kalacaffe

casts: haechan as haidan & renjun as arjuna/juna. pair: hyuckren. part of 'love formula' universe.

CW // harsh words, kissing.

Di sinilah, tepat pada sore sebelum tahun baru; di kost milik Arjuna. Sang lelaki lebih kecil menelepon kekasihnya. “Halo? Kenapa cil?” tanya Haidan, dari speaker ponsel Arjuna.

“Cepet ke sini,”

Cie, kangen ya?

“Nggak, jangan halu.”

Mulai sok keras,

Seperti biasa, percakapan mereka selalu dimulai dengan pertengkaran kecil. Tak pernah sekalipun mereka tidak ribut. “Bercanda. Iya, aku kangen. Sekalian kita ngerayain tahun baru,” ujar Arjuna. “Iya-iya, sayang. Aku ke sana sepuluh menit lagi, oke?

“Oke hati-hati, jangan ngebut.”

Siap cil! Aku tutup yaaa, dadah!

“Dah!”

Tut!

Sambungan telepon tersebut pun dimatikan. Arjuna yang memiliki insting untuk melakukan sesuatu, Ia langsung beranjak berdiri dari sofa-nya.

Tangan dan kakinya mulai bergerak secara cepat—mempersiapkan semua bahan-bahan yang akan mereka gunakan untuk makan-makan nanti.

“Kalau segini... cukup nggak ya?”

Ucapnya, dengan kedua tangan melekat di samping pinggang; seraya menatap meja yang penuh dengan roti, daging, buah serta minuman soda.

Arjuna memang memiliki banyak kelebihan, tetapi salah satu kekurangannya adalah berpikir berlebihan. Ia takut, kalau makanannya tidak cukup bagaimana? Kalau Haidan tidak puas? Kalau mereka gagal merayakan tahun baru? Gimana?

Semua itu muncul satu-persatu di benak Arjuna. Ia benar-benar perlu kekasihnya saat ini juga. Untuk menenangkannya.


Di sisi lain, Haidan sedang berada di perjalanan. Tentu, berkendara dengan menggunakan motornya. Di tengah-tengah perjalanan, Ia tiba-tiba mempunyai sebuah ide.

Haidan pun berhenti di salah satu toko. “Kalau gue beliin bunga, dia bakal seneng 'kan?” batinnya. Ya, dirinya sedang mampir ke toko bunga.

Ia memasuki toko tersebut, lalu bertanya kepada sang pemilik toko. “Permisi Mbak, ada bunga tulip nggak ya?” tanyanya. “Ada Kak. Mau berapa tangkai?”

“Sepuluh aja, jadiin kaya bouquet gitu, Mbak.”

“Siap Kak! Akan saya segera ambilkan.”

Saat menunggu, Haidan membuka ponselnya dan melihat sebuah notifikasi yang berada di halaman depannya. Ternyata, itu adalah pesan dari kekasihnya.

Ia terkekeh kecil membaca pesan tersebut. “Kenapa lo lama banget sih, anjir? Cepetan, gue gamau nunggu kelamaan,” batin Haidan, membaca pesan itu.

“Gemes banget,” ucapnya pelan.

Tak lama kemudian, si pemilik toko bunga pun kembali—membawa bouquet berisi bunga-bunga tulip—sesuai dengan permintaan Haidan. “Ini ya, Kak! Totalnya lima ratu ribu. Mau dibayar pakai e-wallet atau cash?” ujar perempuan itu.

E-wallet aja, Mbak. Saya scan di sini ya?”

“Iya, Kak. Silakan di scan.

Akhirnya, Haidan berhasil membeli sebuah hadiah untuk manusia kesayangannya. Walaupun sedikit mahal, cintanya tetap berada di barisan paling depan.

Dasar bucin, hadeh.

Setelah itu, Haidan keluar dari toko bunga tersebut dan melanjutkan perjalanannya ke kost-an Arjuna. Senyumannya tertampak jelas seiring perjalanan. Bisa-bisa Ia disangka seperti orang yang aneh oleh orang-orang asing.

Hanya Arjuna seorang yang dapat membuat Haidan tersenyum lebar—dan jantungnya yang berdetak dengan amat kencang.

Beberapa menit kemudian, sampailah Haidan di depan kost Arjuna. Ia memarkirkan motornya terlebih dahulu sebelum mengetuk pintu.

Tok! Tok! Tok!

Ketukan pintu yang dihasilkan oleh tangan Haidan terdengar jelas. Lalu, pintu itu pun terbuka. Memperlihatkan sang lelaki yang lebih pendek darinya; yang sangat menggemaskan baginya.

Dengan tangan Haidan yang berada di belakang—karena menyembunyikan hadiah bouquet—membuat Arjuna curiga dengan Haidan. “Hai... kamu ngumpetin apa tuh?” tanya Arjuna.

Belum juga Haidan menyapanya, sudah dicurigai saja. “Tutup mata dulu,” perintah Haidan.

“Ngapain?”

“Udah, tutup mata aja dulu.”

“Nggak ngasih yang aneh-aneh 'kan?”

“Nggakkk! Udah cepet, tutup mata!”

“Ya.”

Satu... dua... tiga. Haidan memperlihatkan hadiah kecilnya di hadapan Arjuna. “Sekarang udah boleh buka mata.”

Begitu Arjuna melihat hadiah dari kekasihnya, raut wajahnya berubah menjadi sangat senang. Ia memberikan senyuman yang manis. Haidan memberi bunga bouquet itu kepadanya.

“Gimana...? Suka nggak? Maaf kalau nggak banyak, aku—”

Cup!

Sebuah kecupan ringan mendarat di pipi Haidan. “Aku suka. Thank you,” ucap Arjuna dengan senyuman yang belum memudar. “S-serius?” tanya Haidan. “Iyalah, goblok! Masa hadiah dari pacar sendiri nggak suka?”

Lalu, Haidan langsung memeluk pinggang mungil milik lelaki itu. “Hehehe, iya sayang. Makasih udah mau nerima hadiah dari aku,” ucap Haidan dengan suara lembutnya. Tak pernah gagal membuat hati Arjuna meleleh.

“Ya, sama-sama. Masuk dulu, aku baru masak banyak tadi.”

“Widih, pacarku ternyata bisa masak!”

“Orang dari dulu anjir, gue sleding lo lama-lama.”

“Iyaaa, ampun Jun.”

Kedua lelaki itu pun memasuki ruang tamu dari kost milik Arjuna. Sudah tercium jelas; wangi masakan Arjuna di hidung Haidan. Baunya enak sekali.

“Makan dulu yuk? Aku laper cil,” ajak Haidan. Dibalas dengan anggukan oleh Arjuna, Haidan langsung duduk di kursi dekat meja makan—dan langsung melahap daging di hadapannya itu.

Arjuna yang melihatnya memakan sangat lahap, tanpa sadar kedua sudut bibirnya terangkat. “Makan yang banyak, babe.

Haidan langsung tersenyum kepadanya, walaupun mulutnya masih dipenuhi dengan makanan. “Sini ikut makan bareng aku,” ucap Haidan. “Iya, ini aku mau makan juga kok.”


Selesai kegiatan makan-makan, kedua perut mereka pun sudah terisi sempurna oleh banyaknya makanan yang mereka lahap tadi. Rasanya kenyang.

“Cil,”

“Hm?”

“Liat kembang api di depan teras, mau?”

“Ayooo!”

Kedua insan itu akhirnya keluar dari ruangan, dan duduk di area depan teras kost. Malam ini terasa sejuk, membuat Haidan langsung memandang kekasihnya—yang hanya memakai atasan kaos dan celana pendek se-lutut.

Jeder! Jeder! Jeder!

Kembang api yang sepertinya milik tetangga, terdengar sangat keras dan terlihat indah. Menghiasi langit malam yang gelap itu.

“Pakai jaket aku, lagi dingin soalnya,” ucap Haidan sembari memakaikan jaketnya di tubuh Arjuna. “Modus,” balas Arjuna. “Biarin, toh sama kamu doang.”

Lagi-lagi, ucapannya berhasil membuat Arjuna tersenyum malu. Pipinya juga memerah sedikit. “Cie, salting ya?” goda Haidan. “Idih, geer!” gerutu Arjuna. Padahal tebakan Haidan benar.

Cup!

Haidan mengecup bibir Arjuna. “Jangan marah-marah, nanti gemesnya ilang loh,” goda Haidan. “Nggak ada yang peduli,” ucap Arjuna.

“Aku. Aku peduli. Kamu marah, seneng, sedih, atau ngerasain apapun itu, aku selalu peduli.”

“Masa?”

“Jelas!”

Then kiss me, tapi lebih lama.”

“Cih, nggak nyambung.”

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas, Haidan langsung mempertemukan kedua bibir mereka. Ya... walaupun ucapannya tadi sedikit bertolak belakang dengan kelakuannya.

Biasalah, karena gengsi.

Lalu, Haidan memiringkan kepala sedikit agar mempermudah ciumannya. Kedua lengan Arjuna pun dilingkarkan ke leher Haidan.

