the morning.

Setiap hari, Aresta selalu menjadi murid ter-awal yang masuk ke kelasnya. Ia menyapa beberapa guru saat di perjalanan menuju ke ruang kelasnya. “Pagi Miss,” sapa Aresta dengan senyuman. “Pagi juga, Ares.” Lalu mereka berpisah, ke tujuan masing-masing.

Aresta memasuki kelas itu, sedikit terkejut karena melihat dua murid yang sudah berada di dalam. Kedua lelaki itu adalah Jevian dan Naja. Anak kembar yang terlihat mirip, tetapi nama mereka tidak ada letak kemiripannya. Aneh bukan? Aresta pun menyapa mereka dengan senyuman, seperti Ia menyapa guru tadi.

Setelah menyapa sepasang kembar itu, Aresta duduk di bangkunya dan menunggu teman-teman yang lainnya untuk datang. “Oy, Res!” sahut Naja. “Ya? Kenapa Ja?” tanya Aresta, menoleh ke belakang. “Lo jadi ketua kelas buat minggu ini 'kan?” tanya Naja. Sebagai jawaban, Aresta mengangguk. “Selamat ya! Gua sama Ian dukung lo, kok.” Ucapannya membuat Aresta tersenyum, Ia pun mengucapkan 'terima kasih'.

Beberapa menit berlalu, dan seseorang memasuki kelas mereka. Seorang pemuda yang tampan. Yaitu, kekasih dari Aresta. Pemuda itu menaruh tas ransel-nya di dekat meja dan langsung menghampiri kekasihnya. “Mau keluar dulu?” tanya Hezaro. “Mau. Ayo,” jawab Aresta. Keduanya meninggalkan kelas tersebut dan berjalan-jalan berdua di sekitar dalam sekolah.

Babe.

“Ya?”

“Gimana tidurnya tadi malem? Nyenyak?”

“Nggak terlalu ... lagi ada banyak pikiran, biasalah Ro.”

Tangan Hezaro secara reflek mengusap-usap kepala Aresta dengan lembut. Ia memandangnya sedih. Selalu seperti itu; akhir-akhir ini Aresta seringkali kesulitan untuk tidur di bawah jam dua belas. Banyak pikiran dan beban yang harus Aresta bawa. Mungkin tidak terlihat di hadapan orang lain, namun sebagai orang yang dicintai Aresta—pasti lelaki itu berbagi keluh kesah kepadanya—walaupun tidak seluruhnya.

Hezaro mengambil tangan Aresta, lalu mengusapnya perlahan. Lalu Ia menatap kedua netra sang kekasih. “Kalau kamu ada banyak pikiran lagi, telpon aku aja ya? Pasti bakal aku angkat kok. Just remember that I'm here for you, okay?” ucap Hezaro. Aresta mengangguk dan tersenyum kecil. “Iya Roro, makasih banyak,” balasnya. “No problem cutie-pie.

“Tapi serius, jangan begadang terus-terusan ya? Nggak baik buat kesehatan kamu, apalagi kamu sekarang jadi ketua kelas. Belum aja kamu ada kegiatan ini itu—”

“Iya-iya sayang, aku juga lagi coba se-bisa mungkin buat tidur awal. Jangan terlalu khawatir.”

Okay. Aku cuman takut kamu kenapa-napa, makannya aku ngoceh banyak ke kamu ... maaf.”

“Gapapa, I really appreciate it! Maaf selalu bikin kamu khawatir.”

Hezaro mengusap-usap kepalanya lagi. “Yaudah, masuk kelas yuk? Bentar lagi mulai kelasnya,” ajak Hezaro. Mereka berdua akhirnya kembali ke ruang kelas dan duduk di bangku masing-masing. Melihat jam dinding yang menunjukkan 07.25, Aresta menggunakan waktu sisanya untuk merapikan mejanya.

Omong-omong, semua murid telah hadir di kelas ini. Seperti biasa, dengan banyaknya orang di dalam ruangan ini—pasti akan terdengar ramai dan berisik. Jujur saja, Aresta tidak terlalu menyukai keramaian. Namun Ia sudah beradaptasi di dalam kelas ini, bersama dengan teman-teman sekelas lainnya.

Guru mereka pun datang, membuat para murid langsung terdiam dan duduk di bangku masing-masing. “Selamat pagi semuanya!” sapa guru tersebut. “Beri salam!” seru Aresta. Kemudian seisi kelas memberi salam kepada wanita paruh baya itu. “Terima kasih, Ares. Oh iya, selamat karena udah jadi ketua kelas ya.”

“Terima kasih, Ms,” balas Aresta dengan senyuman.

“Oke, buka buku paket bahasa Indonesia kalian di halam 127. Kalian kerjakan latihan soalnya terlebih dahulu ya. Saya mau ambil kacamata saya yang ketinggalan di ruang guru. Aresta, tolong awasi kelas ini.”

“Baik Miss.

Guru tersebut pergi meninggalkan kelas untuk sementara. Dan Aresta, melakukan perintahnya. Ia mengawasi kelasnya sembari mengerjakan latihan soal pada buku paket itu.

Tak lebih dari tiga menit, sudah ada yang mengganggu Aresta. Ada yang melempar penghapus kepada dirinya. Ia mengambil penghapus itu, lalu bertanya, “Siapa yang lempar ini?” Seseorang menjawabnya. “Gue. Sorry nggak sengaja Res,” ucapnya. “Ya. Kerjain latihan soalnya dulu, jangan berisik.”

Hezaro, yang posisi bangkunya berada di paling belakang, Ia memandangi kekasihnya sembari tersenyum bangga. Setidaknya ... pemuda itu mempunyai kepribadian yang tegas dan dapat menegur sesamanya. “Senyum-senyum aja lo,” ledek Jevian. “Gua cuman bangga aja sama pacar gua, keren banget dia,” ucap Hezaro tanpa rasa malu.

“Iya sih, gua kalau di posisi dia bakal diem aja. Takut gua, hahaha.”

“Sama. Makannya gua salut sama dia.”

Percakapan singkat itu pun selesai sampai di situ, karena keduanya lanjut mengerjakan latihan soal mereka. Seisi kelas tiba-tiba kembali sunyi. Tentu, karena gurunya sudah kembali. “Lain kali jangan berisik saat guru kalian meninggalkan kelas ini sebentar ya? Kedengaran sampai luar loh. Aresta juga harus bisa negur teman-teman sekelas kamu ini,” tegur sang guru.

“Maaf Miss ...”

“Ada apa Hezaro?”

“Tadi Aresta sudah menegur dengan baik, kok. Cuman memang ada beberapa teman-teman di sini yang memang nggak mau untuk ditegur, Miss.

“Baik, terima kasih Hezaro dan Aresta. Maaf karena saya sudah berasumsi yang tidak benar.”

Aresta menoleh ke belakang, melihat Hezaro yang baru saja membantunya. “Makasih Roro,” bisiknya. Lalu Hezaro mengangguk dan membalasnya, “Sama-sama sayang.

Awal yang tidak begitu mulus, tapi tidak apa-apa. Masih bisa ditoleransi oleh Aresta. Semoga ... sisa waktu hari ini berjalan dengan baik.

written by kalacaffe.