orphanage.
markmin: mark as marcel & jaemin as nael. u might wanna listen to horror music while reading this one-shot.
TW // horror, thriller, psychopath, murder, blood, and major character death. CW // harsh words.
Nael adalah seorang lelaki berusia tujuh belas tahun yang sudah kehilangan kedua orang-tuanya. Akhirnya, Ia terpaksa harus tinggal di tempat panti asuhan. Tante Amira yang merupakan Tante-nya Nael, mengusulkan bahwa Nael lebih baik tinggal di dalam panti asuhan.
Jujur saja, Nael sendiri tidak ingin tinggal di panti asuhan. Ia masih ingin tinggal di rumahnya. Namun, karena adanya kasus pembunuhan di rumah itu yang menyebabkan kedua orang-tuanya meninggal, Ia terpaksa untuk tidak tinggal lagi di rumah tersebut. Kasus pembunuhan kedua orang-tuanya belum terpecahkan oleh polisi. Mungkin dikarenakan pembunuhnya sangat licik dan pintar.
Sekarang, Ia berada di depan bangunan panti asuhan. Melihat dari atas hingga ke bawah, menelusuri setiap area bangunan itu. Indah, banyak sekali pohon-pohon dan tanaman di sekitarnya. Oh iya, panti asuhan tersebut terletak di dekat hutan. Karena hal itu, udara di sekitarnya sangat segar.
“Halo! Ayo masuk, kamarmu sudah siap,” ajak lelaki itu, yang berada di depan pintu. Mungkin Ia adalah salah satu pengurus panti asuhannya. Nael hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Ia mengikuti dari belakang, hingga sampai di depan ruangan. Sepertinya itu adalah kamarnya.
“Terima kasih...?”
“Marcel, panggil saja Acel,”
“Oke, hahaha. Makasih Acel,”
“Sama-sama, Nael. Kamu boleh istirahat, tapi nanti jangan lupa makan malam ya,”
“Baik. Makan malam di..?”
“Di dekat dapur.”
Setelah Nael paham, Ia mengangguk dan dibalas dengan senyuman oleh Marcel. Pintu kamarnya yang berbahan kayu itu pun tertutup rapat, tas serta kopernya ditaruh di dekat kasur dan Ia merebahkan dirinya di atas kasur. “Acel.. tampan juga ya?” Ia terkekeh kecil saat memikirkan paras Marcel.
Ia berganti baju, menggunakan baju tidur yang nyaman. Lalu, Ia merapikan pakaian-pakaiannya dengan cara dimasukkan ke dalam lemari baju. Tiba-tiba, Nael menemukan sebuah foto polaroid.
“Ini apa..”
Saat melihat foto tersebut dengan jelas, ternyata itu adalah sebuah foto seseorang menggunakan topeng sembari membawa pisau yang berlumuran darah. Di belakang orang itu, ada kedua orang-tuanya Nael—yang tergeletak di lantai, sudah tidak bernyawa. Ia melihat belakang polaroid itu, ada sebuah tulisan. Tertulis,
“They say his disorder makes him charming, makes it easy for him to fake normalcy.“
Otak Nael tidak dapat bekerja dengan baik sekarang. Ia masih terkejut dengan foto yang menampakkan kedua orang-tuanya, telah dibunuh.
Tok! Tok! Tok!
Bunyi ketukan pintu terdengar di kedua telinga Nael. “Waktunya makan malam!” seru seorang lelaki. Ya, itu adalah suara Marcel. “Iya, aku akan ke sana bentar lagi!” balas Nael. Ia langsung merapihkan penampilannya dan keluar dari kamarnya untuk makan malam bersama dengan anak-anak lainnya.
Tempat panti asuhan ini sangatlah luas. Mirip seperti istana. “Sepertinya ini bukan sembarang panti asuhan”, pikir Nael. Ada sebuah tangga yang besar, perpustakaan yang terlihat luas juga, lalu dapur yang terasa hangat.