Mereka tidak peduli jika ada yang melihat mereka seperti ini.

Hanya langit malam, bintang dan kembang api yang menjadi saksi bisu kedua insan itu. Indah sekali. Hingga saatnya Arjuna kehabisan nafas, yang membuat Haidan langsung melepaskan tautan mereka.

“Maaf kelamaan...”

“Gapapa, aku suka kok.”

“Bener nih?”

“Iya, Haidan.”

“Aww, gemesnya pacarku.”

Dan pada akhirnya, Haidan dan Arjuna menikmati malam itu sembari berpelukan di teras—serta memandangi kembang-kembang api yang menandakan tahun baru telah di mulai.

“Cil,”

“Ya, kenapa?”

Promise me, that we will stay together until the end.

I Promise.

written by kalacaffe.

casts: jisung aka jiandra/jian & chenle aka kalileo/ale. pair: jichen. part of 'love formula' universe.

CW // kissing, food.

31 Desember 2021. Satu hari sebelum tahun baru, satu hari sebelum membuka bab baru. Semua orang—termasuk Jian dan Ale, merasa sangat antusias untuk merayakan tahun baru nanti.

“Ale,”

“Ya?”

“Kita mau ngerayain tahun baru di rumah aku atau di rumah kamu aja?”

“Rumah aku aja. Palingan Papa mau ketemu kamu lagi,”

“Oke deh. Aku siap-siap dulu ya? Sekalian pamit ke Bunda,”

“Iya, sana. Aku tungguin di sini.”

Jiandra langsung bergegas untuk mandi dan menggunakan pakaian yang rapi. Ia tentu ingin memberi kesan yang baik bagi kedua orang-tuanya Ale.

Sementara itu, Ale menunggu Jian sembari tiduran di atas kasur Jian. Ia hanya menggunakan pakaian seadanya—toh, mereka akan ke rumahnya sendiri.

Beberapa menit kemudian, Jian sudah memakai pakaian yang rapi dan nyaman—bergaya casual yang membuatnya tambah tampan.

Dirinya berjalan ke arah kekasihnya, memperlihatkan si mungil itu tak sengaja tertidur. Tangannya mengusap-usap surai Ale, mencoba membangunkannya dengan perlahan.

“Sayang... ayo bangun, aku udah siap nih,”

“Hmm... 3 menit lagi...”

Lalu, Jian mengecupi bibirnya berkali-kali. Membuat Ale mendorong kekasihnya itu supaya berhenti mengecupi dirinya.

“Kamu nggak bangun, aku cium terus nih.”

“Iya-iya, aku bangun!”

Melihat Ale yang langsung berdiri membuatnya merasa gemas. Ia bahkan mengusap-usap rambut kekasihnya terlebih dahulu sebelum keluar dari kamarnya—yang diikuti Ale dari belakang.

Lalu, lelaki tinggi itu pamit terhadap Bundanya sebelum pergi dari rumah. “Bun, Jian ke rumah Ale dulu ya!” ucapnya. “Iya sayang, hati-hati di jalan!” balas Bunda Sarah—yaitu nama dari Bundanya Jian.

“Tante, Ale pamit juga!” ucap Ale sembari tersenyum. “Iya nak, have fun!” balas Bunda Sarah.

Begitu selesai berpamitan, keduanya langsung pergi ke rumah Ale menggunakan mobil Kak Juan—yaitu kakaknya Jian. Karena Jian belum punya mobil, Ia akhirnya harus pinjam milik kakaknya. Maaf masih nunggu hujan duit, kalau kata Jian.

Di perjalanan, Jian mengajak kekasihnya untuk berbicara. “Babe,” panggilnya. “Apa?” tanya Ale, seraya menoleh ke-arahnya. “Harapan kamu buat tahun baru nanti itu... apa?” tanya Jian karena penasaran.

Ale terdiam sejenak. Ia butuh waktu untuk berpikir. Tahun ini sudah seperti roller-coaster, banyak naik dan turunnya. Dari berjuang untuk olimpiade matematika, hingga dirinya bisa berpacaran dengan Jian.

Terutama di saat-saat Ia mengalami break-down saat terlalu banyak belajar untuk olimpiade. Tetapi untungnya, Jian selalu berada di sisinya. Kapanpun itu—baik maupun buruk. Lelaki itu sangat setia kepadanya.

“Harapan aku cuman dua,”

“Yang pertama?”

“Keluarga aku bisa tetap bahagia dan sehat,”

That's nice! Kalau yang satunya?”

“Erm... bisa hidup bahagia sama kamu.”

Hati Jian seketika merasa hangat. Ia tertegun mendengar harapan Ale, karena dirinya tidak berpikir kalau Ale bakal mengatakan hal tersebut.

“Sayang...”

“Hm?”

“Makasih.”

“Buat?”

“Makasih udah mau sama aku. Aku bersyukur banget bisa punya pasangan hidup kaya kamu, hahaha.”

“Mulai lagi gombalnya, hadeh.”

“Hehehe, serius kok. Aku sayang kamu.”

“Aku sayang kamu juga.”

Pas sekali, mereka sudah sampai di tujuan. Jian memarkirkan mobilnya terlebih dahulu sebelum memasuki rumah bak istana itu. Tak pernah sekalipun Ia tidak mengagumi keluarga kekasihnya.

Setelah selesai berparkir, kedua insan itu keluar dari mobil. “Yuk?” ajak Jian, seraya mengulurkan tangannya untuk digenggam. “Ayo,” ucap Ale, lalu menggenggam tangan besar milik Jian.

Sungguh, pasangan manis itu tak pernah bisa dipisahkan.

Ding! Dong!

Bunyi bel pintu berbunyi. Jian mengambil nafas yang dalam sebelum menyapa orang-tuanya kekasihnya. Siapa juga yang tidak gugup menemui orang-tua sang kekasih?

Tak lama kemudian, seseorang membuka pintu besar itu. “Halo! Eh, akhirnya kalian dateng juga. Ayo, sini masuk!” ajak si Mama. “Tuh kan, orang-tua aku suka kamu,” bisik Ale, yang membuat Jian tersenyum lega.

Lalu, mereka pun menginjak lantai rumah itu. Sang tuan rumah juga muncul dan menyapa anaknya serta kekasih anaknya. “Halo, Om!” sapa Jian. “Halo juga, Jian. Bagaimana kabarnya? Baik-baik saja sama Kale?”

Jian mengangguk, “Baik dong, Om. Apalagi kalau sama Ale, beuh! Tambah baik lagi kabarnya, hahaha,” ucapnya. Melihat sang Papa tertawa, Ale pun tersenyum.

“Kalian kalau mau bakar-bakar daging bisa ke belakang nanti. Mama juga bakal bantuin kalian kalau butuh. Oke?”

“Oke, thank you Ma.”

“Makasih Tante!”

You're welcome.

Begitu sang Mama Ale mengatakan hal tersebut, Jian langsung merasa tidak sabar. Ia pun menatap Ale dengan tatapan memohon. “Iya, boleh. Ayo ke sana,” ucap Ale, lalu tangannya ditarik pelan oleh Jian hingga ke area halaman belakang.

Mata Jian terpaku pada daging-daging ayam yang sudah dipotong berbentuk kubus. Ia tinggal memberinya bumbu dan membakarnya.

“Kamu se-seneng itu kah?” tanya Ale. “Iya, dong. Masa aku nggak seneng ngerayain tahun baru sama keluarga pacar aku sendiri?” ucap Jian seraya tersenyum menggoda. “Aku kira kamu seneng karena bakal makan banyak daging,” goda Ale.

“Ya... itu juga sih, jujur aja hehe,” ucap Jian, lalu diikuti oleh tawaan ringan. Ale juga ikut tertawa mendengar hal itu.


Kedua tangan Jian sudah mulai bekerja membakar daging-daging ayam. Tenang saja, sudah dibumbui oleh Ale sebelumnya, kok.

“Aku bakar semuanya aja ya?”

“Iya, gapapa. Lagian Papa aku makan yang paling banyak nanti.”

“Hahaha, oke-oke.”

Beberapa menit telah berlalu. Semua daging ayam itu pun sudah terlihat sangat lezat dan gurih—siap untuk disantap dengan nasi.

“Papa! Mama! Makanannya udah jadi!” seru Ale dengan suaranya yang kencang. Cukup terdengar hingga seluruh komplek rumah.

Kedua orang-tua Ale datang dengan cepat; tak ingin membuat anak mereka menunggu dengan lama. Terutama, ada kekasih sang Anak juga.

Jian mempersilakan kedua orang-tuanya Ale untuk duduk duluan, lalu Ia dapat duduk setelahnya. “Keliatannya enak ya! Yuk, makan-makan!” puji si Mama.

Semua orang di meja makan itu langsung makan, begitu sang Mama Ale menyuruh untuk makan. Ternyata, daging bakaran mereka berhasil.

“Enak juga. Siapa yang bakar ini?”

