nightmares.
jiandra & kale: one-shot au. | pair: jichen. part of 'love formula' universe.
CW // kissing.
“Halo? Kenapa sayang?”
“J-jian ... aku takut.“
“Having nightmares?”
“Hu'um.“
“Aku ke sana ya?”
“Iya, cepetan. I'm scared.“
“Aku berangkat sekarang.”
Begitu Jian mematikan telepon dari Ale, dirinya langsung bersiap-siap untuk pergi ke rumah kekasihnya itu. Hanya memakai kaos dengan hoodie dan celana pendek se-lutut itu sudah cukup untuknya. Tanpa lama lagi, Jian langsung menggunakan motornya untuk pergi ke rumah Ale.
Perasaan yang ia rasakan saat ini adalah khawatir. Ia khawatir jika terjadi apa-apa terhadap kekasihnya. Bahkan dirinya sangat menjaga Ale, berhati-hati dengannya seperti memegang sebuah kaca. Ia se-sayang itu terhadap Ale. Cintanya tulus sekali.
Sesampainya di depan rumah Ale, ia memarkirkan motornya terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam bangunan yang besar itu. Keluarga Ale sudah terbiasa dengan kehadiran Jian dan mereka tidak merasa keberatan sama sekali. Justru mereka sudah menyetujui hubungan anaknya dengan lelaki tinggi tersebut. Karena mereka tau, Jian adalah orang yang bertanggung jawab dan tulus mencintai Ale.
Tok! Tok! Tok!
Tiga ketukan pintu yang Jian lakukan, menghasilkan suara dari dalam kamar kekasihnya. “Masuk aja!” teriak Ale dari dalam. Jian terkekeh mendengar hal itu. Kemudian ia membuka pintu tersebut dan kedua netranya melihat penampakkan Ale yang sedang mengumpat di bawah selimut tebal. Perlahan-lahan, Ale membuka sedikit selimutnya untuk mengintip keberadaan Jian.
“It's me, sayang. Nggak usah takut, aku sekarang ada di sini,” ucap Jian dengan suara yang lembut. Seperti seolah-olah ia berbicara dengan anak kecil yang sedang ketakutan untuk menenangkannya. “Aku takut,” ucap Ale, yang langsung keluar dari bawah selimutnya dan memeluk tubuh kekasihnya.
Jian tersenyum kecil, lalu ia gunakan tangannya untuk menepuk-nepuk punggung Ale dengan lembut. “Please don't go anywhere,” pinta Ale. “Aku nggak bakal kemana-mana,” balas Jian. Beberapa menit mereka berpelukan dan Jian tetap mencoba menenangkan hati kekasihnya.
“Aku tadi mimpi semua orang yang aku sayang ninggalin aku,” jelas Ale. “Terus kamu juga ninggalin aku ...” lanjutnya. Jian menggelengkan kepalanya, “Hey, that's only a nightmare. Okay? Inget, aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Kalau misalnya suatu saat aku ninggalin kamu, santet aja,” ucap Jian. Kemudian Ale tertawa kecil mendengar kalimat akhirnya.
Jian melepas pelukan itu, dan menatap kedua netra coklat milik Ale. Lalu ia memberikan senyuman yang hangat. “Boleh cium?” tanya Jian. Pipi Ale kemudian memerah karena mendengar hal itu dari mulut Jian. Sangat tidak biasa. “Ngapain nanya?”
“Biar bikin kamu malu aja.”
“Nggak jelas.”
Tanpa lama lagi, Jian menyatukan kedua belah bibir mereka dengan lembut. Sebuah ciuman yang penuh dengan cinta. Tangan Ale memegang kedua pipi milik Jian supaya dapat memperdalam ciuman tersebut. Dan tangan Jian digunakan untuk mengusap-usap leher Ale. Namun ciuman itu berakhir ketika Ale memukul dada Jian karena kehabisan oksigen.
Jian tertawa kecil melihat bibir kekasihnya yang sudah sedikit bengkak karenanya. “Kamu gemes banget bay,” puji Jian. Lalu ia mencubit pipi Ale dengan gemas. “Jangan cubit-cubit pipi aku,” ucap Ale. “Ini harta milik aku yang berharga banget tau,” lanjutnya.
