jendra & nalen.
casts: jeno aka jendra & jaemin aka nalen/alen. pair: nomin. part of 'love formula' universe.
CW // harsh words, slight kissing.
“ANJIR? BESOK TAHUN BARU?” Jendra tersontak. Baru saja Ia bangun dari tidurnya dan melihat kalender dalam ponsel miliknya. Bisa-bisanya Ia tidak menyadari hari ini, hari terakhir tahun ini.
Pemuda itu langsung beranjak dari kasurnya, lalu membersihkan dirinya sebelum melakukan aktivitas kesehariannya.
Di depan cermin, Ia mengamati dirinya sendiri. “Udah mau tahun baru... apa gua harus take a step further?” tanyanya. “Gatau dah, pusing gua.” Jendra sedikit frustasi.
Seusai Ia membersihkan dirinya, Jendra merebahkan dirinya di atas kasur kesayangannya. Tangan kanannya menggapai benda pipih itu, lalu membuka sebuah kontak.
Alen.
Nama kontak itu. Satu-satunya orang yang membuatnya jatuh hati kepadanya pada pandangan pertama.
Kedua ibu jarinya bergerak, memencet alfabet secara satu-persatu. “Apa gua ajak dia jalan lagi aja? Hampir mau tahun baru juga...”
Jendra terdiam sejenak. Nafasnya sedikit tercegat karena berpikir berlebihan. “Hmm... oke. Gua ajak aja,” ujarnya. Belum saja Ia selesai mengetik, sudah ada yang meneleponnya.
Ternyata, itu adalah Alen.
Ia langsung mengangkatnya. “Hai? Kenapa Len?” tanya Jendra, sebagai awal percakapan. “Erm... mau jalan nanti malem?“
Demi Tuhan! Jantung Jendra seperti ingin meledak sekarang juga. Ternyata rasanya dimabuk asmara seperti ini.
“Halo? Jen? Are you there?“
“E-eh, iya Len! Ayo aja gua mah, mau pake mobil gua?”
“Mau! Bisa jemput gue di rumah gue nggak?“
“Bisa dong! Lo tinggal send alamat aja, gua bakal langsung ke sana—maksud gua, nanti malem ke sana,”
“Hahahaha, okay! See you Jen!“
“See you juga Len!”
Tut!
Sambungan telepon tersebut dimatikan. Percakapan yang sangat singkat, tetapi membuat jantung Jendra berdetak tak karuan. Ia benar-benar harus bisa menjaga image-nya di depan Alen. Tidak boleh dibiarkan seperti ini.
Di sisi lain, Alen yang baru saja mematikan sambungan teleponnya, juga merasakan hal yang sama seperti Jendra. Ia sebenarnya merasa sangat gugup saat menelepon Jendra tadi.
Bahkan saat memegang ponselnya, tangannya bergemetar sedikit. Hatinya juga bergemetar. “Lo udah gila, Len. Seriusan dah.”
Melihat jarum jam pendek yang masih menunjukkan jam 12 siang, Ia berpikir untuk bersikap terlebih dahulu—sebelum bepergian dengan Jendra nanti malam.
Ia membuka aplikasi catatan di dalam ponselnya.
“To do list with Jendra:“
Kemudian, Alen terdiam. Apa saja yang mereka akan lakukan nanti? Jujur saja, Alen tidak begitu pandai bersosialisasi dengan orang-orang. Justru Ia lebih suka menyendiri.
Tapi, semua ini demi Jendra. Rekan bandnya—atau lebih dari itu?
“Oke, let's see what you got Alen.“
To do list with Jendra: – makan sate ayam – makan jagung bakar – nonton kembang api – ....
“Apa lagi ya?” tanyanya. “Hmm...” Ia berdeham, menandakan bahwa dirinya sedang berpikir dengan keras.
– confess.
Deg.
Awalnya, Alen tidak begitu berani untuk menyatakan perasaannya kepada Jendra. Ia takut, jika persahabatan mereka hancur bagaimana?
Tetapi, daripada Ia memendam perasaan itu sendiri, Alen memilih untuk mengeluarkannya saja. Supaya lega. Supaya dirinya tidak merasa tertekan lagi.
“Itu aja deh, semoga aja malam ini berjalan lancar.”
Alen tersenyum samar melihat catatannya itu. Merasa gugup, takut dan antusias secara bersamaan. Yang hanya Ia bisa lakukan adalah berharap, berharap kalau semua ini akan berjalan dengan lancar.
Sekarang, Alen sedang memejamkan matanya sembari tiduran di atas kasurnya. Ia membuka matanya lagi, menatap atap kamarnya.
