jiandra & kalileo.
casts: jisung aka jiandra/jian & chenle aka kalileo/ale. pair: jichen. part of 'love formula' universe.
CW // slight kissing, harsh words.
31 Desember 2021. Satu hari sebelum tahun baru, satu hari sebelum membuka bab baru. Semua orang—termasuk Jian dan Ale, merasa sangat antusias untuk merayakan tahun baru nanti.
“Ale,”
“Ya?”
“Kita mau ngerayain tahun baru di rumah aku atau di rumah kamu aja?”
“Rumah aku aja. Palingan Papa mau ketemu kamu lagi,”
“Oke deh. Aku siap-siap dulu ya? Sekalian pamit ke Bunda,”
“Iya, sana. Aku tungguin di sini.”
Jiandra langsung bergegas untuk mandi dan menggunakan pakaian yang rapi. Ia tentu ingin memberi kesan yang baik bagi kedua orang-tuanya Ale.
Sementara itu, Ale menunggu Jian sembari tiduran di atas kasur Jian. Ia hanya menggunakan pakaian seadanya—toh, mereka akan ke rumahnya sendiri.
Beberapa menit kemudian, Jian sudah memakai pakaian yang rapi dan nyaman—bergaya casual yang membuatnya tambah tampan.
Dirinya berjalan ke arah kekasihnya, memperlihatkan si mungil itu tak sengaja tertidur. Tangannya mengusap-usap surai Ale, mencoba membangunkannya dengan perlahan.
“Sayang... ayo bangun, aku udah siap nih,”
“Hmm... 3 menit lagi...”
Lalu, Jian mengecupi bibirnya berkali-kali. Membuat Ale mendorong kekasihnya itu supaya berhenti mengecupi dirinya.
“Kamu nggak bangun, aku cium terus nih.”
“Iya-iya, aku bangun!”
Melihat Ale yang langsung berdiri membuatnya merasa gemas. Ia bahkan mengusap-usap rambut kekasihnya terlebih dahulu sebelum keluar dari kamarnya—yang diikuti Ale dari belakang.
Lalu, lelaki tinggi itu pamit terhadap Bundanya sebelum pergi dari rumah. “Bun, Jian ke rumah Ale dulu ya!” ucapnya. “Iya sayang, hati-hati di jalan!” balas Bunda Sarah—yaitu nama dari Bundanya Jian.
“Tante, Ale pamit juga!” ucap Ale sembari tersenyum. “Iya nak, have fun!” balas Bunda Sarah.
Begitu selesai berpamitan, keduanya langsung pergi ke rumah Ale menggunakan mobil Kak Juan—yaitu kakaknya Jian. Karena Jian belum punya mobil, Ia akhirnya harus pinjam milik kakaknya. Maaf masih nunggu hujan duit, kalau kata Jian.
Di perjalanan, Jian mengajak kekasihnya untuk berbicara. “Babe,” panggilnya. “Apa?” tanya Ale, seraya menoleh ke-arahnya. “Harapan kamu buat tahun baru nanti itu... apa?” tanya Jian karena penasaran.
Ale terdiam sejenak. Ia butuh waktu untuk berpikir. Tahun ini sudah seperti roller-coaster, banyak naik dan turunnya. Dari berjuang untuk olimpiade matematika, hingga dirinya bisa berpacaran dengan Jian.
Terutama di saat-saat Ia mengalami break-down saat terlalu banyak belajar untuk olimpiade. Tetapi untungnya, Jian selalu berada di sisinya. Kapanpun itu—baik maupun buruk. Lelaki itu sangat setia kepadanya.
“Harapan aku cuman dua,”
“Yang pertama?”
“Keluarga aku bisa tetap bahagia dan sehat,”
“That's nice! Kalau yang satunya?”
“Erm... bisa hidup bahagia sama kamu.”
Hati Jian seketika merasa hangat. Ia tertegun mendengar harapan Ale, karena dirinya tidak berpikir kalau Ale bakal mengatakan hal tersebut. “Sayang...”
“Hm?”
“Makasih.”
“Buat?”
“Makasih udah mau sama aku. Aku bersyukur banget bisa punya pasangan hidup kaya kamu, hahaha.”
“Mulai lagi gombalnya, hadeh.”
“Hehehe, serius kok. Aku sayang kamu.”
“Aku sayang kamu juga.”
Pas sekali, mereka sudah sampai di tujuan. Jian memarkirkan mobilnya terlebih dahulu sebelum memasuki rumah bak istana itu. Tak pernah sekalipun Ia tidak mengagumi keluarga kekasihnya.
Setelah selesai berparkir, kedua insan itu keluar dari mobil. “Yuk?” ajak Jian, seraya mengulurkan tangannya untuk digenggam. “Ayo,” ucap Ale, lalu menggenggam tangan besar milik Jian.
Sungguh, pasangan manis itu tak pernah bisa dipisahkan.
Ding! Dong!
Bunyi bel pintu berbunyi. Jian mengambil nafas yang dalam sebelum menyapa orang-tuanya kekasihnya. Siapa juga yang tidak gugup menemui orang-tua sang kekasih?
Tak lama kemudian, seseorang membuka pintu besar itu. “Halo! Eh, akhirnya kalian dateng juga. Ayo, sini masuk!” ajak si Mama. “Tuh kan, orang-tua aku suka kamu,” bisik Ale, yang membuat Jian tersenyum lega.