“Jian, Pa. Kale bagian bumbu,”

“Wah, keren anak Papa. Jian juga did great!

“Hahaha, makasih banyak Om.”

Mereka semua bahagia pada malam berujung tahun baru ini. Berbincang-bincang ringan, bercanda, dan bahkan tertawa karena candaan-candaan receh milik Jian.

Rasanya hangat sekali.


Seusai acara makan-makan, tibalah saat jam menunjukkan pukul 23:50. Sebentar lagi. Tahun baru akan datang. Bab baru akan terbuka.

Mama dan Papa Ale sudah kembali memasuki rumah. Meninggalkan anaknya dengan kekasihnya di halaman belakang, membersihkan meja dan sisa-sisa makanan.

“Jian,”

“Iya, cil?”

I've never felt this happier before.

Kaki Jian berjalan mendekati keberadaan Ale. Kedua netranya menatap wajah indah sang kekasih. Tangan kanannya mengusap-usap pipi kanan Ale dengan lembut, lalu tersenyum kecil.

“Kalau kamu bahagia, aku juga ikut bahagia.”

“Kalau aku sedih?”

“Aku bakal coba bikin kamu bahagia lagi.”

Ucapan tulusnya membuat jantung Ale berdebar kencang. Selalu seperti itu. Sudah berbulan-bulan sejak kedua insan itu menjalin hubungan ini. Tetapi, Ale selalu tetap merasakan sensasi kupu-kupu di perutnya dan jantungnya yang berdebar kencang karena Jian.

Lalu, Ale menjijit sedikit—supaya dapat menyamai tingginya dengan Jian. “Ngapain?” tanya Jian. “Happy new year's gift,” jawabnya, sebelum mempertemukan kedua benda lunak milik masing-masing itu.

Ternyata, ciuman Ale sudah lebih baik. Di sela-sela ciuman, Jian tersenyum sembari memeluk pinggang mungil milik Ale. Menariknya lebih dekat, agar dapat lebih mudah untuk berciuman sesaat.

Sebuah ciuman yang manis dan lembut. Tak lebih, tak kurang.

I love you, Ale.

I love you too, Jian.

Suara petasan terdengar sangat jelas; menghiasi langit gelap itu, yang menjadi saksi bisu tingkah manis mereka. Jian menggenggam tangan Ale, “Let's make more memories, cutie.

written by kalacaffe.

casts: jisung aka jiandra/jian & chenle aka kalileo/ale. pair: jichen. part of 'love formula' universe.

CW // kissing, food.

31 Desember 2021. Satu hari sebelum tahun baru, satu hari sebelum membuka bab baru. Semua orang—termasuk Jian dan Ale, merasa sangat antusias untuk merayakan tahun baru nanti.

“Ale,”

“Ya?”

“Kita mau ngerayain tahun baru di rumah aku atau di rumah kamu aja?”

“Rumah aku aja. Palingan Papa mau ketemu kamu lagi,”

“Oke deh. Aku siap-siap dulu ya? Sekalian pamit ke Bunda,”

“Iya, sana. Aku tungguin di sini.”

Jiandra langsung bergegas untuk mandi dan menggunakan pakaian yang rapi. Ia tentu ingin memberi kesan yang baik bagi kedua orang-tuanya Ale.

Sementara itu, Ale menunggu Jian sembari tiduran di atas kasur Jian. Ia hanya menggunakan pakaian seadanya—toh, mereka akan ke rumahnya sendiri.

Beberapa menit kemudian, Jian sudah memakai pakaian yang rapi dan nyaman—bergaya casual yang membuatnya tambah tampan.

Dirinya berjalan ke arah kekasihnya, memperlihatkan si mungil itu tak sengaja tertidur. Tangannya mengusap-usap surai Ale, mencoba membangunkannya dengan perlahan.

“Sayang... ayo bangun, aku udah siap nih,”

“Hmm... 3 menit lagi...”

Lalu, Jian mengecupi bibirnya berkali-kali. Membuat Ale mendorong kekasihnya itu supaya berhenti mengecupi dirinya.

“Kamu nggak bangun, aku cium terus nih.”

“Iya-iya, aku bangun!”

Melihat Ale yang langsung berdiri membuatnya merasa gemas. Ia bahkan mengusap-usap rambut kekasihnya terlebih dahulu sebelum keluar dari kamarnya—yang diikuti Ale dari belakang.

Lalu, lelaki tinggi itu pamit terhadap Bundanya sebelum pergi dari rumah. “Bun, Jian ke rumah Ale dulu ya!” ucapnya. “Iya sayang, hati-hati di jalan!” balas Bunda Sarah—yaitu nama dari Bundanya Jian.

“Tante, Ale pamit juga!” ucap Ale sembari tersenyum. “Iya nak, have fun!” balas Bunda Sarah.

Begitu selesai berpamitan, keduanya langsung pergi ke rumah Ale menggunakan mobil Kak Juan—yaitu kakaknya Jian. Karena Jian belum punya mobil, Ia akhirnya harus pinjam milik kakaknya. Maaf masih nunggu hujan duit, kalau kata Jian.

Di perjalanan, Jian mengajak kekasihnya untuk berbicara. “Babe,” panggilnya. “Apa?” tanya Ale, seraya menoleh ke-arahnya. “Harapan kamu buat tahun baru nanti itu... apa?” tanya Jian karena penasaran.

Ale terdiam sejenak. Ia butuh waktu untuk berpikir. Tahun ini sudah seperti roller-coaster, banyak naik dan turunnya. Dari berjuang untuk olimpiade matematika, hingga dirinya bisa berpacaran dengan Jian.

Terutama di saat-saat Ia mengalami break-down saat terlalu banyak belajar untuk olimpiade. Tetapi untungnya, Jian selalu berada di sisinya. Kapanpun itu—baik maupun buruk. Lelaki itu sangat setia kepadanya.

“Harapan aku cuman dua,”

“Yang pertama?”

“Keluarga aku bisa tetap bahagia dan sehat,”

That's nice! Kalau yang satunya?”

“Erm... bisa hidup bahagia sama kamu.”

Hati Jian seketika merasa hangat. Ia tertegun mendengar harapan Ale, karena dirinya tidak berpikir kalau Ale bakal mengatakan hal tersebut. “Sayang...”

“Hm?”

“Makasih.”

“Buat?”

“Makasih udah mau sama aku. Aku bersyukur banget bisa punya pasangan hidup kaya kamu, hahaha.”

“Mulai lagi gombalnya, hadeh.”

“Hehehe, serius kok. Aku sayang kamu.”

“Aku sayang kamu juga.”

Pas sekali, mereka sudah sampai di tujuan. Jian memarkirkan mobilnya terlebih dahulu sebelum memasuki rumah bak istana itu. Tak pernah sekalipun Ia tidak mengagumi keluarga kekasihnya.

Setelah selesai berparkir, kedua insan itu keluar dari mobil. “Yuk?” ajak Jian, seraya mengulurkan tangannya untuk digenggam. “Ayo,” ucap Ale, lalu menggenggam tangan besar milik Jian.

Sungguh, pasangan manis itu tak pernah bisa dipisahkan.

Ding! Dong!

Bunyi bel pintu berbunyi. Jian mengambil nafas yang dalam sebelum menyapa orang-tuanya kekasihnya. Siapa juga yang tidak gugup menemui orang-tua sang kekasih?

Tak lama kemudian, seseorang membuka pintu besar itu. “Halo! Eh, akhirnya kalian dateng juga. Ayo, sini masuk!” ajak si Mama. “Tuh kan, orang-tua aku suka kamu,” bisik Ale, yang membuat Jian tersenyum lega.

Lalu, mereka pun menginjak lantai rumah itu. Sang tuan rumah juga muncul dan menyapa anaknya serta kekasih anaknya. “Halo, Om!” sapa Jian. “Halo juga, Jian. Bagaimana kabarnya? Baik-baik saja sama Kale?”

Jian mengangguk, “Baik dong, Om. Apalagi kalau sama Ale, beuh! Tambah baik lagi kabarnya, hahaha,” ucapnya. Melihat sang Papa tertawa, Ale pun tersenyum.

“Kalian kalau mau bakar-bakar daging bisa ke belakang nanti. Mama juga bakal bantuin kalian kalau butuh. Oke?”

“Oke, thank you Ma.”

“Makasih Tante!”

You're welcome.

Begitu sang Mama Ale mengatakan hal tersebut, Jian langsung merasa tidak sabar. Ia pun menatap Ale dengan tatapan memohon. “Iya, boleh. Ayo ke sana,” ucap Ale, lalu tangannya ditarik pelan oleh Jian hingga ke area halaman belakang.

Mata Jian terpaku pada daging-daging ayam yang sudah dipotong berbentuk kubus. Ia tinggal memberinya bumbu dan membakarnya.

“Kamu se-seneng itu kah?” tanya Ale. “Iya, dong. Masa aku nggak seneng ngerayain tahun baru sama keluarga pacar aku sendiri?” ucap Jian seraya tersenyum menggoda. “Aku kira kamu seneng karena bakal makan banyak daging,” goda Ale.

