Perpisahan

TW // divorce, family problems, violance, harshwords.

“Aku mau ngajuin surat cerai,” ucap wanita paruh baya itu.

Suasana di rumah Algantara kini sangat menegangkan. Pria yang merupakan kepala keluarga Algantara, Ia hanya duduk di sofa sembari menunduk—menggunakan kedua tangannya sebagai topangan kepalanya. “Kenapa?” tanyanya.

Wanita tersebut menjadi semakin emosi, “Kenapa? Kamu tanya.. kenapa? Kamu nggak lihat keuangan kita semakin menurun? Bahkan mau beli kebutuhan sehari-hari aja susah Pa!”

Mahendra yang berada di ruangan yang sama dengan kedua orang tuanya hanya terdiam. Ia juga memperhatikan adiknya yang sedang mengintip di balik pintu kamar mereka.

Pria itu pun berdiri dan memasang raut wajah yang kesal. “Salah kamu sendiri nggak bisa kerja! Cuman bisa di rumah aja. Lah aku? Kerja seharian di luar!” bentaknya dengan suara yang menggelegar.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi pria tersebut. Mahen langsung berdiri dan menahan Mamanya dari belakang. “Udah Ma..” ucap Mahen. “Kamu nggak lihat Papa kamu ini?! Seenaknya bilang kaya gitu seakan-akan Mama nggak susah juga,” balas Mamanya, menatap kedua mata Papanya dengan tatapan yang penuh kecewa.

“Dasar wanita gila,” gumam pria tersebut. Tanpa sadar, kalimat itu sampai di telinga Jehano. Ia langsung keluar dari kamar dan memukul Papanya dengan kuat.

“Papa bilang apa tadi..? Jehano denger loh ya! Jangan sekali-kali ngatain Mama begitu!” bentak Jehano.

Bugh!

Dengan tenaga yang besar, pria itu berhasil menjatuhkan Jehano ke lantai. “Nggak anak, nggak istri. Sama-sama gila!” ujarnya. Tiba-tiba Mahendra maju dan mencengkram kerah baju Papanya. Ia marah, kecewa, sedih.

“Jangan sekali-kali anda berkata seperti itu ya? Kami tidak butuh anda di rumah ini. Jadi, silakan keluar.” Setelah Mahendra mengucapkan kalimat terakhirnya, Ia melepaskan cengkraman itu—membuat Papanya langsung pergi dari rumah mereka.

Mahendra langsung membantu adiknya, Jehano untuk berdiri. “Nggak usah, gue bisa sendiri.” Akan tetapi, Jehano menolak bantuan Mahendra; sungguh membuatnya bingung dengan tingkah adiknya ini.

Adiknya beranjak berdiri dari lantai dengan penuh perjuangan, lalu pergi ke kamarnya dan mengunci pintunya.

Perasaan Mahen menjadi tidak enak, Ia tidak tahu harus bagaimana. Satu hal yang Ia bisa lakukan sekarang sebagai anak SMA adalah.. membantu Ibunya mencari uang dengan cara ikut kompetisi-kompetisi pelajaran kesukaannya. Biasalah, tipikal anak pintar dan rajin.

Di sisi lain, Jehano sedang menangis di dalam kamarnya. Ia berkesulitan untuk menerima semua ini dalam sekejap. Kedua tangannya Ia gunakan untuk menutup telinganya. “Berisik banget ini kepala, bisa diam nggak sih?!” batinnya.

Singkat cerita, Jehano adalah anak yang sifatnya bertolak belakang dengan kakaknya. Tempremental, tidak suka dikekang dan lebih menyukai hal yang berhubungan musik—dibandingkan belajar teori.

Kini, di kelas SMP.. hidupnya sudah mulai bertambah hancur karena keluarganya. Ia sejak kecil tidak pernah merasakan bagaimana rasanya bahagia. Selalu dibandingkan dengan kakaknya. Oleh karena itu, Ia memiliki dendam yang seharusnya tidak Ia punya, terhadap kakaknya dan kedua orang tuanya.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu terdengar jelas. “Dek? Kamu gapapa? Luka kamu belum diobatin loh,” tanya Kakaknya dengan penuh khawatir. “Bodo, taruh aja obatnya di depan pintu. Nanti gue obatin sendiri,” balasnya dengan kasar.

Okay, I'll be here if you need me ya Dek?”

Ketika suara langkah Kakaknya menjauh, Jehano membuka pintunya untuk mengambil obat tersebut. Ia mengobati semua luka itu sendirian.

Anggap saja, ini baru awal-awal dari kisah persaudaraan mereka.

© kalacaffe ; 2021.