the proposal.
CW // kissing, harsh words.
Jiandra, seorang pemuda yang sedang dalam keadaan stress—ya, untuk saat ini. Sepanjang waktu, ia berjalan kesana-kemari sembari berpikir keras. Sudah saatnya ia melamar pujaan hatinya, si Ale.
“Gua harus apa ini?! ARGHH!” keluh Jian. Rambutnya sudah sangat berantakan sekali, karena ulahnya sendiri—sebuah tanda bahwa ia sudah sangat frustasi. “Gua harus cari ide yang bikin hati dia meleleh dan nggak terlalu berlebihan buat ngelamar Ale. Tapi masalahnya gua lagi nggak ada ide,” lanjutnya.
Kemudian, Jian mengambil gelas berisi air putih dan meneguknya hingga habis. Ia pun duduk sejenak supaya dapat berpikir lebih jernih. “Oke ... pertama, Ale sukanya matematika. Apa gua lamar pake kode-kode matematika gitu aja ya?” tanyanya, pada pantulan cermin. Lalu ia langsung menggeleng hebat. “Jangan deh, nilai matematika gua pas dulu aja selalu di bawah KKM, yakali gua ngelamar pake itu.”
Jian berdiam lagi untuk berpikir. “Hmm ...” Tak lama kemudian, sebuah ide muncul di benaknya. “Oh! Ale suka donat pake gula salju! Eh tapi, masa gua masukin cincinnya ke dalam donatnya? Nanti kalau dia ketelen gimana goblok?” Yah ... ide yang buruk lagi, kandas. Lalu pemuda itu melihat ke sekelilingnya dan kedua netranya terhenti pada suatu bingkai foto.
Foto itu memperlihatkan Ale yang sedang memeluk anjingnya, Regal. Sangat amat menggemaskan, hingga tanpa sadar membuat kedua sudut bibir Jian terangkat.
Jian menatap foto itu sangat lama, sampai ia mendapatkan sebuah ide yang cemerlang. “Akhirnya ketemu ide yang sempurna. Sekarang tinggal nyiapin aja. Haduh, semoga gua bisa.”
3 jam telah berlalu dan kini jam dinding menunjukkan jam 7 malam. Jian sedang memastikan semuanya sudah berada di tempat. Ia pun juga tak lupa memberi makan anjing peliharaannya Ale; yang sempat dititipkan padanya beberapa hari yang lalu. Setelah semuanya selesai, Jian mendudukan dirinya di atas sofa. “Gua telpon Ale sekarang kali ya?” batinnya.
Namun sebelum itu, ia mencium bau tak sedap pada tubuhnya. “Ya ampun, gua lupa mandi anjir! Bisa-bisanya gua lupa, untung sekarang gua inget. Gimana kalau gua nggak inget? Kayanya gua bisa-bisa ditolak Ale ini mah,” racau Jian. Dan pun ia langsung pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Masa ia mau melamar Ale dengan paras seperti itu?
Beberapa menit kemudian, Jian akhirnya selesai membuat dirinya semakin tampan dan juga wangi. Ia pun langsung mengambil ponselnya dan menghubungi kekasihnya.
“Halo Jiannn!“
“Hahaha, halo sayang. Kamu bisa ke sini nggak?”
“Bisa. Tapi aku harus revisi beberapa hal dulu, bentar lagi kelar kok.“
“Sip! Nanti kabarin aja kalau udah kelar ya?”
“Okay Jian. Aku tutup yaa, see you later!“
“See you soon, babe. Semangat.”
Tut!
Sambungan tersebut pun dimatikan oleh Ale yang sedang sibuk. Eitss, tapi kalian jangan salah paham. Jian tidak dalam masa pengangguran atau tidak mempunyai kerjaan. Ia justru bekerja di bawah perusahaan Papanya Ale sebagai manajer dan Ale sendiri sebagai direktur keuangan. Jadi, bisa dikatakan mereka lumayan beruntung dan tentu bersyukur mendapatkan posisi tersebut.
Hari ini Jian mengambil cuti dengan alasan sakit. Padahal nyatanya, ia sedang mempersiapkan sebuah kejutan yang spesial untuk Ale. Sedikit kurang ajar, tapi tidak apa-apa. Hanya sekali ini saja.
