study session.
Jam dinding sudah menunjukkan 18:30 malam, dan Jian sedang menantikan seseorang di dalam kamarnya. Katakan Jian gila—dia rela membersihkan dan merapikan seluruh isi rumahnya. Katanya sih, demi kenyamanan bersama.
Pakaian yang Ia kenakan hanya hoodie dan celana pendek kesayangannya. AC pun sudah Ia nyalakan dari 30 menit yang lalu, meja juga sudah Ia rapikan serta buku-buku pelajaran di sebelahnya.
Ia merasa sedikit gugup, tapi tidak sabar untuk belajar bersama orang yang Ia suka dari dulu. Sebenarnya, Jian juga ingin mendapatkan nilai yang bagus; masalahnya Ia begitu pemalas untuk belajar.
Tok! Tok! Tok!
Jian berdiri dari kursinya untuk membukakan pintu. “Akhirnya lo dateng juga, gua udah nunggu dari lama nih,” ucapnya sembari tersenyum. “Sorry, tadi sempet ada traffic di jalan,” balas lelaki itu.
“Yaudah, ayo mulai belajar. Keluarin buku matematika lo sama satu buku catatan.” perintah Ale, duduk di sebelah kursi milik Jian.
Jiandra hanya mengangguk nurut dan melakukan apa yang diperintahkan Ale. Lalu Ia duduk di sebelahnya, merasa begitu senang bisa bersebelahan dengan orang yang Ia suka.
Waktu pembelajaran telah dimulai. Ternyata Jian kali ini bisa fokus dan mengerti dengan baik semua yang diajarkan atau dijelaskan oleh Ale.
“Sekarang lo coba kerjain soal-soal ini,”
“Semuanya?”
“Dari nomor satu sampai lima belas aja dulu. Nanti gue cek jawaban lo,”
“Alright.“
Menunggu Jian mengerjakan latihan soal, Ale tiduran di atas meja—sembari melihat Jian yang memasang wajah serius. Tanpa Ia sadari, kedua sudut bibirnya naik sedikit. “Udah sampai soal nomor berapa?” tanyanya. “Baru sampai nomor sepuluh, dikit lagi,” jawab Jian, lanjut menulis dan menghapus tulisan.
“Le, gua terlalu ganteng ya?” ucap Jian mulai usil. “Maksud lo..?” Ale mulai kebingungan.
“Dari tadi lo liatin gua mulu, mana senyum-senyum sendiri lagi,”
“Ke-geeran.”
“Hahaha, gemes banget sii,”
“Diem lo, cepet selesain dulu,”
“Iya iyaa, cutie.”
Tepat pada pukul tujuh malam, Jian akhirnya berhasil menyelesaikan lima belas soal latihan itu. Jujur saja, Ale hampir tertidur karena merasa bosan menunggu Jian. Fiuh! Untung saja Ia bisa menyelesaikannya dalam 30 menit. Tapi sekarang, waktunya untuk mengecek jawaban-jawaban milik seorang Jiandra. “Udah? Mana sini jawabannya, biar gue bisa cek.”
Hanya butuh sepuluh menit, Ale sudah selesai mengecek semua jawaban. Demi Tuhan, rasa gugup Jian seperti sudah menaiki level teratas!
“Congrats! Jawaban lo bener semua,”
“Seriusan Le?” Ia menatapnya tidak percaya.
Ale mengangguk kecil dan tersenyum puas. Akhirnya, Ia berhasil mengajar satu “muridnya” ini. Jian yang mengetahui itu, langsung berseru-seru. Siapa juga yang tidak senang kalau jawabannya benar semua?
“Lo boleh minta apapun ke gue sebagai reward. Tapi jangan yang aneh-aneh, awas aja lo,” ucap Ale.
“Kalau gitu.. can I hug you?“
“Sure, why not?“
“Yaudah, kalau gitu sini.” perintah Jian sembari menepuk pahanya. Awalnya Ale agak ragu, tapi akhirnya Ia menyetujuinya. Lelaki berambut hitam itu pindah untuk duduk di pangkuan Jiandra. Aduh! Perutnya seperti terisi kupu-kupu lagi, sungguh aneh untuk Ale.
Posisi mereka berhadapan—Jian memberi tatapan penuh kasih sayang, yang tidak pernah seorang pun melihatnya seperti itu. Lelaki di pangkuannya tidak tahu harus berbuat apa dan hanya terdiam. “Jangan liatin gue kaya gitu, Jian.” Ia membuka suara.
Jian tertawa kecil, merasa gemas dengan Ale. Lalu tanpa lama lagi, Ia langsung memberi pelukan hangat kepada lelaki itu dan mencoba membuatnya terasa nyaman.
Ale yang awalnya hanya diam, akhirnya membalas pelukan lelaki di hadapannya itu. Ia sedari tadi merasa bahwa seorang Jiandra yang selalu ceria ini, sedang berjuang sendirian. Menghadapi segala rintangan di hidupnya yang tidak mudah. Ale heran, bagaimana Jiandra bisa tetap tersenyum? Namun pertanyaan itu tidak akan terjawab sekarang, jadi biarkan waktu yang menjawab semuanya.
“Ale,”
“Hm?”
“Your hug is very warm, gua suka.”
“Your's too, Jian.“
I really do wish time stops for awhile right now.
— KALACAFFE