two of us.

CW // harsh words, cigarettes, smoking.

Setelah bertukar pesan dengan salah satu sahabatnya, Haidan langsung bersiap-siap dan menyalakan mesin motornya. Ia mengendarai kendaraan tersebut hingga ke tempat yang dituju, yaitu tempat tongkrongan mereka.

Sesampainya di tujuan, Haidan memarkirkan motornya dan turun. Ia mencari sebuah bangku untuk di duduki. Melihat ke sana kemari, belum ada sosok Jiandra. “Yeh.. kebiasaan telat dah itu anak,” monolognya sembari membuka bungkus kotak berisi rokok.

Tak lama kemudian, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang tinggi menghampirinya. “Maaf gua telat bro, tadi sempet macet di jalan,” ucapnya. “Gapapa Ji, santai aja. Sini duduk sebelah gue,” ujar Haidan. “Nih, mau?” tawar Haidan, Ia menawarkan sebatang rokok. “Mau dong,” jawab Jian, menerima benda tersebut.

Keduanya merokok di malam hari, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Haidan dan Jiandra juga lumayan dekat. Mereka hampir memiliki sifat yang mirip. Maka karena itu, Ia dan Jiandra bisa disebut se-frekuensi saat berbincang-bincang tentang apapun.

“Jadi.. gimana?”

“Apanya Ji?”

“Lo ada masalah?”

“Bukan masalah sih.. tapi lebih ke apa ya? Bingung?”

“Bingung karena?”

“Gue bingung, sebenarnya gue dianggap apa sama Juna. Lo tau sendiri, gue suka sama dia dari lama. Gue memang orangnya gengsian, sesuai dengan apa kata lo. Tapi gue selalu perhatian kok sama dia, gue ajakin dia pergi bareng, gue traktir juga. I don't know gue di mata dia itu apa, Ji. Apa gue tetap dianggap sebagai sahabat doang?”

Jiandra membuang batang rokoknya dan menepuk bahu Haidan dengan perlahan. “Gini Dan.. coba lo turunin rasa gengsi lo itu, mulai tunjukkin kalau lo suka sama dia. Mungkin bisa mulai sedikit dinaikin level-nya? Kasih dia afeksi apa kek dan kebetulan lo sendiri love language-nya physical touch. Udah, jangan diambil pusing bro.. jalanin aja,” ucap Jian. Ia menyetujui semua perkataan Jian.

Mungkin memang sudah saatnya Ia berani.

Lelaki itu juga membuang batang rokoknya dan tersenyum kecil. “Iya kali ya? Bakal gue coba dah besok.. atau mungkin lusa,” ucap Haidan. “Hari ini aja!” seru Jian. “Maksud lo?” tanya Haidan. “Maksud gua, lo coba telponan gih sama Juna, sleep call atau gimana kan bisa. Atau kalian bisa coba ngobrol-ngobrol ringan sebelum tidur juga bisa,” usul Jian.

Ketika mendengar ide tersebut dari Jian, Ia langsung tersenyum lebar. “Widih, boleh juga ide lo! Tumben bener otak lo berguna Ji,” celetuk Haidan, tertawa kecil. “Udah dibantu malah ngelunjak, ye bangsat bener,” ucap Jiandra, sedikit kesal. Tiba-tiba, di tengah percakapan mereka, ada sebuah pesan masuk dari ponsel Haidan.

Ia membukanya dan melihat bahwa pesan tersebut merupakan dari Arjuna. Haidan langsung merasa sangat senang, Ia bahkan memukuli lengan Jian. “Seneng boleh, tapi jangan pake acara mukul gua juga anjing!” celetuk Jiandra seraya mengusap-usap lengannya. “Ssst.. diem dulu lo. Gue jawabin si bocil dulu,” ucap Haidan, masih menatap layar ponselnya.

“Dih, dasar bucin.”


Di sisi lain, Arjuna sengaja mengirim pesan teks kepada Haidan karena Ia merasa rindu dengannya. Kebetulan, Haidan langsung membalasnya se-cepat kilat. Ternyata tebakannya benar, Haidan sedang merokok. Arjuna tidak menyukai hal tersebut. Karena, Ia tau.. itu dapat membuat orang jatuh sakit karena merokok.

Kini.. Arjuna dan Haidan sedang melakukan video-call. Awalnya, Arjuna hanya meminta selfie, tapi Haidan mengajaknya untuk melakukan video-call saja. Tentu, Ia akan mengambil kesempatan emas itu.

“Lagi ngapain lo di luar?”

Udah gue bilangin, lagi nongki bentar sama Jian. Lo kangen gue ya?

“Idih, ke-geeran lo!”

Tinggal bilang aja sih, bakal langsung gue samperin rumah lo,

Arjuna sedikit terkejut.

“S-serius lo?”

Iyalah! Gimana? Mau atau nggak nih?

“Mau..”

Apa? Maaf nggak kedengeran anjir, di sini banyak mobil sama motor lewat,

“Gue bilang mau, budeg!”

Ohh, oke. Gue bentar lagi ke sana. Sabar ya cil!

Sambungan tersebut pun dimatikan. Sekarang, Arjuna merasakan rasa gugup di kamarnya yang sudah dingin ini. Ia mengira Haidan hanya ber-omong kosong, ternyata tidak. Arjuna langsung memakai jaket berwarna abu-abunya dan menunggu di ruang tamu.

Sekitar lima-belas menit telah lewat. Sebuah ketukan di pintu rumahnya pun terdengar jelas. Arjuna langsung bergegas ke arah pintu dan membukanya; sembari mempertahankan muka jutek-nya. “Nggak lama kan?” tanya Haidan sembari melepas sendal.

“Lama,” jawab Arjuna. “Maaf ya? Gue bawain lo es krim juga, barangkali buat lo ngemil nanti atau.. besok juga bisa. Takutnya lo bisa pilek nanti kalau makan es krim malem-malem gini,” ucap Haidan, suaranya menjadi lembut. Arjuna tidak pernah mendengar suara Haidan se-lembut itu saat berbicara dengannya.

Mereka berdua memasuki kamar Arjuna yang sudah rapi itu, tapi hal tersebut tidak membuat Haidan terkejut. Karena Ia tahu, bahwa Arjuna merupakan orang yang sangat mengutamakan kebersihan ataupun kerapihan.

So.. what do you wanna do?” tanya Haidan seraya duduk di sebuah kursi. “I don't know.. lo sendiri mau ngapain?” tanyanya balik. Haidan terdiam sementara, membuat suasana sedikit canggung karena sangat sunyi.

“Peluk lo boleh?”

Sebentar.. Arjuna tidak salah dengar kan? “Lo.. bilang apa tadi?” tanya Arjuna untuk memastikan pedengarannya. “Nggak jadi,” ucap Haidan dengan cepat.

“Boleh.”

Arjuna mendekatkan dirinya pada Haidan. “Lo mau peluk gue kan?” tanyanya. Haidan mengangguk pelan dan langsung menarik Arjuna dengan perlahan ke dalam pelukannya. “Juna..” panggilnya. “Apa?” balas Arjuna. “Lo pas banget di lengan gue, kalau sering-sering peluk begini.. gapapa? Kalau lo nggak mau—”

“Iya, mau Dan.”

written by kalacaffe.