“Duh, lama banget rasanya,” keluh Jian—yang langsung menghembuskan nafas panjang. “Apa gua telpon Bunda aja ya?” pikirnya. Pemuda itu membuka ponselnya lagi dan menghubungi Bundanya. Sudah sangat lama mereka bertukar kabar lagi semenjak Jian mendapatkan pekerjaan dan harus berpindah rumah. Jian merindukan Bundanya.
“Halo Bunda?”
“Ini Jian ya?“
“Iya Bunda, ini Jian. Jangan-jangan Bunda udah ngelupain Jian nih?”
“Hahahaha, nggak kok sayang. Bunda nggak mungkin ngelupain anak Bunda yang bungsu. Kabarmu gimana nak? Baik? Nggak ada masalah apa-apa 'kan?“
“Nggak, Bunda. Jian cuman mau denger suara Bunda lagi, udah lama nggak denger soalnya.”
“Bisa aja deh kamu. Oh iya, kabar Ale gimana nak? Baik juga?“
“Baik kok. Jian selalu ngejagain Ale juga, jadi Bunda nggak usah khawatir.”
“Syukur kalau gitu. Kamu udah makan nak?“
“Belum Bun. Bentar lagi Jian makan kok, bareng Ale malah.”
“Wihhh, asik dong? Jangan lupa makan yang banyak ya, biar ada tenaga buat kerja. Jangan sampai kecapean juga, istirahat yang cukup.“
“Siap Bunda! Yaudah, sekarang Jian tutup dulu ya? Ale bentar lagi pulang nih, mau siap-siap dulu.”
“Iya iya, sana gih. Dadah sayang! Jaga diri baik-baik di sana!“
“Iyaa, dah Bunda!”
Tut!
Setelah sambungan telepon itu dimatikan, Jian bercermin lagi—untuk memastikan penampilannya terlihat sempurna di hadapan Ale. Begitu Jian selesai merapikan dirinya, ia mendengar suara ketukan pintu dari depan rumahnya. Jantungnya langsung berdebar begitu cepat, karena ia tahu bahwa Ale akhirnya pulang.
Langkah demi langkah, Jian pun sampai di belakang pintu rumahnya. Tangannya menarik gagang pintu itu, membuka pintunya dan memperlihatkan sosok pemuda yang sangat menggemaskan dan indah. Iya, pemuda itu adalah Kalileo Mahreja Putra. Seseorang yang sangat Jian cintai.
“Kamu mau aku berdiri di luar terus nih?” tanya Ale, terkekeh kecil. “E-eh iya hahaha, ayo masuk. Maaf, tadi aku rada kaget lihat kamu,” jelas Jian. Ale pun memasuki rumahnya dan melepaskan sepasang sepatunya; tak lupa menatanya dengan rapi juga.
Kemudian Ale menatap Jian. “Kenapa natap aku begitu?” tanya Jian dengan heran. Tiba-tiba Ale berjinjit dan mengecup bibir sang kekasih. “I've been missing you a lot,” ucap Ale, lalu ia tersenyum kecil. Jian masih sedikit terkejut dengan aksi Ale yang tanpa aba-aba.
Lalu, kedua tangan gagah Jian mengangkat tubuh Ale seperti anak kecil dan membawanya ke sofa. Ia mendudukan Ale di sebelahnya. “Kenapa aku harus digendong coba?” tanya Ale, mengerutkan keningnya. “Gapapa sih, pengen aja. Lagian kamu juga enteng banget, jadi aku bisa gendong kamu kaya bayi koala,” jawab Jian. “Dasar kamu,” ketus Ale.
Netra Jian mencuri-curi panjang terhadap Ale. “Hmm, kamu nggak mau peluk aku? Tadi katanya kangen,” ledek Jian. “Ih! Aku mau, siapa bilang aku nggak mau?” cibir Ale, yang kemudian mendekatkan dirinya pada Jian. Kekasihnya itu pun langsung memeluk Ale dengan erat dan tak lupa juga mencium keningnya. “By the way, mau nonton film nggak?” tanya Jian. “Boleh, tapi kamu aja yang pilih,” ucap Ale. Dan Jian mengangguk 'iya.'
Saat film itu masih diputar, Jian tiba-tiba teringat akan rencana kejutannya untuk Ale. “Cutie,” panggil Jian. “Ya?” balas Ale, tanpa melepaskan pandangannya dari televisi. “Aku mau ke dapur dulu ya? Haus soalnya,” ucap Jian. Kemudian Ale mengangguk sebagai jawaban.
