what's up with jendra?

CW // harsh words, slight kissing. TW // mention of cancer.

Hari sudah siang dan bel sekolah berbunyi—menandakan bahwa sekolah telah selesai. Sesuai janji yang dikatakan Jendra, mereka ber-empat akhirnya bertemu di suatu tempat.

Sekarang di ruangan ini baru ada Arjuna, Jiandra dan Haidan. Mereka sedang menunggu Jendra untuk datang dan berbincang.

“Jendra kemana dah?” tanya Haidan. “Tuh.” balas Jian, menunjuk pintu ruangan musik terbuka. Jendra masuk dan menutup pintu, “Sorry rada telat,” ucapnya.

Suasana menjadi begitu tegang dan sunyi. Tidak ada seorang pun yang membuka suara, masing-masing sibuk dengan pikiran mereka.

“Gua ngga tau harus mulai darimana, tapi gua coba jelasin sebisa mungkin,” Jendra menghela nafas. “Jadi, bunda gua punya penyakit kanker paru-paru stadium 3. Gua lagi ngga punya uang buat membayar rumah sakit bunda, dan kalian tau sendiri kalau gua cuman punya bunda di rumah. Gua minta maaf banget udah ngelakuin itu semua, gua ngaku gua salah.

Gua juga ngasih file yang isinya lagu kita ke band sekolah lain, demi dapet imbalan atau uang buat ngebayar biaya rumah sakit. Gapapa kalau kalian ngga mau maafin gua, dan kalau kalian mau.. gua ngundurin diri dari Revaleaz.” lanjut Jendra panjang lebar.

Teman-teman lainnya yang mendengar hal itu langsung merasa campur aduk—tidak tahu harus bagaimana. “Kita mau minta maaf juga, Jen. Dan lo ngga perlu keluar dari Revaleaz, yang penting lo tau kesalahan lo. Pokoknya jangan kesalahan ini lagi, oke?” balas Jiandra sembari menepuk bahu Jendra.

Jendra hanya mengangguk dan tersenyum tipis, merasa begitu bersalah kepada ketiga temannya karena keadaan sulitnya.

Dalam keadaan seperti ini, mereka harus bisa kuat menghadapinya. Mau bagaimanapun mereka tetap bersahabat, apalagi ketika mereka mengalami situasi atau masalah seperti ini.

“Jadi.. nanti kita mau perform pake lagu apa?” tanya Haidan. “Gua minta usul dari Ale, mau ngga?” tanya Jian, memperlihatkan senyumnya.

Arjuna memukul kepala Jian pelan, “Ciaelah bucin aje teros sampe mampus!”

Mereka tertawa, akhirnya suasana kembali normal. Semua anggota Revaleaz mengambil alat-alat musik mereka—kecuali Jendra. “Jen, lo kenapa diem aja?” tanya Jian.

“Hari ini ngga usah ada latihan, kalian istirahat dulu. Gua undur ke besok aja latihannya, see you guys!” jawab Jendra, lalu Ia langsung keluar dari ruangan itu.

Mereka bertiga sedikit bingung, tapi senang juga karena tidak ada latihan hari ini; jujur aja. “Yaudah, gua pulang juga deh. Mau nemenin Bunda, dadah!” sapa Jian.

Tanpa waktu lama lagi, Ia keluar dari ruangan itu dan tiba-tiba menemukan Ale di koridor sekolah. “Eh, Ale! Lo kenapa disini?”

“Nungguin,”

“Nungguin siapa?”

“Arjuna.”

“Dih, kok gitu?”

Kale tertawa kecil melihat tingkah Jian yang sedang merasa sedikit kesal. Tenang saja, Kale juga bisa bercanda—jangan pernah berpikir kalau seorang anak yang pintar tidak bisa bercanda—mereka bisa asik juga.

“Bercanda, gue nungguin lo.”

Jiandra tersenyum lebar setelah mengetahui hal itu. Ia merangkul bahu Ale, “Mau ke rumah gua lagi?” tanya Jian. Yes! Ale mengangguk dan mereka pulang bareng ke rumah Jian.

Akhirnya, Jian merasa hari ini tidak begitu sial berkat Ale. Sudah beberapa kali Ale main ke rumahnya, dan itu membuatnya begitu senang. Eits, apakah Ale juga senang?

Tentu, jawabannya iya.

Sesudah mereka sampai di rumah Jian, lagi-lagi tidak ada seorang pun di dalam. Ia mengira Bundanya ada di dalam rumah, ternyata prasangka dia salah. Entah pada kemana, mungkin sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Memasuki kamar berukuran medium milik Jiandra, Ia langsung melompat ke kasur. Di sisi lain, Ale duduk di sebuah kursi; yang pasti itu milik Jian.

“Ale,”

Lelaki yang dipanggil dengan nama 'Ale' itu menoleh. “Ya?”

Jian tiba-tiba mendekat. “Berdiri coba,” perintahnya. Ale yang awalnya sedikit bingung—mengapa Jian tiba-tiba menyuruhnya— namun, Ia tetap berdiri. Jiandra mendekatkan wajahnya ke Ale, hingga jarak mereka begitu dekat.

Mereka bisa merasakan hembusan nafas masing-masing, saling bertatapan; melihat betapa indahnya ciptaan Tuhan.

“Lo mau ngapain—” kalimat Ale terpotong begitu bibir Jian tiba-tiba mendarat di bibir lembut Ale. Sebuah ciuman singkat, namun manis. “Gua kangen banget sama lo.”

— KALACAFFE