“Ya... itu juga sih, jujur aja,” ucap Jian, lalu diikuti oleh tawaan ringan. Ale juga ikut tertawa mendengar hal itu.


Kedua tangan Jian sudah mulai bekerja membakar daging-daging ayam. Tenang saja, sudah dibumbui oleh Ale sebelumnya, kok.

“Aku bakar semuanya aja ya?”

“Iya, gapapa. Lagian Papa aku makan yang paling banyak nanti.”

“Hahaha, oke-oke.”

Beberapa menit telah berlalu. Semua daging ayam itu pun sudah terlihat sangat lezat dan gurih—siap untuk disantap dengan nasi.

“Papa! Mama! Makanannya udah jadi!” seru Ale dengan suaranya yang kencang. Cukup terdengar hingga seluruh komplek rumah.

Kedua orang-tua Ale datang dengan cepat; tak ingin membuat anak mereka menunggu dengan lama. Terutama, ada kekasih sang Anak juga.

Jian mempersilakan kedua orang-tuanya Ale untuk duduk duluan, lalu Ia dapat duduk setelahnya. “Keliatannya enak ya! Yuk, makan-makan!” puji si Mama.

Semua orang di meja makan itu langsung makan, begitu sang Mama Ale menyuruh untuk makan. Ternyata, daging bakaran mereka berhasil.

“Enak juga. Siapa yang bakar ini?”

“Jian, Pa. Kale bagian bumbu,”

“Wah, keren anak Papa. Jian juga did great!

“Hahaha, makasih banyak Om.”

Mereka semua bahagia pada malam berujung tahun baru ini. Berbincang-bincang ringan, bercanda, dan bahkan tertawa karena candaan-candaan receh milik Jian.

Rasanya hangat sekali.


Seusai acara makan-makan, tibalah saat jam menunjukkan pukul 23:50. Sebentar lagi. Tahun baru akan datang. Bab baru akan terbuka.

Mama dan Papa Ale sudah kembali memasuki rumah. Meninggalkan anaknya dengan kekasihnya di halaman belakang, membersihkan meja dan sisa-sisa makanan.

“Jian,”

“Iya, cil?”

I've never felt this happier before.

Kaki Jian berjalan mendekati keberadaan Ale. Kedua netranya menatap wajah indah sang kekasih. Tangan kanannya mengusap-usap pipi kanan Ale dengan lembut, lalu tersenyum kecil.

“Kalau kamu bahagia, aku juga ikut bahagia.”

“Kalau aku sedih?”

“Aku bakal coba bikin kamu bahagia lagi.”

Ucapan tulusnya membuat jantung Ale berdebar kencang. Selalu seperti itu. Sudah berbulan-bulan sejak kedua insan itu menjalin hubungan ini. Tetapi, Ale selalu tetap merasakan sensasi kupu-kupu di perutnya dan jantungnya yang berdebar kencang karena Jian.

Lalu, Ale menjijit sedikit—supaya dapat menyamai tingginya dengan Jian. “Ngapain?” tanya Jian. “Happy new year's gift,” jawabnya, sebelum mempersatukan kedua benda lunak masing-masing itu.

Ternyata, ciuman Ale sudah lebih baik. Di sela-sela ciuman, Jian tersenyum sembari memeluk pinggang mungil milik Ale. Menariknya lebih dekat, agar dapat lebih mudah untuk berciuman sesaat.

Sebuah ciuman yang manis dan lembut. Tak lebih, tak kurang.

I love you, Ale.

I love you too, Jian.

Suara petasan terdengar sangat jelas; menghiasi langit gelap itu, yang menjadi saksi bisu tingkah manis mereka. Jian menggenggam tangan Ale, “Let's make more memories, cutie.

written by kalacaffe.

casts: jisung aka jiandra/jian & chenle aka kalileo/ale. pair: jichen. part of 'love formula' universe.

CW // slight kissing, harsh words.

31 Desember 2021. Satu hari sebelum tahun baru, satu hari sebelum membuka bab baru. Semua orang—termasuk Jian dan Ale, merasa sangat antusias untuk merayakan tahun baru nanti.

“Ale,”

“Ya?”

“Kita mau ngerayain tahun baru di rumah aku atau di rumah kamu aja?”

“Rumah aku aja. Palingan Papa mau ketemu kamu lagi,”

“Oke deh. Aku siap-siap dulu ya? Sekalian pamit ke Bunda,”

“Iya, sana. Aku tungguin di sini.”

Jiandra langsung bergegas untuk mandi dan menggunakan pakaian yang rapi. Ia tentu ingin memberi kesan yang baik bagi kedua orang-tuanya Ale.

Sementara itu, Ale menunggu Jian sembari tiduran di atas kasur Jian. Ia hanya menggunakan pakaian seadanya—toh, mereka akan ke rumahnya sendiri.

Beberapa menit kemudian, Jian sudah memakai pakaian yang rapi dan nyaman—bergaya casual yang membuatnya tambah tampan.

Dirinya berjalan ke arah kekasihnya, memperlihatkan si mungil itu tak sengaja tertidur. Tangannya mengusap-usap surai Ale, mencoba membangunkannya dengan perlahan.

“Sayang... ayo bangun, aku udah siap nih,”

“Hmm... 3 menit lagi...”

Lalu, Jian mengecupi bibirnya berkali-kali. Membuat Ale mendorong kekasihnya itu supaya berhenti mengecupi dirinya.

“Kamu nggak bangun, aku cium terus nih.”

“Iya-iya, aku bangun!”

Melihat Ale yang langsung berdiri membuatnya merasa gemas. Ia bahkan mengusap-usap rambut kekasihnya terlebih dahulu sebelum keluar dari kamarnya—yang diikuti Ale dari belakang.

Lalu, lelaki tinggi itu pamit terhadap Bundanya sebelum pergi dari rumah. “Bun, Jian ke rumah Ale dulu ya!” ucapnya. “Iya sayang, hati-hati di jalan!” balas Bunda Sarah—yaitu nama dari Bundanya Jian.

“Tante, Ale pamit juga!” ucap Ale sembari tersenyum. “Iya nak, have fun!” balas Bunda Sarah.

Begitu selesai berpamitan, keduanya langsung pergi ke rumah Ale menggunakan mobil Kak Juan—yaitu kakaknya Jian. Karena Jian belum punya mobil, Ia akhirnya harus pinjam milik kakaknya. Maaf masih nunggu hujan duit, kalau kata Jian.

Di perjalanan, Jian mengajak kekasihnya untuk berbicara. “Babe,” panggilnya. “Apa?” tanya Ale, seraya menoleh ke-arahnya. “Harapan kamu buat tahun baru nanti itu... apa?” tanya Jian karena penasaran.

Ale terdiam sejenak. Ia butuh waktu untuk berpikir. Tahun ini sudah seperti roller-coaster, banyak naik dan turunnya. Dari berjuang untuk olimpiade matematika, hingga dirinya bisa berpacaran dengan Jian.

Terutama di saat-saat Ia mengalami break-down saat terlalu banyak belajar untuk olimpiade. Tetapi untungnya, Jian selalu berada di sisinya. Kapanpun itu—baik maupun buruk. Lelaki itu sangat setia kepadanya.

“Harapan aku cuman dua,”

“Yang pertama?”

“Keluarga aku bisa tetap bahagia dan sehat,”

That's nice! Kalau yang satunya?”

“Erm... bisa hidup bahagia sama kamu.”

Hati Jian seketika merasa hangat. Ia tertegun mendengar harapan Ale, karena dirinya tidak berpikir kalau Ale bakal mengatakan hal tersebut. “Sayang...”

“Hm?”

“Makasih.”

“Buat?”

“Makasih udah mau sama aku. Aku bersyukur banget bisa punya pasangan hidup kaya kamu, hahaha.”

“Mulai lagi gombalnya, hadeh.”

“Hehehe, serius kok. Aku sayang kamu.”

“Aku sayang kamu juga.”

Pas sekali, mereka sudah sampai di tujuan. Jian memarkirkan mobilnya terlebih dahulu sebelum memasuki rumah bak istana itu. Tak pernah sekalipun Ia tidak mengagumi keluarga kekasihnya.

Setelah selesai berparkir, kedua insan itu keluar dari mobil. “Yuk?” ajak Jian, seraya mengulurkan tangannya untuk digenggam. “Ayo,” ucap Ale, lalu menggenggam tangan besar milik Jian.

Sungguh, pasangan manis itu tak pernah bisa dipisahkan.

Ding! Dong!

Bunyi bel pintu berbunyi. Jian mengambil nafas yang dalam sebelum menyapa orang-tuanya kekasihnya. Siapa juga yang tidak gugup menemui orang-tua sang kekasih?

Tak lama kemudian, seseorang membuka pintu besar itu. “Halo! Eh, akhirnya kalian dateng juga. Ayo, sini masuk!” ajak si Mama. “Tuh kan, orang-tua aku suka kamu,” bisik Ale, yang membuat Jian tersenyum lega.

