we keep this love in a photograph.

CW // harsh words, kissing.

Perjalanan mereka tidak begitu jauh, hanya butuh sekitar 30 menit untuk sampai di tujuan. Jian memarkirkan motornya dan turun. Ia langsung menggenggam tangan Ale secara perlahan, membuatnya tersenyum kecil. Kebetulan pada hari ini, tamannya sepi; serasa dunia hanya milik berdua.

Mereka berjalan, memasuki area taman dan mencari spot-spot foto yang bagus. Untungnya, Jian membawa kamera polaroid dan Ale membawa kamera berjenis analog. Supaya hasilnya lebih mudah untuk dipajang ataupun disimpan. Siapa juga yang tidak ingin menyimpan memori-memori terindah mereka?

“Ale! Coba kamu ke situ, aku mau foto kamu sama langitnya,” seru Jian. Benar, langit hari ini sangat indah dan cerah. Apalagi jika memfotonya bersama seorang pujaan hati.

Lelaki yang lebih pendek itu menuruti permintaan Jian dan berpose santai. Seperti gaya-gaya candid gitu. Pasti hasilnya bagus kan?

Cekrek!

Suara kamera polaroid tersebut terdengar jelas, mengambil foto Ale dengan indahnya langit di atas-nya. Jian menarik polaroid tersebut dan memperlihatkannya dengan Ale. “Foto apa-apaan itu? Kenapa aku-nya jadi nyatu sama langit, bego!” celetuk Ale. “Maaf maaf, aku nggak tau, jangan pukul akuuuu!” ucap Jian dengan tawaannya. Ia diserang oleh pukulan-pukulan kekasihnya yang ringan.

“Udah yok, cari area lain.” Jian mengajak Ale berjalan lagi, mencari area yang bagus untuk foto-foto. Tiba-tiba Ale menarik tangan Jian, “Coba tuh di bawah pohon, kamu berdiri di sana coba. Gantian aku yang fotoin,”

Tanpa lama lagi, Jian langsung menuruti permintaan Ale. Ia berdiri di bawah pohon beringin itu, lalu berpose. “Jangan alay ih!” goda Ale. “Enggak kok, ini namannya keren dan tampan!” sahut Jian. “Bodo amat. Oke, satu.. dua.. tiga!”

Cekrek!

Suara jepretan dari kamera analog milik Ale terdengar jelas juga. Ia mengambil sekitar satu sampai tiga foto, lalu memperlihatkannya kepada Jian. “Gimana? Bagus kan?” tanya Ale, ingin pengakuan dari kekasihnya. “Aku ganteng ya di situ,” ujar Jian, sengaja tidak merespon pertanyaan Ale. “Bagus kan?” tanya Ale untuk kedua kalinya. Namun Jian ingin menggodanya sedikit lagi, “Agak serem nggak sih?” Kali ini, Ale menanya untuk ketiga kalinya, “Bagus kan hasilku?”

Akhirnya, Jian luluh dan mengangguk. “Iya sayang, hasil foto pacarku memang paling top, lainnya mah.. beng-beng,” pujinya sembari mengelus-elus rambut kekasihnya. Ale langsung tersenyum puas karena pujian yang Ia dengar dari Jian.

Pasangan manis ini kembali berjalan-jalan lagi. “Jian, aku mau duduk dulu,” ucap Ale, sedikit meringis karena lelah berjalan. “Capek ya? Yaudah, duduk di sana aja yuk,”

Mereka berdua duduk di sebuah bangku taman yang berbahan kayu. Di area itu ada sebuah semak mawar yang cantik dan indah. Seperti Ale. “Le, coba kamu pose pake bunga mawar ini, terus aku foto,” ucap Jian setelah mengambil satu tangkai bunga mawar. “Mana sini bunganya,” pinta Ale. Jian langsung memberikan bunga mawar tersebut kepada Ale, tetapi dengan ala-ala berlutut. Seperti seseorang yang akan melamar.

“Awas celananya kotor,” ucap Ale.

“Nggak kok. Oke, aku foto ya! Satu.. dua.. tiga!”

Cekrek! Cekrek!

Jian mengambil foto Ale dengan mawar itu sebanyak dua kali. Lebih banyak? lebih baik. Begitu Ia melihat hasil polaroidnya, sebuah senyuman langsung tertampak jelas di wajah tampannya. “Gimana hasilnya?” tanya Ale. Jian memberikan kedua polaroid itu kepada Ale. “Widih, yang ini bagus nih!” puji Ale. “Iya dong, pacar siapa gitu,” ucap Jian, sedikit menyombongkan diri. Ale tertawa melihat tingkah bodoh kekasihnya.

“Ale,”

“Apa?”

“Kamu tau nggak?”

“Nggak tau,”

“Kamu sama bunga mawar nggak ada bedanya,”

“Sama-sama berduri?”

“Bukan lah!”

“Terus?”

“Sama-sama indah. Cantik juga,”

Sebenarnya gombalan itu terlalu biasa untuk Jian, tetapi damage-nya luar biasa bagi Ale. Apa dia tidak tahu bahwa menjaga wajah jutek-nya itu sulit? Jantung Ale berdetak sangat kencang, seperti rasanya suatu saat nanti akan meledak. Hanya karena seorang Jiandra Pradipta Bumi.

Ya, pemuda itu tidak main-main dengan kata-katanya.

“Aku ganteng juga!” seru Ale, tidak terima dibilang cantik. Jian mengacak-acak rambutnya pelan, “Iya iya, kamu juga ganteng,” puji Jian dengan senyumannya. Ia menahan rasa ingin mencubit kedua pipi Ale karena gemas.

Lalu, setelah mereka beristirahat sejenak, keduanya melanjutkan perjalanannya menuju sebuah bukit yang tidak begitu tinggi untuk menikmati sunset.

Tepat jam 6 sore, mereka sampai di atas bukit itu dan duduk bersebelahan. Duduk di bawah pohon beringin, melihat sunset dan menikmatinya berdua. Rasanya begitu tenang, bahagia dan romantis secara bersamaan.

“Jian,”

“Hm?”

“Aku sayang kamu,”

“Tiba-tiba?”

“Hehe, iya. Biasanya selalu kamu yang bilang itu duluan, gantian aku,”

“Gemesnyaaaa,” puji Jian lagi. Tiba-tiba keduanya saling bertukar tatapan yang dalam, dan mendekat. Sekarang, jarak mereka sangat dekat! Hanya sekitar empat centimeter jika diukur. Jian mempertemukan kedua bibir mereka, menunggu Ale untuk membalasnya. Lalu, Ia menggigit bibir bawah Ale dengan pelan sebagai ijin untuk melakukan ciuman. Ale mengijinkannya dan Jian langsung mengeksplorasi seluruhnya dengan lembut.

Ciuman tersebut tidak berlangsung begitu lama, dikarenakan nafas keduanya akan segera habis.

Saat selesai, Jian mengusap pipi Ale dengan lembut dan tersenyum.

“I'm so lucky to have you, Ale.”

“And I'm so lucky to love you, Jian.”

written by kalacaffe.