Hampir semuanya berbahan keramik dan kayu. Setelah sampai di area tempat makan, Ia menarik kursi dan duduk di meja makan bersama anak-anak asuh lainnya.
Entah mengapa.. mereka terlihat pucat dan lemas. Tetapi mereka menutupinya dengan sebuah senyuman—yang terlihat palsu—di mata Nael. Ia berusaha untuk membuang rasa curiga itu terhadap panti asuhan ini jauh-jauh.
“Aku memasak steak dengan french fries untuk kalian semua, harap dihabiskan yaa!” ucap Marcel. Semuanya mengangguk dan langsung melahap makanan tersebut. Tetapi, Nael masih diam mematung. “Nael, kau kenapa? Apakah makanannya tidak sesuai dengan seleramu?” tanya Marcel.
“O-oh tidak! Akan ku makan segera, aku hanya sedang ada banyak pikiran. Tenang saja, aku akan makan,” jawab Nael, tersadar kembali.
“Baiklah, jika ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, kau boleh bercerita kepadaku,” ucap Marcel, kemudian tersenyum.
“Siap!” seru Nael.
Nael langsung memakan hasil masakan Marcel, dengan jantungnya yang berdegup kencang karena ucapan serta senyuman yang diberikan oleh Marcel. Ia telah menyukai lelaki tampan itu.
Beberapa menit telah berlalu, Nael dan anak-anak asuh lainnya sudah menghabiskan makan malam mereka. Ternyata, masakan Marcel se-enak itu.
Jarum pendek menunjukkan pukul sepuluh malam, menandakan bahwa sudah waktunya untuk tidur. “Yuk, kembali ke kamar kalian. Waktunya untuk tidur,” ucap Marcel. “Ah iya, kalian TIDAK diperbolehkan untuk keluar dari kamar kalian lagi setelah masuk. Oke? Hanya bisa keluar lagi saat pagi jam tujuh nanti,” lanjutnya dengan tegas.
“Siap, kami mengerti!” ucap mereka semua secara serentak. Nael bersama anak-anak itu kembali berjalan ke arah kamar masing-masing. Namun saat di jalan, Nael terhenti. Membuat Marcel juga ikut ke menghentikan langkahnya yang sedang menuntun mereka kembali ke kamar.
“Kenapa, Nael?”
“Aku ingin bertanya sesuatu..”
“Silakan,”
“Kenapa kami tidak diperbolehkan untuk keluar lagi dari kamar saat malam-malam?”
Marcel terdiam sesaat. Ia terlihat ragu untuk menjawab pertanyaan milik Nael. “Aku tidak terlalu bisa menjawabnya. Tapi, jika kalian keluar dari kamar kalian pada saat malam-malam seperti itu, kalian akan ada dalam situasi yang berbahaya,” jawab Marcel.
“Berbahaya karena..?
“Maaf, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu lebih lanjut. Waktunya untukmu tidur sekarang. Selamat malam, Nael.”
Lelaki itu langsung pergi meninggalkannya dengan raut wajah yang serius. Membuat Nael semakin curiga dengannya ataupun tempat panti asuhan ini. Ada yang tidak beres.
Ia memasuki kamarnya kembali setelah menutup pintunya dengan amat rapat.
Nael mengeluarkan foto polaroid itu dan melihatnya kembali. Ya, walaupun sedikit menyeramkan, Ia tetap berusaha memecahkan “teka-teki” ini. Apa maksud dari tulisan tersebut? Mengapa bisa tertulis itu? Siapa yang menulis-nya?
Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala Nael sekarang. Sepertinya malam ini, Ia tidak dapat tidur dengan nyenyak.
“Aduh anjir.. haus,” monolog Nael. Dirinya terbangun di saat tengah malam dengan tenggorokannya yang terasa kering. Ia mencari-cari botol minum ataupun gelas berisi air di sekitar kamarnya, ternyata hasilnya nihil.
Mau tidak mau, Ia harus keluar dari kamar ini untuk mengambil air di dapur. Memang, sial.
