put your head on my shoulder.

TW // kissing, harshwords.

Jian yang sebelumnya tiduran, Ia mendapat pesan itu dari Ale dan langsung berdiri. Satu persatu langkah mendekati pintu tinggi berwarna coklat itu.

Ceklek!

Begitu Ia membuka pintunya, sebuah senyuman kecil diperlihatkan oleh Ale. Biasanya Ale memperlihatkan raut wajahnya yang datar, tetapi untuk kali ini tidak. Ia langsung masuk ke dalam kamar Jiandra dan menaruh sebuah plastik yang berisi bubur ayam serta kotak P3K.

“Sini, gue mau liat muka lo,” perintah Ale, mengisyaratkan Jian untuk mendekat ke dirinya.

Lelaki bertubuh tinggi itu hanya menurut. Ia menarik sebuah kursi dan duduk di depan Ale. “Kenapa?” tanya Jian dengan bingung. Oknum di depannya mengambil kotak P3K itu dan membukanya—serta mengambil sebuah cotton bud dan betadine.

Ia mulai mengobati area-area luka di wajah Jian secara perlahan. “Perih le,” Jian sedikit meringis kesakitan. “Diem, bentar lagi selesai.” balas Ale dengan singkat.

Di sisi lain, Jian yang tadinya meringis kesakitan menjadi terpesona dengan wajah indah Ale. Ia melihat satu persatu detail dari wajah milik Ale—dari bulu matanya yang panjang, pipinya yang gembul, dan terakhir bibirnya yang lembut—Jian menyukai setiap detail kecil itu.

“Dah selesai, tinggal tunggu beberapa hari lagi baru luka-lukanya hilang,” ucap Ale seraya menutup kotak P3K. “Thank you cil,” balasnya balik, memperlihatkan senyum khasnya.

Do you want something?” tanya Ale secara tiba-tiba.

Buset! Ini gua lagi ditawarin apa ditanyain? Atau gimana? Gua harus jawab apa anjir?

“Jangan gua terus, how about you?”

Ale terdiam sejenak, mencoba berpikir untuk menjawab pertanyaan Jiandra. Sebenarnya ada banyak sekali yang Ia ingin minta kepada Jian, tetapi itu untuk lain waktu saja.

I want to hug you, and you can put your head on my shoulder, Jian.” ucap Ale sedikit cepat dari biasanya. Demi Tuhan! Apa yang baru saja Ia katakan? Ale merasa malu setelah mengatakan permintaan kecilnya.

Tanpa lama lagi, Jian membuka lebar kedua lengannya—sebagai isyarat supaya Ale bisa memeluknya—Ale pun paham dan langsung mendekatkan dirinya. Ia memeluknya dengan erat dan nyaman.

Mereka berdiam selama sepuluh menit, sibuk dengan pikiran masing-masing. Mencoba untuk saling menenangkan dengan sebuah pelukan. Tiba-tiba lelaki yang lebih pendek itu meneteskan air mata. Isakannya terdengar di telinga Jian.

“Ale, don't cry. I'm here,”

Ia melepaskan pelukan itu secara perlahan, mencoba untuk melihat wajah Ale. Ibu jarinya mengusap air mata Ale dengan lembut, dan tersenyum.

“G-gue cuman ngga t-tega aja liat lo begini,” ucap Ale dengan suara sedikit gemetar. “It hurts me seeing you like this, Jian.” lanjutnya.

Jiandra yang mendengar hal itu merasa bersalah. Karena dirinya, Ale menjadi sedih dan khawatir seperti ini.

I'm sorry, Ale. Gara-gara gua, lo nangis. gua brengsek banget, maafin gua le,”

Ale menggeleng sebagai tanda tidak setuju dengan ucapan Jian barusan, dan langsung memeluknya lagi. “Jangan bilang gitu, gue ngga suka. Lo bilang begitu lagi, gue pukul bibir lo,”

“Pukul aja,”

Ia melepaskan pelukannya dan menatap Jian dengan sedikit terkejut.

“Seriusan nih?”

“Iya, asal pake bibir lo,”

Seketika Jian menerima pukulan-pukulan kecil dari Ale karena ucapannya tadi. Bayangkan saja, situasinya sedang serius dan tiba-tiba ada yang bercanda. Kesal bukan?

Mereka berdua tertawa lepas, dan merasa sedikit lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. “Deketan coba,” perintah Ale. Jian mendekatkan wajahnya ke Ale, hingga jarak mereka menjadi sangat dekat.

Cup!

Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir kering Jiandra. Ia awalnya merasa terkejut, namun setelah itu Ia merasa begitu senang. Pipi Ale sekarang sudah memerah seperti tomat.

“Lagi dong le,” Jian mulai usil dengan Ale.

“Nggak!”

“Ayo cepet, aku mau lagiiii,”

“Gamau wleee!”

“Ah ngga asik, Ale mah,”

Jiandra mulai berlagak seperti dia sedang merajuk—mencoba untuk meluluhkan Ale sekali lagi. Namun, Ia menyerah. Akhirnya dia memutuskan sesuatu.

“Kalau gitu, aku aja yang duluan.”

Bibir Jiandra menempel lagi di bibir milik Ale. Perlahan-lahan, Jian mulai mendominasi ciuman manis itu. Sungguh sebuah ciuman yang lembut dan candu bagi mereka.

I won't forget this special moment with you.

KALACAFFE.