Lalu, mereka pun menginjak lantai rumah itu. Sang tuan rumah juga muncul dan menyapa anaknya serta kekasih anaknya. “Halo, Om!” sapa Jian. “Halo juga, Jian. Bagaimana kabarnya? Baik-baik saja sama Kale?”

Jian mengangguk, “Baik dong, Om. Apalagi kalau sama Ale, beuh! Tambah baik lagi kabarnya, hahaha,” ucapnya. Melihat sang Papa tertawa, Ale pun tersenyum.

“Kalian kalau mau bakar-bakar daging bisa ke belakang nanti. Mama juga bakal bantuin kalian kalau butuh. Oke?”

“Oke, thank you Ma.”

“Makasih Tante!”

You're welcome.

Begitu sang Mama Ale mengatakan hal tersebut, Jian langsung merasa tidak sabar. Ia pun menatap Ale dengan tatapan memohon. “Iya, boleh. Ayo ke sana,” ucap Ale, lalu tangannya ditarik pelan oleh Jian hingga ke area halaman belakang.

Mata Jian terpaku pada daging-daging ayam yang sudah dipotong berbentuk kubus. Ia tinggal memberinya bumbu dan membakarnya.

“Kamu se-seneng itu kah?” tanya Ale. “Iya, dong. Masa aku nggak seneng ngerayain tahun baru sama keluarga pacar aku sendiri?” ucap Jian seraya tersenyum menggoda. “Aku kira kamu seneng karena bakal makan banyak daging,” goda Ale.

“Ya... itu juga sih, jujur aja,” ucap Jian, lalu diikuti oleh tawaan ringan. Ale juga ikut tertawa mendengar hal itu.


Kedua tangan Jian sudah mulai bekerja membakar daging-daging ayam. Tenang saja, sudah dibumbui oleh Ale sebelumnya, kok.

“Aku bakar semuanya aja ya?”

“Iya, gapapa. Lagian Papa aku makan yang paling banyak nanti.”

“Hahaha, oke-oke.”

Beberapa menit telah berlalu. Semua daging ayam itu pun sudah terlihat sangat lezat dan gurih—siap untuk disantap dengan nasi.

“Papa! Mama! Makanannya udah jadi!” seru Ale dengan suaranya yang kencang. Cukup terdengar hingga seluruh komplek rumah.

Kedua orang-tua Ale datang dengan cepat; tak ingin membuat anak mereka menunggu dengan lama. Terutama, ada kekasih sang Anak juga.

Jian mempersilakan kedua orang-tuanya Ale untuk duduk duluan, lalu Ia dapat duduk setelahnya. “Keliatannya enak ya! Yuk, makan-makan!” puji si Mama.

Semua orang di meja makan itu langsung makan, begitu sang Mama Ale menyuruh untuk makan. Ternyata, daging bakaran mereka berhasil.

“Enak juga. Siapa yang bakar ini?”

“Jian, Pa. Kale bagian bumbu,”

“Wah, keren anak Papa. Jian juga did great!

“Hahaha, makasih banyak Om.”

Mereka semua bahagia pada malam berujung tahun baru ini. Berbincang-bincang ringan, bercanda, dan bahkan tertawa karena candaan-candaan receh milik Jian.

Rasanya hangat sekali.


Seusai acara makan-makan, tibalah saat jam menunjukkan pukul 23:50. Sebentar lagi. Tahun baru akan datang. Bab baru akan terbuka.

Mama dan Papa Ale sudah kembali memasuki rumah. Meninggalkan anaknya dengan kekasihnya di halaman belakang, membersihkan meja dan sisa-sisa makanan.

“Jian,”

“Iya, cil?”

I've never felt this happier before.

Kaki Jian berjalan mendekati keberadaan Ale. Kedua netranya menatap wajah indah sang kekasih. Tangan kanannya mengusap-usap pipi kanan Ale dengan lembut, lalu tersenyum kecil.

“Kalau kamu bahagia, aku juga ikut bahagia.”

“Kalau aku sedih?”

“Aku bakal coba bikin kamu bahagia lagi.”

Ucapan tulusnya membuat jantung Ale berdebar kencang. Selalu seperti itu. Sudah berbulan-bulan sejak kedua insan itu menjalin hubungan ini. Tetapi, Ale selalu tetap merasakan sensasi kupu-kupu di perutnya dan jantungnya yang berdebar kencang karena Jian.

Lalu, Ale menjijit sedikit—supaya dapat menyamai tingginya dengan Jian. “Ngapain?” tanya Jian. “Happy new year's gift,” jawabnya, sebelum mempersatukan kedua benda lunak masing-masing itu.

Ternyata, ciuman Ale sudah lebih baik. Di sela-sela ciuman, Jian tersenyum sembari memeluk pinggang mungil milik Ale. Menariknya lebih dekat, agar dapat lebih mudah untuk berciuman sesaat.

Sebuah ciuman yang manis dan lembut. Tak lebih, tak kurang.

I love you, Ale.

I love you too, Jian.

Suara petasan terdengar sangat jelas; menghiasi langit gelap itu, yang menjadi saksi bisu tingkah manis mereka. Jian menggenggam tangan Ale, “Let's make more memories, cutie.

written by kalacaffe.

jian & kale: one-shot au. | pair: jichen. part of 'love formula' universe.

CW // kissing.

Krekk!

Pintu kamar Jian terbuka secara perlahan. Malam ini, Ale sengaja ingin diam-diam mengejutkan kekasihnya, Jiandra. Hiburan gratis, ujarnya.

Toh, dia juga merasa rindu. Tidak hanya dengan niat mengejutkan saja.

Perlahan-lahan, Ale merangkak ke atas ranjang Jian—di mana Ia masih dalam keadaan tertidur lelap. Ale tersenyum lembut, lalu tangannya mengelus-elus rambut kekasihnya itu.

“Eh... sayang?”

Jian terbangun. Membuat Ale sedikit tersontak. “Aku ngebangunin kamu ya?” tanya Ale. “Iya, hahaha. Tapi gapapa kok. Kamu kenapa bisa di sini?” tanya Jian balik sembari mengusap-usap tangan Ale yang satunya. “Pengen ngejutin kamu aja,” jawabnya.

“Dalam rangka apa?”

Christmas.

“Eh, iya juga. Hadiah aku mana?”

Telunjuk Ale menunjuk dirinya. “Nih, aku. Hehehe,” ucap Ale dengan senyuman polosnya. Dengan rasa gemas, Jian langsung menarik Ale ke dalam pelukannya dan menghujani Ale dengan kecupan-kecupan ringan.

“Gemes banget kamu,” puji Jian. “Yayaya, I've heard it lot's of times from you,” balas Ale. Jian tersenyum kecil seraya menatap kedua netra kekasihnya.

Kedua wajah mereka perlahan mendekat. Hingga jarak mereka pun menjadi begitu dekat. Menyisihkan sekitar 2 cm di antara wajah mereka.

Lalu...

Krekk!

“Ehh Maaf ganggu, tapi kalian mau bikin cookies sama Bunda nggak?” tawar Bundanya Jian secara tiba-tiba. Keberadaannya membuat mereka berdua tersontak hingga panik. Akhirnya, mereka langsung saling menjauh supaya tidak disangka yang aneh-aneh.

“B-boleh Bun... Jian sama Ale bakal ke dapur bentar lagi.” Setelah menerima jawaban, Bundanya itu langsung menutup pintu kembali—yang membuat suasana menjadi sedikit canggung.

Namun, keduanya tiba-tiba tertawa, walaupun diselimuti oleh rasa malu. “Bunda kamu sering gitu ya?” tanya Ale. “Kadang, sih. Biasanya lagi males ngetuk pintu itu. Maaf ya, sayang,” jawab Jian.

Ale menggeleng pelan, “Gapapa, tenang aja. Mau ke dapur sekarang?” Sebagai jawaban singkat, Jian hanya mengangguk.

Kemudian, kedua insan itu meninggalkan kamar tersebut. Di dapur, terlihat semua bahan-bahan untuk membuat cookies di atas meja—sepertinya sudah disiapkan semua oleh Bundanya Jian.

“Ini... mulai darimana? Aku nggak ngerti soal masak-masak gini,” ucap Jian sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ale tertawa kecil, “Aku tau caranya. Kamu tinggal bantuin aku aja,” ucap Ale.

“Oke, aku percaya kamu sayang.”

“Harus lah!”

“Tapi jangan nyuruh aku yang susah-susah ya?”

“Iya-iya ih, santai aja.”

Akhirnya, Ale memulai kegiatan memasak itu duluan. Tangannya bergerak ke sana-sini, membuat Jian yang berdiri diam; seperti orang bodoh. Kalau kata Jian, yang penting ganteng.

“Ji,”

“Ya? Perlu apa Le?”

“Tolong campurin ini semua,”

“Siap bos!”

Jian menerima mangkuk berisi tepung, baking soda dan garam. Ia mencampurnya semua menggunakan spatula. “Jangan berantakan,” peringat Ale. “Nggak bakal kok,” balas Jian.