Tangan kanannya memutar kenop pintu kamarnya dengan perlahan, berusaha untuk tidak ketahuan oleh Marcel. Karena Ia ingat, keluar dari kamar masing-masing saat malam-malam seperti ini tidak diperbolehkan, atau dilarang.
Namun apa boleh buat, Nael adalah seorang manusia. Ia merasakan ke-hausan, sehingga tenggorokannya sangat kering. Akhirnya Nael berjalan secara diam-diam, berusaha untuk tidak mengeluarkan ataupun menimbulkan suara.
Sesampainya di dapur, Ia mengambil sebuah gelas bening dan mengisinya dengan air mineral. Saat Ia minum, tiba-tiba terdengar sesuatu di telinganya.
Begitu Ia selesai meneguk seluruh air yang ada di dalam gelasnya, Ia langsung berjalan ke arah suara asing tersebut.
Bruk.. bruk.. bruk..
Seperti seseorang yang sedang memotong sesuatu menggunakan pisau daging yang besar itu. Nael berjalan perlahan-lahan ke arah basement. Itulah di mana suara tersebut berasal.
Rasa merinding, takut dan penasaran bercampur. Tetapi rasa penasaran itu jauh lebih besar, mengalahkan rasa takut Nael.
Ia mengintip pada pintu yang sedikit terbuka itu. Memperlihatkan sosok pria.. atau laki-laki, yang menggunakan topeng. Persis seperti pada foto polaroid yang Ia temukan tadi sore.
Dengan kedua matanya, Ia melihat laki-laki tersebut memotong sesuatu. Suatu daging yang baunya sangat menyengat hingga tercium baunya oleh Nael. Ia terbatuk sedikit.
“Ada siapa di sana?”
Sial. Nael tertangkap. Lelaki bertopeng itu menghentikan kegiatannya dan berjalan ke arah pintu. Nael langsung sembunyi di balik pintu, karena untuk kembali ke kamarnya akan membutuhkan durasi yang lama.
Nafasnya kini sudah tidak teratur. Tapi, mau tidak mau, Nael harus bisa menahan nafasnya supaya tidak ketahuan.
Krekkkk...
Pintu yang digunakan Nael untuk bersembunyi ditarik dari lelaki itu. Oh, tidak. Ia tertangkap. “T-tolong, jangan apa-apakan a-aku..” mohon Nael. Lelaki bertopeng itu menariknya dengan kuat, masuk ke dalam ruangan basement.
Ketika Nael memasuki ruangan basement, bau tersebut begitu menyengat di hidungnya. Lalu, Ia terkejut. Ada banyak sekali tumpukan-tumpukan tubuh anak-anak kecil ataupun seumurnya di situ. Mereka sudah tidak bernyawa lagi. Meninggal. Berdarah banyak.
“K-kau.. siapa?” tanya Nael, setelah diikat dengan sebuah tali oleh lelaki bertopeng tersebut. “Aku? Aku yakin kau sudah mengenal diriku,” ucapnya.
Nael menelan ludahnya dengan rasa takut. “M-marcel..? Tidak m-mungkin..”
Topeng tersebut pun dilempar ke sembarang arah. Menampakkan wajah yang sangat tampan dan tidak asing.
Tebakan Nael benar. Itu adalah Marcel.
“Surprise! Bagaimana? Kau suka kejutannya?” tanya Marcel, tanpa merasa bersalah sedikit pun. Nael terdiam sesaat. Ia berusaha mencerna semua ini dalam waktu singkat. “Nael..? Kau.. kenapa?”
Tanpa lama kemudian, Nael tertawa kencang. Seperti orang yang gila. Ia tertawa tanpa sebab sembari melihat Marcel dengan tatapan yang meremehkan. “Aduh, astaga.. maaf aku tertawa. Kau sangat lucu sekali!” ucap Nael.
“Maksudmu?”
