur saja, jika saat ini Jian dapat meminta sesuatu kepada Tuhan, Ia ingin Bundanya bahagia. Ia tidak ingin melihat Bunda kesayangannya terluka ataupun menangis lagi. Tapi apa boleh buat?

Tuhan sudah merencanakan semuanya, kita hanya bisa menjalaninya.

“Bunda.”

“Iya, Jian?”

“Sebenarnya di rumah ini.. keluarga atau bukan, Bun?”

written by kalacaffe.