Persis sekali, seperti Jendra. Ia juga melakukan yang sama. Kedua pemuda itu memang memiliki banyak sekali pikiran di kepala mereka.
Mau bagaimanapun juga, keduanya harus tetap bisa menjalani hari ini.
Malam hari telah datang. Jendra yang kini sudah siap, Ia langsung tancap gas pada mobilnya untuk menjemput Alen. Tenang saja, Alen sudah mengirim alamat rumahnya sebelumnya—ya.. supaya Jendra tidak sesat di jalan.
Ternyata jarak rumah mereka tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan kurang lebih 15 menit.
Jendra pun memberhentikan mobilnya di depan rumah sang pemuda kesukaannya itu. “Alen! Sini cepet masuk!” seru Jendra, dari dalam mobil.
Melihat Alen yang berlari seperti anak kecil, Jendra tertawa gemas hingga matanya tidak terlihat. “Kenapa ketawa?” tanya Alen, saat Ia duduk di jok depan—samping Jendra.
“Lo gemes soalnya.”
Tak dapat respon lagi, karena Alen tersipu—Jendra langsung menjalankan mobilnya lagi. “Udah pake sabuk pengaman 'kan lo?” tanya Jendra untuk memastikan. Alen mengangguk, “Udah kok.”
“Good. Sekarang mau ke mana dulu?”
“Erm... makan sate ayam mau?”
“Lo laper ya?”
Alen mengangguk ringan sebagai jawaban. “Alright! Mari kita makan sate ayam!” simpul Jendra dengan senang hati. Keduanya kembali diam saat tidak tahu harus berbicara tentang apa lagi.
Canggung rasanya. Jendra membenci kecanggungan dan kesunyian ini. “Alen,” panggilnya. “E-eh, iya Jen?” balas Alen. “Habis kita makan sate, mau ke mana lagi?” tanya Jendra.
“Uhh... makan jagung bakar?”
“Hahaha, oke-oke. Kita makan yang banyak hari ini.”
“Tapi, lo gapapa?”
“Maksudnya?”
“Lo nggak bosen kah?”
“Nggak kok.”
Jawabannya membuat Alen sedikit tidak yakin. Berbagai macam asumsi muncul di benaknya. Seharusnya Ia tidak begini.
Tanpa Alen sadar, Jendra juga sedang memperhatikannya. Pemuda itu menoleh dan bertanya, “Kenapa Len? Ada yang ganggu di pikiran lo?”
Alen mengangguk. “Mind to tell me about it?” tanya Jendra, dengan nada sedikit khawatir. “Lo serius nggak bosen jalan sama gue terus, Jen? Bahkan hari ini nggak ada hal yang menarik,” ucap Alen, akhirnya Ia membuka suara.
Perlahan-lahan, tangan kiri Jendra menggenggam tangan Alen dan mengusapnya secara lembut. “Mau kemanapun dan ngelakuin apapun itu, asal sama lo... gua nggak mungkin bosen. Well, lo sendiri malah alasan kenapa gua setuju sama ajakan lo tadi,” jelas Jendra.
“Gua suka jalan bareng lo, Alen.”
Seluruh ucapan Jendra tadi membuat Alen langsung terdiam. Entah mengapa, jantungnya mulai berdetak tidak beraturan lagi. Kupu-kupu yang terbang juga dapat Ia rasakan di dalam perutnya.
“Udah jelas?” tanya Jendra. “Iya, u-udah... maaf Jen,” jawab Alen, menundukkan kepalanya sebagai rasa bersalah karena telah berasumsi. “No problem Len. By the way, bentar lagi mau sampe nih.”
Mobil Jendra diparkirkan di tempat parkiran yang tidak terlalu luas itu. Keduanya turun dari mobil Jendra, lalu memesan sate ayam—sesuai dengan keinginan Alen.
“Kenyang?”
“Lumayan. Soalnya masih ada jagung bakar habis ini,
“Gua juga sih, Len. Mau langsung ke sana sekarang?”
“Ayo! Gue udah nggak sabar mau makan jagung bakar!”
“Astaga, gemes banget sih lo.”
Jendra dan Alen mengendarai mobil itu lagi, hingga sampai di sebuah tempat yang menjual jagung bakar. Keduanya langsung memesan dua batang jagung bakar dan menunggunya sembari duduk di sebuah kursi.
Tiba-tiba netra mereka bertemu. Tanpa sadar, Jendra tersenyum kecil terhadapnya. “Kenapa?” tanya Alen. Jendra menggeleng. “Gapapa kok.”