“Sayang, coba lihat aku,” ucap Jian secara tiba-tiba. Ale menoleh, menatap Jian dengan tatapan bingung. Lalu, Jian melumuri ujung telunjuknya dengan campuran bahan-bahan tersebut dan mencolek pipi Ale. Tanpa rasa berdosa, Jian tertawa.

“Kamu ngapain gitu sih? Jadi kotor tau. Jangan gitu lagi!” gerutu Ale sembari mengelap pipinya yang ternodai itu. “Hahaha, iya gemes. Aku bercanda doang, jangan galak gitu. Nanti aku takut loh,” goda Jian.

“Terserah,” balas Ale. Keduanya kembali fokus dalam kegiatan masak-memasak itu. Justru membuat suasananya menjadi sunyi, dan sedikit... canggung.


Bip!

Ale memasuki nampan yang berisi adonan cookies; dengan keping coklat di atasnya ke dalam oven. Kedua lelaki itu terdiam sesaat sembari menunggu kematangan makanan mereka.

Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang muncul di benak Jian. Ia mendekat ke arah kekasihnya, lalu menunduk sedikit untuk membisikkan sesuatu.

“Aku mau sesuatu...”

“Apa?”

“Ini. Aku kangen ini.”

Jian menyentuh bibir lembut Ale ketika mengatakan hal tersebut. Demi apapun! Kelakuannya membuat jantung Ale berdebar dengan sangat cepat!

Bahkan, kedua pipi Ale sekarang berubah menjadi merah seperti tomat. “Y-yaudah...” ucap Ale. “Yaudah apa, hm?” tanya Jian. “Yaudah, c-cium aja.”

Ucapan Ale membuat Jian terkekeh. Ia mendekatkan wajahnya, dengan tangannya yang menarik tengkuk kekasihnya secara perlahan.

Jian dapat merasakan nafas Ale yang hangat, hingga Ia tersenyum kecil.

“Tenang aja. I won't dare to hurt my little prince.

Tak lama lagi, Ale merasakan bibir kering Jian yang menempel pada bibirnya. Keduanya menutup mata mereka agar dapat lebih mudah berciuman. Jian menggigit bibir bawah Ale dengan perlahan—meminta ijin kepadanya.

Ketika Ale mengijinkannya, lidah Jian langsung menelusuri seluruh area mulut Ale dengan lembut. Membuat jantung kekasihnya itu semakin berantakan. Ciuman Jiandra selalu berhasil membuat Ale meleleh.

Manis dan lembut. Itulah yang hanya Jian berikan kepadanya. Ia tidak pernah berani untuk menyakiti Ale sedikitpun. Intinya, Jian sangat memperlakukan Ale dengan hati-hati—dan mencintainya sepenuh hati.

Sedikit klise, tetapi itulah kenyataannya. Ale juga mencintai Jian dengan sepenuh hati. Walaupun dirinya kadang gengsi untuk mengekspresikan rasa cintanya.

Ale memukul dada Jian, karena membutuhkan oksigen. Ciuman mereka pun selesai; meninggalkan Jian yang tersenyum penuh kemenangan, serta bibir Ale yang sedikit bengkak.

“Kamu cantik,”

“Ganteng,”

“Iya, dua-duanya.”

Tring!

Bunyi oven menandakan adonan mereka sudah matang. Ale langsung mengambil sebuah kain tebal, dan Jian membantu membuka pintu oven tersebut. Cookies mereka akhirnya sudah jadi.

“Wanginya enak bener,” ucap Jian seraya mendekati nampan yang ditaruh di atas meja. “Ya iyalah, kan aku yang bikin,” balas Ale. “Iya deh iyaa, pacarku pinter masak!” pujinya sembari mengusap-usap surai Ale.

Mereka berdua membersihkan dapur itu sebelum memakan makanan buatan mereka. Harus bersih dan rapih terlebih dahulu, supaya tidak dimarahi Bunda.

Let's eat,” ajak Ale. Tangan Jian meraih satu cookie, lalu memasukannya ke dalam mulutnya. Setelah itu, Ale juga melakukan hal yang sama.

Kedua mata Jian terbelak, “Buset! Enak banget Le!” seru Jian. “Eh? Iya juga,” ucap Ale.

By the way,

“Kenapa babe?”

Merry Christmas, Jian.

Merry Christmas too, my love.

Ale tersenyum malu-malu. Sungguh membuat Jian semakin cinta dengannya. “Mau cuddle habis ini?” tanya Jian. “Mau.”


Kini, di dalam kamar Jian yang sedikit diredupkan lampunya, kedua insan itu menghabiskan malam ini sembari berpelukan hangat.

Tangan besar Jian menggenggam tangan mungil milik Ale. Rasanya pas sekali. Jian suka. Ale suka.

“Kamu... suka hadiah natal dari aku yang tadi nggak?” tanya lelaki yang lebih kecil itu. Ia berbasa-basi saja sambil memainkan jari-jari Jian. “Hadiah yang mana?” tanyanya.

“Yang tadi... di dapur,”

“Yang mana?” tanya Jian lagi. Ia sengaja menggoda kekasihnya.

W-when we kissed, at the kitchen before.

Tawa kecil Jian terdengar. Ia merasa sangat gemas dengan kekasihnya itu. “Hahaha, aku inget kok. Aku suka banget sama hadiahnya. Sering-sering aja ngasihnya ya?”

“Dih, ngelunjak,” balas Ale. “Sama kamu doang ini,” ucap Jian. “Iyalah! Awas aja sampai sama yang lain...”

“Iya-iya, nggak bakal kok. You're only mine, and I'm only yours.

“Janji loh?”

“Janji.”

written by kalacaffe.

casts: mark as mabel & jeno as jekala. | pair: markno. genre: teen-romance, fluff.

CW // slight kissing, harsh words.

Tiririinggg! Tiriririrnggg!

Bunyi alarm membangunkan diri Jekala. Tangannya meraih alarm tersebut, lalu mematikannya. “Udah jam berapa sih?” Begitu Ia melihat waktu, nafasnya langsung tercegat. “ANJIR! JAM SEMBILAN? BUSET HARUS BURU-BURU!”

Inilah Jekala. Seorang siswa kelas 12 IPS, yang sebenarnya tergolong murid normal. Namun, hari ini... Ia sedikit telat untuk masuk sekolah. Jekala juga mempunyai kekasih, yaitu Mabel. Juga merupakan siswa kelas 12, tetapi masuk jurusan IPA.

Keduanya tinggal di dalam satu rumah; pemberian sang Nenek-nya Jekala. Biasanya, Mabel selalu membangunkan Jekala supaya tidak telat. Tetapi mengapa hari ini tidak?

“Sial ah! Mana gua kagak dibangunin!” gerutu Jekala sembari memakai seragamnya dengan cepat. Setelah selesai semuanya, Ia langsung mengambil tas sekolahnya dan lupa untuk sarapan karena faktor waktu yang terlalu padat.

Tidak ada motor karena dipakai kekasihnya—jadi Ia menggunakan sepeda untuk ke sekolah. Kasihan sekali.


Sesampainya di sekolah, Jekala langsung memarkirkan sepedanya dengan asal dan langsung berlari ke arah kelasnya. “Here we go...” Kalian tahu rasanya bagaimana di tatap oleh satu kelas saat kalian sendiri telat? Ya, itu sangat memalukan. Dan sialnya, Jekala mengalami hal tersebut.

Kakinya mengambil langkah perlahan, memasuki kelas secara diam-diam agar tidak dipergok oleh guru yang sedang mengajar. “Cepetan duduk sini!” bisik teman bangkunya, Aji.

Untungnya, sampai pelajaran selesai pun tak ada guru satupun yang menyadari ketelatan Jekala pada hari ini. Lumayan, sedang hoki.

Tetapi keberuntungan itu tidak berlangsung lama. Ketika jam istirahat datang, Jekala mendatangi kelas kekasihnya karena... ingin berbicara saja—dan rindu, tentunya.

“Permisi... ada Mabel nggak di sini?” tanya Jekala kepada salah satu murid kelas IPA itu. “Mabel? Nggak ada di sini, kalau nggak salah dia ke kantin, La.” Jawabannya membuat Jekala sedikit malas, akan tetapi Ia tetap berusaha mencari Mabel.

Jekala berjalan-jalan lagi, hingga sampai di kantin. Matanya melihat ke sana-sini, mencari keberadaan lelaki tampan itu. “Bingo! Akhirnya ketemu juga.”

Ketika menemukan Mabel, Ia langsung berjalan ke arahnya dengan senyuman yang lebar. “Mabel!” panggil Jekala.

Rupanya, kekasihnya itu sedang sibuk sendiri bersama teman-temannya. Lebih tepatnya, teman-teman OSIS. Ah! Iya, Mabel juga merupakan siswa yang rajin dan ramah terhadap semua orang. Sampai-sampai Ia dipilih menjadi Ketua OSIS tahun ini oleh para murid-murid—bahkan guru.