Lalu, mereka pun menginjak lantai rumah itu. Sang tuan rumah juga muncul dan menyapa anaknya serta kekasih anaknya. “Halo, Om!” sapa Jian. “Halo juga, Jian. Bagaimana kabarnya? Baik-baik saja sama Kale?”
Jian mengangguk, “Baik dong, Om. Apalagi kalau sama Ale, beuh! Tambah baik lagi kabarnya, hahaha,” ucapnya. Melihat sang Papa tertawa, Ale pun tersenyum.
“Kalian kalau mau bakar-bakar daging bisa ke belakang nanti. Mama juga bakal bantuin kalian kalau butuh. Oke?”
“Oke, thank you Ma.”
“Makasih Tante!”
“You're welcome.“
Begitu sang Mama Ale mengatakan hal tersebut, Jian langsung merasa tidak sabar. Ia pun menatap Ale dengan tatapan memohon. “Iya, boleh. Ayo ke sana,” ucap Ale, lalu tangannya ditarik pelan oleh Jian hingga ke area halaman belakang.
Mata Jian terpaku pada daging-daging ayam yang sudah dipotong berbentuk kubus. Ia tinggal memberinya bumbu dan membakarnya.
“Kamu se-seneng itu kah?” tanya Ale. “Iya, dong. Masa aku nggak seneng ngerayain tahun baru sama keluarga pacar aku sendiri?” ucap Jian seraya tersenyum menggoda. “Aku kira kamu seneng karena bakal makan banyak daging,” goda Ale.
“Ya... itu juga sih, jujur aja,” ucap Jian, lalu diikuti oleh tawaan ringan. Ale juga ikut tertawa mendengar hal itu.
Kedua tangan Jian sudah mulai bekerja membakar daging-daging ayam. Tenang saja, sudah dibumbui oleh Ale sebelumnya, kok.
“Aku bakar semuanya aja ya?”
“Iya, gapapa. Lagian Papa aku makan yang paling banyak nanti.”
“Hahaha, oke-oke.”
Beberapa menit telah berlalu. Semua daging ayam itu pun sudah terlihat sangat lezat dan gurih—siap untuk disantap dengan nasi.
“Papa! Mama! Makanannya udah jadi!” seru Ale dengan suaranya yang kencang. Cukup terdengar hingga seluruh komplek rumah.
Kedua orang-tua Ale datang dengan cepat; tak ingin membuat anak mereka menunggu dengan lama. Terutama, ada kekasih sang Anak juga.
Jian mempersilakan kedua orang-tuanya Ale untuk duduk duluan, lalu Ia dapat duduk setelahnya. “Keliatannya enak ya! Yuk, makan-makan!” puji si Mama.
Semua orang di meja makan itu langsung makan, begitu sang Mama Ale menyuruh untuk makan. Ternyata, daging bakaran mereka berhasil.
“Enak juga. Siapa yang bakar ini?”
“Jian, Pa. Kale bagian bumbu,”
“Wah, keren anak Papa. Jian juga did great!“
“Hahaha, makasih banyak Om.”
Mereka semua bahagia pada malam berujung tahun baru ini. Berbincang-bincang ringan, bercanda, dan bahkan tertawa karena candaan-candaan receh milik Jian.
Rasanya hangat sekali.
Seusai acara makan-makan, tibalah saat jam menunjukkan pukul 23:50. Sebentar lagi. Tahun baru akan datang. Bab baru akan terbuka.
Mama dan Papa Ale sudah kembali memasuki rumah. Meninggalkan anaknya dengan kekasihnya di halaman belakang, membersihkan meja dan sisa-sisa makanan.
“Jian,”
“Iya, cil?”
“I've never felt this happier before.“
Kaki Jian berjalan mendekati keberadaan Ale. Kedua netranya menatap wajah indah sang kekasih. Tangan kanannya mengusap-usap pipi kanan Ale dengan lembut, lalu tersenyum kecil.
“Kalau kamu bahagia, aku juga ikut bahagia.”
“Kalau aku sedih?”
“Aku bakal coba bikin kamu bahagia lagi.”
Ucapan tulusnya membuat jantung Ale berdebar kencang. Selalu seperti itu. Sudah berbulan-bulan sejak kedua insan itu menjalin hubungan ini. Tetapi, Ale selalu tetap merasakan sensasi kupu-kupu di perutnya dan jantungnya yang berdebar kencang karena Jian.
Lalu, Ale menjijit sedikit—supaya dapat menyamai tingginya dengan Jian. “Ngapain?” tanya Jian. “Happy new year's gift,” jawabnya, sebelum mempersatukan kedua benda lunak masing-masing itu.
Ternyata, ciuman Ale sudah lebih baik. Di sela-sela ciuman, Jian tersenyum sembari memeluk pinggang mungil milik Ale. Menariknya lebih dekat, agar dapat lebih mudah untuk berciuman sesaat.
Sebuah ciuman yang manis dan lembut. Tak lebih, tak kurang.
“I love you, Ale.“
“I love you too, Jian.“
Suara petasan terdengar sangat jelas; menghiasi langit gelap itu, yang menjadi saksi bisu tingkah manis mereka. Jian menggenggam tangan Ale, “Let's make more memories, cutie.“
written by kalacaffe.