Padahal aslinya... “Lo kenapa bisa gemes banget anjing?“
Ketika pesanan mereka sudah jadi, Jendra langsung mengambilnya dan memberikan salah satunya kepada Alen.
“Thanks.“
“My pleasure.“
Setelah itu, mereka kembali ke suasana yang hening. Sunyi. Canggung lagi. Ah, sialan sekali. “Jendra,” Alen membuka suara. “Hm? Kenapa?” tanya Jendra, sembari mengunyah.
“Mau nonton kembang api...”
“Boleh. Mau nontonnya di mana?”
“Yaa... mana aja sabi. Gue juga kurang tau spot-spot bagus gitu,”
“Yaudah, lo ikut gua aja. Gua kayanya tau tempat yang bagus biar kita bisa nonton kembang api,”
“Sekarang?”
“Maunya?”
“Sekarang.”
Jendra menyetujui permintaan Alen lagi, dan mereka pun menyelesaikan jagung bakar mereka dengan cepat. Lalu, keduanya kembali melanjutkan perjalanan mereka.
Yaitu, ke rumah Jendra.
Kebetulan... Jendra memiliki balkon kecil, yang pas untuk kedua insan itu. Untungnya, rumah Jendra juga ternyata merupakan spot yang bagus untuk menonton kembang api.
Di dalam perjalanan, Jendra menyalakan radio supaya tidak sunyi lagi. Rasanya tidak nyaman kalau terlalu sunyi.
Sesampainya di rumah Jendra, Ia melihat ke arah Alen yang terlihat sedikit bingung. “Ini... rumah lo?” tanya Alen. “Iya, ini rumah gua. Harusnya ada Bunda gua juga di sini, tapi Bunda lagi di rumah sakit. Jadi... yaudah, gua sendirian di sini,” jawab Jendra.
“Ohh... oke. Semoga Bunda lo cepet sembuh ya,”
“Makasih Len, Amin. Yaudah, yuk masuk? Takutnya lo kedinginan di luar gini,”
Begitu Alen memasuki rumahnya Jendra, Ia terkejut melihat betapa kosongnya di area tengah ruangan. “Maaf Jen, tapi itu kenapa ruang tengah kosong banget?” tanya Alen. “Oh, itu? Gapapa kok, gua lagi ngumpulin uang aja buat ngedekor ini rumah. Hahaha,” jawab Jendra, lagi.
“Ke kamar gua yuk? Kita bisa nonton kembang api lewat balkon,”
Alen mengangguk. Jendra menggenggam tangannya dengan lembut, dan menariknya hingga ke kamarnya—yang berada di lantai dua.
Kini, kedua pemuda itu sudah berada di balkon kamar Jendra. Udaranya terasa sejuk, bulan juga terlihat jelas sekali malam ini.
Tak lama kemudian, suara-suara kembang api terdengar keras; berwarna-warni, menghiasi langit gelap itu. Alen menatap lelaki di sebelahnya.
“Jendra,”
“Hm?”
“Gue mau ngomong sesuatu,”
“Go on,“
Alen menarik nafas yang panjang. “Jadi... gue suka sama lo. Gue suka sama lo, pas lo rela ngerawat gue waktu itu. Entah kenapa, habis kejadian itu, gue rasa ada yang aneh sama gue.
My heart starts to beat so fast whenever you're around me. Gue harap lo nggak ngejauhin gue sehabis gue bilang ini...”
Jendra menatap kedua netranya dengan amat dalam. Pemuda itu terlihat begitu indah malam ini. Bahkan, matanya seperti memiliki bintang-bintang yang bersinar.
Ia tersenyum lembut, lalu memegang tangan Alen.
Cup!
Jendra mengecup bibir Alen dengan ringan. Sungguh membuat Alen tersontak. “Hey, gua suka lo dari awal kita ketemu. Dan yang pasti, gua nggak bakal ngejauhin lo.
So... will you be mine, Alen?“
Alen yang masih memproses semua itu terdiam sesaat. “Nggak harus sekarang kalau lo butuh waktu,” lanjut Jendra. Satu detik... dua detik... tiga detik...
“I will.“
Kedua mata Jendra langsung terbelak, terkejut dengan ucapan Alen. “S-serius lo?” tanya Jendra, untuk memastikan. “Serius,” jawab Alen, kini dengan senyumannya yang dapat melelehkan hati Jendra.
Tanpa lama lagi, Jendra langsung menariknya ke dalam pelukan yang hangat. Sampai Alen dapat mencium wanginya tubuh Jendra, yang membuatnya tambah jatuh cinta.
“Jen,”
“Yes, love?“
“Aku sayang kamu.”
“You know what? Aku sayang kamu lebih.”
written by kalacaffe.