“Ternyata kau juga bodoh ya? Mau ku jelaskan dari awal kah?” Nael tertawa kecil. “Aku yakin, kau pasti kenal diriku dan keluargaku dari awal, terutama sebelum kita bertemu di panti asuhan ini. Kau pasti tahu kan? Kedua orang-tuaku meninggal karena dibunuh..”
“Jangan b-bilang kau..”
“Pintar sekali! Benar, aku yang membunuh mereka. Kau pikir aku tidak tahu daging yang kau masak untuk makan malam tadi adalah daging manusia?” Nael melepaskan ikatan tali tersebut dan berdiri. Ia mendekatkan dirinya pada Marcel sembari tersenyum miring.
Kini, keadaan telah berubah. Rencana Marcel untuk membunuh Nael telah gagal. Ia ketakutan dengan paras Nael yang begitu berbeda. “Ah iya, kau pikir aku tidak akan tahu tentang polaroid ini?” tanya Nael, seraya mengeluarkan benda tersebut dari saku celananya.
“Awalnya.. aku memang sempat bingung dan terkejut. Mengapa foto kedua orang-tuaku ada di sini? Apalagi dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Tetapi, ketika aku melihat laki-laki bertopeng di foto itu, aku tahu.
Itu ulahmu, kau ingin mencuri targetku bukan? Tetapi aku sudah duluan membunuh mereka dan sayangnya aku tidak sempat berfoto dengan hasil karyaku.
Akhirnya, kau ke rumahku dan berfoto di situ, seakan-akan itu adalah hasil pembunuhanmu. Bajingan, hahaha.”
Semua yang diucapkan Nael itu benar. Sungguh membuat Marcel takjub dan terkejut dengan semuanya. Nael sungguh sangat pintar, licik dan tidak mempunyai hati nurani. Apakah kalian masih ingat dengan tulisan yang berada di belakang polaroid?
Ya, itu mencerminkan dirinya sendiri.
Lalu, Marcel? Ia sebelas-dua belas dengan Nael. Juga memiliki gangguan mental, yaitu psikopat. Namun, keadaan Nael lebih parah jika dibandingkan dengan Marcel. Sudah tidak tertolong lagi.
“Acel.. aku memang sempat menyukaimu. Tapi, saat aku mulai teringat bahwa kau berusaha mencuri hasil karyaku.. aku terpaksa harus membunuhmu~”
“T-tidak, jangan.. aku m-mohon, aku takjub dengan hasil-hasil karyamu, b-bahkan saat kau ke sini, aku s-sangat senang,”
“Hahaha, kau pikir itu akan merubah pikiranku? Kau sangatlah bodoh, Marcel.”
Nael langsung mengambil pisau daging di dekatnya. Malam itu, Ia sangat sibuk memotong-motong tubuh Marcel. Dari kepala, hingga kaki.. Ia potong semuanya.
Lalu, Ia pajang semua itu di sebuah meja berwarna putih. Senyumannya mengembang saat melihat hasil “karyanya” yang baru ini. Ia sangat mencintainya.
“Haruskah ku memberi label?” monolognya. “Ah.. tidak usahlah. Toh, nanti akan ku gunakan sebagai menu sarapan pagi nanti,” lanjutnya, diiringi dengan tawaan ringan.
Ia melihat ke seluruh area basement. Berpikir sesuatu. “Apa yang harus ku lakukan dengan semua ini? Haruskah ku jadikan menu untuk makan anak-anak? Atau.. ku bakar saja?” tanyanya pada diri sendiri. “Ku jadikan makanan saja ah! Anak-anak butuh energi yang banyak, mereka terlihat sangat kurus dan lemas tadi.”
Hari sudah menjadi terang. Pagi telah datang, suara kicauan burung terdengar indah.
Tak lama kemudian, ada sebuah mobil yang menurunkan dua anak laki-laki di depan panti asuhan itu. Nael yang melihatnya langsung bergegas ke arah pintu.
“Hai, selamat datang! Kamar kalian sudah siap. Yuk, aku antar.”
written by kalacaffe.