Bukannya Jekala tidak suka, Ia menjadi merasa terabaikan oleh Mabel. Seakan-akan prioritas Mabel sekarang adalah OSIS, rapat OSIS, program OSIS—pokoknya semua yang berhubungan dengan OSIS. Jekala juga turut senang untuknya, kok.

Hanya... dirinya sekarang adalah sang kekasih Mabel. Ia juga berhak mendapatkan perhatian dan waktu untuk berdua, 'kan?

“Mabel,” panggilnya lagi. “Iya, kenapa sayang?” jawab Mabel. Akhirnya Ia mendapatkan respon. “Kita bisa ngobrol sebentar nggak? Aku—”

“Sebentar ya, sayang. Aku ngurusin ini dulu. Nanti aku baru bisa sama kamu. Is that okay?

Lagi-lagi OSIS.

Okay, fine. Semangat.”

Tak sampai satu menit, percakapannya antara dirinya dengan Mabel selesai. Bahkan kata 'terima kasih' pun tidak keluar dari mulut Mabel.

Karena tidak ada yang bisa Ia lakukan lagi di sini, dirinya keluar dari kantin untuk berjalan-jalan tanpa tujuan yang jelas. “Sesibuk itu kah? Sampai nggak ada waktu buat gua yang bahkan pacarnya sendiri,” batinnya.

Jekala hanya bisa menghela nafas dan sabar dengan keadaan. Ia setidaknya mencoba mengerti kesibukan Mabel. Walaupun sedikit menimbulkan rasa jengkel dan sedih.


Sudah waktunya untuk pulang. Jekala mengambil tas sekolahnya, lalu keluar dari bangunan tersebut. Ia menengok kesana-kemari mencari sosok keberadaan sang kekasih. Namun hasilnya nihil.

Dengan rasa untuk panjang menyerah, Jekala menelepon kekasihnya itu; mengajaknya pulang bersama.

“Kak?”

Iya, kenapa Kal?

“Pulang bareng yuk? Ini juga udah gerimis, aku agak takut pulang sendiri...”

”...”

“Halo, Kak?”

Eh—iya sayang, kamu pulang sendiri dulu ya? Kakak masih ada sedikit urusan di sini. Maaf ya, sayang?

”...Oke. See you later, Kak. Aku tutup telponnya.”

Tut!

Jekala mendongakan kepalanya ke atas, melihat langit yang berubah menjadi sedikit gelap. Rintikan hujan juga sudah mulai menurun, sedikit membasahi tubuh Jekala. Ia menghela nafas panjang.

“Capek.”

Satu kata, seribu makna. Itulah yang hanya Ia rasakan saat ini. Bukan bermaksud berlebihan, Jekala hanya ingin mendapatkan atensi dan afeksi dari kekasihnya—seperti dulu.

Setelah itu, Jekala menaiki sepedanya dan mengendara hingga kembali ke rumahnya. Ralat, rumahnya dan Mabel.

Saat sampai, Ia memasuki rumahnya dengan raga yang sudah lesu dan lelah. Jekala memasuki kamarnya dan berganti baju sebelum tidur di atas kasur kesayangannya.

Bruk!

Kakinya terbentur meja. “Ah! sakit,” Ia meringis pelan sembari mengusap-usap kakinya. Sehabis itu Ia langsung merebahkan dirinya di atas kasur sebelum memasuki dunia mimpi.


Krekkk!

Mabel memasuki ruangan kamarnya yang sebenarnya Ia berbagi dengan kekasihnya, Jekala. Mendekatkan diri secara perlahan-lahan, supaya tidak membangunkan kekasihnya yang menggemaskan itu.

Ia berganti baju, lalu duduk di sebelah Jekala. “Maaf sayang, maaf... Maaf karena nggak ada waktu buat kamu, maaf Kakak nggak bisa nemenin kamu ke mana-mana. Maafin Kakak ya? Kakak sayang kamu,” ucapnya sembari mengusap-usap surai Jekala dengan lembut.

Setelah mengucapkan hal tersebut, Jekala bergerak perlahan; menandakan bahwa Ia tak sengaja terbangun. “K-kak Mabel...?”

“Iya, sayang? Maaf kalau Kakak nggak sengaja bangunin kamu,”

“Nggak kok, kak. Aku kangen banget sama kakak...”

“Kalau gitu sini peluk Kakak.”

Jekala menaikkan tubuhnya sedikit agar dapat memeluk orang yang Ia rindukan beberapa hari ini. Harumnya tetap sama. Membuat dirinya semakin jatuh cinta terhadap Mabel.

Mabel memeluk pundak Jekala dengan erat, lalu memberi kecupan-kecupan ringan pada keningnya. “Maafin Kakak ya?” pinta Mabel. “Iya, Kak. Aku maafin. Tapi kasih aku kiss dulu,” ucap Jekala.

Cup!

Tanpa lama, Mabel langsung memberikan kecupan manis pada bibir Jekala. Ia tersenyum melihat kekasihnya yang senang berada di pelukannya. “Udah?” tanya Mabel. “Bentar, satu lagi.”

Cup!

Sebuah kecupan mendarat di bibir Mabel. Kali ini, dari Jekala. “Hehe, udah. Suka nggak?” tanya Jekala. “Suka, suka banget. Kakak suka kalau dicium kamu.” Ucapannya membuat hati Jekala semakin berdegup dengan kencang.

“Kalau gitu... Kakak mau sering-sering aku cium?”

“Mau banget dong,”

“Oke deh, deal ya!”

Deal. Gemes banget sih sayangnya Kakak!” puji Mabel seraya menyubit hidung kekasihnya dengan lembut.

Keduanya tertawa renyah sembari menikmati malam yang hangat ini. Berbagi pelukan dan candaan. Hanya untuk mereka berdua. “Kak, tidur yuk?” ajak Jekala, yang sudah merasa kantuk.

“Ayo. Kamu udah ngantuk 'kan?”

“Udah, hehehe. Good night Kak Mabel sayang!”

Good night too, my little prince.

written by kalacaffe.

casts: mark as mabel & jeno as jekala. | pair: markno. genre: teen-romance, fluff.

CW // slight kissing, harsh words.

Tiririinggg! Tiriririrnggg!

Bunyi alarm membangunkan diri Jekala. Tangannya meraih alarm tersebut, lalu mematikannya. “Udah jam berapa sih?” Begitu Ia melihat waktu, nafasnya langsung tercegat. “ANJIR! JAM SEMBILAN? BUSET HARUS BURU-BURU!”

Inilah Jekala. Seorang siswa kelas 12 IPS, yang sebenarnya tergolong murid normal. Namun, hari ini... Ia sedikit telat untuk masuk sekolah. Jekala juga mempunyai kekasih, yaitu Mabel. Juga merupakan siswa kelas 12, tetapi masuk jurusan IPA.

Keduanya tinggal di dalam satu rumah; pemberian sang Nenek-nya Jekala. Biasanya, Mabel selalu membangunkan Jekala supaya tidak telat. Tetapi mengapa hari ini tidak?

“Sial ah! Mana gua kagak dibangunin!” gerutu Jekala sembari memakai seragamnya dengan cepat. Setelah selesai semuanya, Ia langsung mengambil tas sekolahnya dan lupa untuk sarapan karena faktor waktu yang terlalu padat.

Tidak ada motor karena dipakai kekasihnya—jadi Ia menggunakan sepeda untuk ke sekolah. Kasihan sekali.


Sesampainya di sekolah, Jekala langsung memarkirkan sepedanya dengan asal dan langsung berlari ke arah kelasnya. “Here we go...” Kalian tahu rasanya bagaimana di tatap oleh satu kelas saat kalian sendiri telat? Ya, itu sangat memalukan. Dan sialnya, Jekala mengalami hal tersebut.

Kakinya mengambil langkah perlahan, memasuki kelas secara diam-diam agar tidak dipergok oleh guru yang sedang mengajar. “Cepetan duduk sini!” bisik teman bangkunya, Aji.

Untungnya, sampai pelajaran selesai pun tak ada guru satupun yang menyadari ketelatan Jekala pada hari ini. Lumayan, sedang hoki.

Tetapi keberuntungan itu tidak berlangsung lama. Ketika jam istirahat datang, Jekala mendatangi kelas kekasihnya karena... ingin berbicara saja—dan rindu, tentunya.

“Permisi... ada Mabel nggak di sini?” tanya Jekala kepada salah satu murid kelas IPA itu. “Mabel? Nggak ada di sini, kalau nggak salah dia ke kantin, La.” Jawabannya membuat Jekala sedikit malas, akan tetapi Ia tetap berusaha mencari Mabel.

Jekala berjalan-jalan lagi, hingga sampai di kantin. Matanya melihat ke sana-sini, mencari keberadaan lelaki tampan itu. “Bingo! Akhirnya ketemu juga.”

Ketika menemukan Mabel, Ia langsung berjalan ke arahnya dengan senyuman yang lebar. “Mabel!” panggil Jekala.

