it's okay to cry.

CW // harsh words.

Kini, Haidan sedang dalam perjalanan ke kost milik sahabatnya, Arjuna. Ia sudah membeli beberapa makanan ringan untuknya juga. Setelah tahu hasil pertandingan basket tadi, Haidan merasa terpuruk. Entah mengapa, dirinya tak bisa menangis. Akhirnya sekarang, Ia ingin bertemu dengan seseorang yang disayangi-nya.

Malam ini terasa dingin. Tetapi untungnya, Haidan memakai hoodie supaya tidak menggiggil saat di perjalanan. Angin semilir melewatinya dengan tenang; walaupun pikirannya sedang kacau.

Sesampainya di depan kost Arjuna, Ia memarkirkan motornya, lalu mengetuk depan pintu sampai dibukakan. Begitu Arjuna membukakan pintunya, Haidan rasanya seperti ingin menangis di hadapannya sekarang. Tapi Ia harus menahannya, supaya terlihat kuat.

Arjuna langsung mempersilakan Haidan untuk masuk ke dalam kost-nya, dan mengambilkan Haidan sebuah gelas berisi air putih. Lalu, Ia duduk di sebelahnya. “Lo gapapa?” tanya Arjuna. Haidan menggeleng perlahan. “Coba cerita ke gue,” lanjutnya.

Lima detik.. sepuluh detik.. lima-belas detik.. dipenuhi dengan ke-sunyian. Tiba-tiba, Haidan mengangkat wajahnya dan menatap lelaki di hadapannya itu dengan tatapan yang terlihat lelah. “Jun,” panggilnya. “Kenapa Dan?” tanya Arjuna. “Gue mau nangis di pundak lo, boleh?” tanya Haidan, air mata mulai menggenang di matanya. “Boleh. Kapanpun boleh, Dan.”

Haidan menyender ke bahu sahabatnya, lalu menangis. Arjuna hanya terdiam dan menunggu sampai Haidan selesai. Suara isakan tangis Haidan terdengar jelas di telinga Arjuna. Jujur saja, Ia paling benci melihat Haidan seperti ini. “Jun.. masa gue gini doang nangis ya? Gue payah banget hahaha,” ucap Haidan. “Nggak, lo nggak payah. Lo berhak buat nangis, jangan bilang gitu,” balas Arjuna.

“Gue kecewa Jun,”

“Kecewa sama?”

“Kecewa sama diri sendiri, Jun. Kalau aja gue tadi nggak jatuh sama fokus, tim gue bisa menang kali ini. Gue tolol banget anjing,” ucap Haidan dengan frustasi. Ia memukul-mukul dadanya sendiri sembari menangis. Sesak sekali rasanya. Tanpa lama lagi, Arjuna langsung memegang kedua tangan Haidan untuk memberhentikan aksinya.

“Dan, gue tau lo kecewa. Tapi itu bukan salah lo! Sadar, tolong? Kita nggak akan pernah tau apa yang bakal kita alami nanti, Dan. Jangan salahin diri lo atas apa yang terjadi. Itu bukan salah lo. Jangan mukul-mukul atau ngatain diri lo sendiri kaya gini, gue nggak suka, Dan.”

Arjuna memegang kedua bahu Haidan dan menatapnya. “Lo itu hebat, Dan. Lo bisa coba tanding lain waktu lagi. Oke?” ucap Arjuna. Ia langsung memeluk Haidan dengan erat dan menepuk-nepuk punggungnya perlahan. “You did well, Dan,” ucap Arjuna. Haidan mulai merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar kata-kata Arjuna. “Jun,” panggilnya.

“Ya?”

“Jangan pergi ya?”

“Nggak bakal. Ini aja gue dipeluk sama lo, mana bisa gue pergi,”

“Hahaha, bener juga.”

Mereka berpelukan selama beberapa menit sampai emosi Haidan stabil. Keduanya memang memiliki gengsi yang tinggi, tapi kalau sampai ada salah satu dari mereka yang sedang merasa terpuruk, percayalah.. rasa gengsi tersebut akan turun.

Kedua lelaki itu melepaskan pelukan dan mulai berbincang-bincang sedikit. “Dan,” panggil Arjuna. “Kenapa?” tanya Haidan. “Makasih udah mau cerita sama gue,” ucap Arjuna, walaupun sedikit malu-malu. “Gue kali yang harus berterima kasih. Kok jadi lo? Hahahaha,” ucap Haidan.

“Lo udah gapapa kan?” tanya Arjuna, masih merasa sedikit khawatir dengan keadaan Haidan. “Gapapa, kok. Gue udah ngerasa lebih baik berkat lo,” jawab Haidan dengan senyuman. “Omong-omong.. harapan terbesarnya lo itu apa?” tanya Haidan.

Arjuna sedikit terkejut dengan serangan pertanyaannya. Ia berpikir sejenak sebelum menjawab. “Apa ya? Mungkin.. jalan-jalan di taman pas malam, apalagi kalau bintangnya lagi banyak. Pasti bikin tenang banget dah, adem juga,” jawabnya. “Kan lo bisa ngelakuin hal itu, kenapa jadi harapan terbesar?” tanya Haidan lagi. “E-eh kalau lo nggak mau jawab, it's okay kok,” lanjutnya, karena melihat sahabatnya sedikit kesulitan dalam menjawa pertanyaannya.

“Kalau lo sendiri gimana?” tanya Arjuna. “Gue? Erm.. bisa duet bareng lo, meluk lo seharian,” ucap Haidan dengan penuh kejujuran. “Oh iya, ngemilikin lo juga,” lanjut Haidan. Mendengar hal itu, Arjuna langsung merasa kupu-kupu di perutnya dan pipinya mulai memerah. “Kenapa?” tanya Haidan dengan polosnya. Entah dia sengaja atau tidak.

Sahabatnya langsung meneguk air putih dari gelasnya. “Jun,” panggilnya. “A-apa lagi?” tanya Arjuna. “Peluk lagi boleh nggak?” tanya Haidan.

Dengan reflek, Arjuna mengangguk. Tampaklah sebuah senyuman kemenangan di wajah Haidan. Ia langsung menarik Arjuna ke pangkuannya, membuat sahabatnya itu menatap dirinya. Tangannya melingkari perut Arjuna. “Nggak usah malu-malu monyet gitu, nanti kita sering-sering begini juga,” goda Haidan. “Ya kagak monyet juga kali, goblok!” gerutu Arjuna.

Haidan hanya tertawa ringan dan sibuk memeluk Arjuna.

“Dan,”

“Hm?”

“Nangis nggak bakal bikin lo terlihat lemah kok. Jadi, kalau mau nangis, nangis aja ya? Lo bisa nangis di pundak gue kaya tadi,”

“Iya, Jun. Lo juga kalau butuh tempat cerita, bisa ke gue. Gue bakal dengerin ocehan apapun yang keluar dari mulut lo itu,”

Keduanya tersenyum dan menikmati malam yang sudah terasa hangat. Bahkan Haidan sudah merencanakan sebuah rencana yang spesial. Semoga saja, rencana itu bisa berhasil.

written by kalacaffe.