parent's high hopes.
CW // harsh words, toxic positivity.
Ketika hari sudah mulai gelap, Hezaro menawari tumpangan ke Aresta. “Babe, mau aku anterin nggak?” tanyanya. “Mau! Tapi agak cepetan ya, soalnya Mama ... kamu tau sendiri Mama gimana,” jawab Aresta.
“Oke deh, shall we go then?“
“We shall.“
Aresta menumpangi motor milik Hezaro, dengan perasaan yang gelisah—takut apabila Mamanya marah kepadanya—saat ia sampai di rumah nanti. Namun, angin semilir malam ini begitu sejuk. Setidaknya sedikit menenangkan hati Aresta dari kegelisahannya.
Sesampainya di depan rumah, Aresta langsung turun dari motor milik sang kekasih. “Makasih Roro! Maaf kalau ngerepotin mulu,” ucap Aresta. Hezaro menggelengkan kepalanya dan tersenyum, “Nggak kok, nggak ngerepotin sama sekali. Udah sana masuk, tapi jangan lupa kabarin aku nanti ya?”
“Siap. Bye bye Roro!” ucap Aresta sembari melambaikan tangannya. “Bye gemesku!” balas Hezaro sebelum pergi. Setelah itu, Aresta memasuki rumahnya dengan rasa gugup—karena harus membicarakan sesuatu dengan Mamanya. Perlahan-lahan, ia berjalan ke arah ruang tengah.
“Aresta.” Sebuah suara yang sama sekali tidak asing terdengar di telinganya. Lalu ia menoleh ke belakang dan kedua netranya melihat wajah sang wanita paruh baya—itu adalah Mamanya. “I-iya Ma? Ada apa?” tanya Aresta. “Ini. Kenapa nilai ujian kimia kamu turun?” tanya Mama, menunjukkan kertas ujian milik anak sulungnya.
Jantung Aresta mulai berdetak dengan sangat cepat, keringat dingin juga mulai bercucuran di keningnya dan kedua tangannya memainkan ujung seragamnya dengan rasa gugup. “Jawab, Aresta.” Nada suara Mamanya mulai meninggi, menandakan bahwa wanita itu mulai marah. “Maaf Ma ... aku udah berusaha sebaik mungkin, tapi habis ini aku bakal belajar lagi kok,” jawab Aresta.
“Oke. Jangan lupa mandi dulu, terus makan malam.”
“Oke Ma, sorry sekali lagi.”
“Hm.”
Begitu percakapan dengan Mamanya berakhir, Aresta langsung memasuki kamarnya dan membersihkan dirinya terlebih dahulu. Sebenarnya ia sempat berprasangka buruk; kalau Mamanya akan memukulnya karena mendapatkan nilai yang tidak sesuai standar Mamanya.
Ah iya, ia mendapatkan 70 di ujian harian kimia. Minimal harus mendapatkan 90 ke-atas, kalau kata Mama. Sudah dari kecil Aresta di didik seperti itu, jadi ia mulai terbiasa—walaupun seiring waktu berjalan, Aresta merasa dirinya semakin tertekan.
“Mending makan dulu atau belajar? Hmm ... makan dulu dah, takutnya maag nanti,” monolognya. Ia keluar dari kamarnya dan mengambil sebuah roti serta susu, lalu ia bawa bersamanya hingga masuk lagi ke dalam kamar.
Omong-omong, Aresta memiliki sang adik laki-laki. Namanya Adjie. Mereka memiliki perbedaan umur yang tidak terlalu jauh, tetapi kedua orang-tuanya masih memanjakan adiknya itu. Kadang Aresta merasa iri dengan perhatian yang adiknya dapatkan, dibandingkan dengan dirinya sekarang.
Itu karena orang-tuanya berkata, “Koko sekarang udah gede, kamu harus ngalah sama Adikmu. Kamu nggak boleh manja jadi Koko.“
Kalian para anak sulung juga pasti pernah mengalami hal yang sama 'kan? Rasanya tidak enak, sama sekali. Kerap kali Aresta ingin kembali ke masa-masa dirinya masih seorang anak kecil. Tidak peduli dengan dunia luar, hanya mengandalkan Mama dan Papa.
Semenjak mempunyai Adik, harapan orang-tuanya untuk Aresta semakin tinggi. Sungguh membuat Aresta ingin berteriak dan menangis sepuasnya.
Menjadi anak sulung bukan berarti ia tidak tergolong sebagai manusia lagi, benar? Ia bisa merasakan kelelahan.
Tapi untuk saat ini, itu tidak penting. Aresta harus memenuhi harapan orang-tuanya. Maka, Aresta kini sedang duduk di kursi dari meja belajarnya dan melakukan kegiatan belajar. Seperti biasa.
Namun lebih keras.
“Gua harus bisa. Gua nggak boleh nyerah, gua nggak boleh berhenti belajar. Gua nggak berhak buat istirahat sekarang, atau lo nanti bikin Mama sama Papa kecewa. Lo harus bisa, Res.“
Tangan Aresta mencatat berbagai macam hal penting dari buku pelajarannya—hingga gemetar hebat. Kedua netranya menahan tangisan, kepalanya terasa berat dan nafasnya terasa sesak.
Aresta sudah terlalu memaksa dirinya; karena demi membanggakan kedua orang-tuanya.
written by kalacaffe.