Jian pun berdiri dan berjalan ke arah belakang menuju dapur. Ia melihat anjingnya Ale; alias Regal yang memakai kostum lucu seperti pengantin. Tidak lupa juga, ia membawa kotak berisi cincin. Lalu pemuda itu mengalungkan sebuah kertas yang sudah ada tulisannya—kepada Regal. “Kita harus bisa, oke?” bisik Jian kepada anjing itu.
Setelah itu, Jian menyuruh Regal untuk berlari ke arah tuannya. Tentu, Jian mengikutinya dari belakang. Berjalan selangkah demi selangkah, hingga sampai tepat di depan hadapan kekasihnya.
“What's going on, Jian?“
“Coba kamu lihat yang ada di lehernya Regal.”
“H-huh?”
Ale mengangkat anjingnya ke hadapannya, lalu ... dirinya tertegun saat membaca tulisan itu. Ale berdiri; dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca. Kemudian Jian meletakan satu lututnya di lantai, dan berkata demikian,
“Aku udah nungguin momen ini selama bertahun-tahun semenjak kita pacaran. Bahkan sampai aku cerita ke Bunda tentang ini. So Ale ... Instead of “you” and “I,” let's become “we.” I'm asking you to share my life, will you marry me?“
Jian pun membuka kotak berisi cincin tersebut di hadapan Ale. “... Kamu mau 'kan?” tanyanya lagi dengan ragu. Ale mengangguk. “Of course Jian,” jawab Ale dengan penuh keyakinan. Tanpa lama lagi, Jian memasang cincin itu pada jari manis Ale dan mengecupnya dengan lembut—layaknya seperti pangeran dari kerajaan.
Ia berdiri dan mempertemukan kedua kening mereka—hingga kedua hidung mereka ikut bersentuhan. Jian dan Ale memejamkan mata sejenak untuk menikmati momen ini.
“I love you, Ale.“
“I love you more, Jian.“
Kedua tangan Jian menarik pinggang Ale, yang dapat menghapuskan jarak di antara mereka. Ia mencium bibir Ale dengan lembut dan penuh cinta. Tanpa paksaan, halangan atau apapun itu. Serasa dunia ini hanya milik mereka berdua.
Malam ini sangat amat indah. Bulan yang menyinari langit dan bintang-bintang yang menghiasinya. Saling melengkapi; seperti Jiandra dan Kalileo.
“Babe.“
“Hm?”
“Right now, I feel like the luckiest person in the world.“
“Kenapa gitu?”
“Karena aku ... aku doang yang bisa mendapatkan kamu seutuhnya. Dan mendapatkan cinta kamu juga, hahaha.”
“Dasar gombal.”
“Dih? Aku lagi serius tau.”
“Iya iya, jangan ngambek dong Jian.”
“Cium dulu.”
“Jian banyak mau!”
Cup!
Ale mendaratkan sebuah kecupan pada bibir Jian. Hal itu membuat Jian langsung tersenyum. “Jian,” panggilnya. “Iya sayang?” tanya Jian. “Nggak cuman kamu doang, kok. I'm also the luckiest person in this world too.“
Kemudian tangan Jian mengangkat dagu Ale dengan perlahan. “What's the reason, sweetheart?” tanya Jian, sedikit menaikkan satu alis. “Dulu pas SMA, kamu juga salah satu inceran perempuan di sekolah 'kan? Dan kamu nggak tertarik sama mereka sedikit pun, malah tertariknya sama aku,” jelas Ale, dengan jantung yang berdebar.
“And your point is?” tanya Jian lagi, sengaja meledeknya. “My point is ... I'm the winner of your heart, Jian,” jawab Ale. Kedua pipinya mulai memerah karena malu. Lalu tangan Jian mengacak-acak rambutnya dengan gemas. “Kamu kenapa gemes banget sih?”
Ale langsung menangkis tangan Jian dan bersikap seperti ia sedang merajuk. “Tuh 'kan,” ucap Jian.
“Kenapa?”
“Kamu beneran gemes banget, kaya bayi.”
“Jian, jangan mulai.”
“Hahaha, alright-alright. Sorry love.“
Dan pada akhirnya, mereka memutuskan untuk tidur bersama karena sudah sangat larut. Kini mereka tak lagi harus berpisah, karena dalam waktu dekat ... mereka akan tinggal di bawah atap yang sama.
— written by kalacaffe.