Tenang

Beberapa tahun kemudian...

Langit hari ini sangat cerah, banyak pohon-pohon beringin dan burung-burung yang terbang kesana-kemari. Tepat pada tanggal 2 Agustus, Jehano dengan seseorang; mengunjungi makam Mahendra.

Sudah bertahun-tahun sejak Mahendra mendonorkan jantungnya kepada adiknya dan meninggalkan Bumi ini.

Jehano menghampiri sebuah batu nisan yang bertulisan nama “Mahendra Algantara”. Ia mengusap ujung batu nisan itu sembari tersenyum kecil.

“Halo, bang? Ini Jehano, adik abang. Di sini Jehan bawa seseorang yang spesial, Langit. Inget dia kan? Sekarang kita udah pacaran selama beberapa bulan..

Oh iya, bang. Jehan mau bilang makasih banyak buat semuanya. Maaf Jehan selama ini dendam ke abang, padahal Abang nggak salah apa-apa. Kalau Abang nggak mau maafin Jehan, gapapa kok! Semoga abang bisa denger suara Jehan sekarang.

Bang, Jehan kalau dikasih kesempatan sekali lagi buat ketemu abang, Jehan bakal ajak abang jalan-jalan deh! Terserah, kemana aja. Tapi.. sayangnya udah telat, maaf ya bang? Jehan mau di kehidupan selanjutnya bisa jadi Adiknya bang Mahen lagi.

Eh, ini Langit mau nyapa abang juga,” ucap Jehano panjang lebar. Ia mundur sedikit, mempersilakan kekasihnya untuk berbicara sepatah kata ke Abangnya.

Langit berlutut di samping batu nisan Mahendra. “Halo, bang! Pasti masih inget Langit kan? Hehe.. kita emang nggak terlalu deket, tapi Langit bisa merasakan kehilangan bang Mahen. Langit di sini sekarang jadi pacarnya Adik bang Mahen. Langit janji, kalau Langit bakal selalu ada buat Adiknya bang Mahen. Suer deh!

Semoga kita bisa ketemu lagi di kehidupan selanjutnya ya, bang? Bahagia terus di sana.” Langit akhirnya selesai mengatakan beberapa kata-kata untuk Mahendra.

Jehano menunduk, menaruh sebuah bunga Anyelir di depan batu nisan Abangnya. “Jehano janji nggak bakal lupain Abang.”


Hari berganti menjadi begitu gelap. Jam tangan sudah menunjukkan pukul 9 malam. Jehano memasuki rumah itu dan melihat Mamanya yang sedang memasak untuk makan malam mereka.

“Ma?”

“Eh, Jeje! Ayo bersih-bersih dulu, abis itu makan malam sini bareng Mama,”

“Siap bu bos!”

Setelah selesai membersihkan diri, Jehano menarik kursi dan duduk di dekat meja makan. “Awas tangannya,” peringat Mamanya sembari membawa panci berisi ramen.

Jehano tertawa ringan, “Hari ini tumben bener makan ramen,” Ia melahap makanan itu setelah meniupnya berkali-kali. “Iya nak, udah lama soalnya. Sekalian ngerayain ulang tahun Abangmu,”

“Oh iya! Jehan hampir lupa ulang tahun Abang, astaga..”

“Padahal yang tua Mama, kok kamu yang udah pikun?” tanya Mamanya, di iringi dengan tawaan.

“Hehe, maaf Ma. Udah ayo dimakan dulu, takutnya keburu dingin.”

Akhirnya, setelah sekian lama, Jehano merasakan kehangatan keluarganya. Ia berjanji akan menjaga Mamanya sampai detik akhir hidupnya dan menjalani hidup ini dengan baik.

Abang, Jehan akhirnya menemukan kebahagiaannya Jehan. Abang bahagia juga ya, di sana?

— kalacaffe; 2021.