Entah apa yang sedang dirasuki Ale hingga membuatnya tambah menggemaskan. Tapi tidak masalah, Jian justru makin jatuh cinta terhadapnya. “Mendingan kita pelukan terus bobo,” saran Jian. “Nggak mau bobo, mau ngobrol dulu,” pinta Ale sambil memajukan bibirnya.
“Yaudah. Mau ngobrolin tentang apa bay?”
“Bay bay ... kamu kira aku bayam?”
“Maksud aku bayi, sayang. Hih! Cium lagi nih.”
“Bodo.”
Kemudian Jian menarik selimut yang tebal itu untuk menyelimuti mereka berdua. Suasana kembali tenang, hangat dan sunyi. Tidak seperti sebelumnya, saat Ale merasa cemas dan ketakutan akibat bermimpi buruk. Tangan Ale tiba-tiba memegang tangannya Jian. “Kenapa?” tanya Jian.”
“Gapapa, mau liat tangan kamu aja. Soalnya besar banget,” ucap Ale. “Nggak kok, cuman kamu nya aja yang kekecilan kaya bayi,” goda Jian. Ia suka sekali menggoda dan meledek kekasihnya itu. Hiburan gratis, katanya. “Ngejek terus,” ketus Ale. “Biarin, soalnya kamu kalau ngambek jadi tambah gemes.”
“Udah ah! Bahas yang lain,” ucap Ale. Jian tertawa melihat raut wajah kekasihnya yang terlihat masam. “Nggak usah ketawa.” Ale mengangkat dagunya untuk memberikan tatapan sinis kepada Jian. Posisi mereka sekarang adalah Jian bersandar pada head board kasur dan Ale yang tiduran di atas perut Jian. “Iya iya, maaf sayang.”
Ale memperhatikan wajah tampan milik kekasihnya itu. Dari mata, hidung, bibir, hingga ke garis rahang yang tajam. Semuanya tampak sempurna di mata Ale. “Cie merhatiin,” goda Jian. Ale langsung membuang muka karena malu. “Biasa aja kali, sama calon suami kamu ini,” ucap Jian, makin membuat Ale tambah malu. “Berisik kamu.”
Tangan Jian mengusap-usap rambut Ale dengan lembut, lalu tersenyum sembari memandangi wajahnya. “Ale,” panggil Jian. “Kenapa?” tanya Ale dengan heran. “Kamu tau nggak? Aku nggak pernah nyangka bisa dapetin kamu,” ucap Jian. “Karena?” tanyanya lagi.
“Kamu cuek banget sama aku. Bahkan kenal aku dulu aja nggak, sampe aku bingung banget nyari cara buat deketin kamu lebih lagi. Aku sering nyapa kamu, tapi kamu nggak bales. Aku mau nyoba ngobrol sama kamu, eh ... keburu kamu balik ke kelas terus sibuk belajar lagi.”
“Terus terus?”
“Terus, yaa ... kita pas SMA kelas dua ketemu lagi. Bahkan sekelas, aku sampe semangat banget, hahaha. Tanya aja sama temen-temen aku, pasti mereka tau gimana aku saking senengnya pas tau aku sekelas sama kamu. Ada kesempatan lagi buat deketin kamu, sama ngenal kamu lebih dalam lagi.”
“Aku nggak nyangka kamu bisa kaya gitu ... karena aku.”
“Masa sih? Hahaha, intinya aku ngerasa bersyukur sama beruntung banget dah, bisa berhasil bikin kamu jadi pasangan hidup aku.”
“Bucin akut.”
“Kan sama kamu doang, gapapa 'kan berarti?”
“Iya deh.”
Setelah percakapan itu berakhir, Jian melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul jam 12.00 tengah malam. Ia memposisikan dirinya di samping Ale, lalu menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. “Ngapain kaya gini?” tanya Ale, menatap Jian. “Biar kamu nggak takut lagi,” jawab Jian, menunduk untuk membalas tatapan Ale. Lalu Ale memberikan sebuah senyuman yang kecil. Ia terharu sekaligus lega dan tenang.
“Jian.”
“Kenapa sayang?”
“Aku sayang kamu, tau.”
“Iya tau kok, tapi aku sayang kamu lebih.”
“Curang.”
“Udah, suttt! Bobo aja. Good night cutie.“
written by kalacaffe.