Rupanya, kekasihnya itu sedang sibuk sendiri bersama teman-temannya. Lebih tepatnya, teman-teman OSIS. Ah! Iya, Mabel juga merupakan siswa yang rajin dan ramah terhadap semua orang. Sampai-sampai Ia dipilih menjadi Ketua OSIS tahun ini oleh para murid-murid—bahkan guru.

Bukannya Jekala tidak suka, Ia menjadi merasa terabaikan oleh Mabel. Seakan-akan prioritas Mabel sekarang adalah OSIS, rapat OSIS, program OSIS—pokoknya semua yang berhubungan dengan OSIS. Jekala juga turut senang untuknya, kok.

Hanya... dirinya sekarang adalah sang kekasih Mabel. Ia juga berhak mendapatkan perhatian dan waktu untuk berdua, 'kan?

“Mabel,” panggilnya lagi. “Iya, kenapa sayang?” jawab Mabel. Akhirnya Ia mendapatkan respon. “Kita bisa ngobrol sebentar nggak? Aku—”

“Sebentar ya, sayang. Aku ngurusin ini dulu. Nanti aku baru bisa sama kamu. Is that okay?

Lagi-lagi OSIS.

Okay, fine. Semangat.”

Tak sampai satu menit, percakapannya antara dirinya dengan Mabel selesai. Bahkan kata 'terima kasih' pun tidak keluar dari mulut Mabel.

Karena tidak ada yang bisa Ia lakukan lagi di sini, dirinya keluar dari kantin untuk berjalan-jalan tanpa tujuan yang jelas. “Sesibuk itu kah? Sampai nggak ada waktu buat gua yang bahkan pacarnya sendiri,” batinnya.

Jekala hanya bisa menghela nafas dan sabar dengan keadaan. Ia setidaknya mencoba mengerti kesibukan Mabel. Walaupun sedikit menimbulkan rasa jengkel dan sedih.


Sudah waktunya untuk pulang. Jekala mengambil tas sekolahnya, lalu keluar dari bangunan tersebut. Ia menengok kesana-kemari mencari sosok keberadaan sang kekasih. Namun hasilnya nihil.

Dengan rasa untuk panjang menyerah, Jekala menelepon kekasihnya itu; mengajaknya pulang bersama.

“Kak?”

Iya, kenapa Kal?

“Pulang bareng yuk? Ini juga udah gerimis, aku agak takut pulang sendiri...”

”...”

“Halo, Kak?”

Eh—iya sayang, kamu pulang sendiri dulu ya? Kakak masih ada sedikit urusan di sini. Maaf ya, sayang?

”...Oke. See you later, Kak. Aku tutup telponnya.”

Tut!

Jekala mendongakan kepalanya ke atas, melihat langit yang berubah menjadi sedikit gelap. Rintikan hujan juga sudah mulai menurun, sedikit membasahi tubuh Jekala. Ia menghela nafas panjang.

“Capek.”

Satu kata, seribu makna. Itulah yang hanya Ia rasakan saat ini. Bukan bermaksud berlebihan, Jekala hanya ingin mendapatkan atensi dan afeksi dari kekasihnya—seperti dulu.

Setelah itu, Jekala menaiki sepedanya dan mengendara hingga kembali ke rumahnya. Ralat, rumahnya dan Mabel.

Saat sampai, Ia memasuki rumahnya dengan raga yang sudah lesu dan lelah. Jekala memasuki kamarnya dan berganti baju sebelum tidur di atas kasur kesayangannya.

Bruk!

Kakinya terbentur meja. “Ah! sakit,” Ia meringis pelan sembari mengusap-usap kakinya. Sehabis itu Ia langsung merebahkan dirinya di atas kasur sebelum memasuki dunia mimpi.


Krekkk!

Mabel memasuki ruangan kamarnya yang sebenarnya Ia berbagi dengan kekasihnya, Jekala. Mendekatkan diri secara perlahan-lahan, supaya tidak membangunkan kekasihnya yang menggemaskan itu.

Ia berganti baju, lalu duduk di sebelah Jekala. “Maaf sayang, maaf... Maaf karena nggak ada waktu buat kamu, maaf Kakak nggak bisa nemenin kamu ke mana-mana. Maafin Kakak ya? Kakak sayang kamu,” ucapnya sembari mengusap-usap surai Jekala dengan lembut.

Setelah mengucapkan hal tersebut, Jekala bergerak perlahan; menandakan bahwa Ia tak sengaja terbangun. “Kak Mabel...?”

“Iya, sayang? Maaf kalau Kakak nggak sengaja bangunin kamu,”

“Nggak kok, kak. Aku kangen banget sama kakak...”

“Kalau gitu sini peluk Kakak.”

Jekala menaikkan tubuhnya sedikit agar dapat memeluk orang yang Ia rindukan beberapa hari ini. Harumnya tetap sama. Membuat dirinya semakin jatuh cinta terhadap Mabel.

Mabel memeluk pundak Jekala dengan erat, lalu memberi kecupan-kecupan ringan pada keningnya. “Maafin Kakak ya?” pinta Mabel. “Iya, Kak. Aku maafin. Tapi kasih aku kiss dulu,” ucap Jekala.

Cup!

Tanpa lama, Mabel langsung memberikan kecupan manis pada bibir Jekala. Ia tersenyum melihat kekasihnya yang senang berada di pelukannya. “Udah?” tanya Mabel. “Bentar, satu lagi.”

Cup!

Sebuah kecupan mendarat di bibir Mabel. Kali ini, dari Jekala. “Hehe, udah. Suka nggak?” tanya Jekala. “Suka, suka banget. Kakak suka kalau dicium kamu.” Ucapannya membuat hati Jekala semakin berdegup dengan kencang.

“Kalau gitu, mau sering-sering aku cium?”

“Mau banget!”

“Oke deh, deal ya!”

Deal.

Keduanya tertawa renyah sembari menikmati malam yang hangat ini. Berbagi pelukan dan candaan. Hanya untuk mereka berdua. “Kak, tidur yuk?”

“Ayo. Kamu udah ngantuk 'kan?”

“Udah, hehehe. Good night Kak Mabel sayang!”

Good night too, my little prince.

written by kalacaffe.

casts: jeno as juno and jaemin as nathan. genre: teen-romance, fluff.

CW // slight kissing. harsh words.

Hari Senin. Hari yang paling tidak disukai oleh murid-murid karena malas kembali ke sekolah untuk belajar. Tidak sama halnya dengan Nathan. Ia bersemangat sekali pergi ke sekolah—eits, tapi bukan karena semangat untuk belajar, melainkan semangat untuk melihat crush-nya.

Juno Mahardika.

Nama yang selalu ada di pikiran Nathan. Menurutnya, lelaki itu begitu menarik perhatiannya. Ia bukan seorang berandalan-macam-geng-motor, tetapi lebih ke... ramah? Friendly, ke semua orang. Bahkan guru-guru menyukainya karena nilainya yang lumayan tinggi serta keterampilannya dalam memainkan alat musik gitar.

Ingin sekali dirinya dinyanyikan oleh Juno. Bayangkan saja, suaranya yang rendah dan lembut itu hanya di dengar olehnya, sembari memainkan lagu yang Ia suka, lalu diajak berkenc—oke, mari kita hentikan sampai situ. Intinya, Nathan sangat ingin dekat dengan Juno.

Masalahnya, untuk menghampiri Juno duluan saja butuh keberanian yang begitu besar. Apalagi menyatakan perasaannya? Aduh... tidak, pasti akan kacau nanti. Tetapi hari ini seperti ada sebuah keajaiban terjadi pada Nathan. Ia mendapatkan keberanian untuk mengajak Juno bertemu, hanya empat mata.

“Nggak ada salahnya untuk sesekali berani, 'kan?” omongnya sendiri sembari melihat cermin yang berada di toilet. “Lo harus bisa Nath, lo lakik bro! Harus berani duluan!” finalnya, sebelum pergi keluar dari toilet. Agaknya Nathan masih terlihat sedikit tertekan.

Dengan langkah beraninya, Ia sudah sedikit lagi sampai di mana Juno berada. Kini, manusia yang disukainya sudah berada di depan mata. Kebetulan lelaki itu sedang sendiri sembari membaca sebuah buku novel. Nathan menghembuskan nafas sebelum melangkah lagi. “Okay, here goes nothing.

Tap... Tap... Tap...

Tiga langkah terakhir membuat dirinya berada tepat di belakang Juno yang sedang duduk. “Erm... J-Juno..?” panggilnya dengan pelan-pelan. Yang dipanggil pun menoleh ke belakang, hingga kedua netranya melihat wajah Nathan. “Iya? Eh, lo Nathan 'kan?” respon Juno. Nathan hanya bisa mengangguk sambil memasang senyuman manisnya.

“Ada apa Nath?” tanya Juno. Demi Tuhan! Mengapa Juno tampak menjadi lebih tampan jika dilihat dari dekat? Ia tidak boleh pingsan sekarang. Ayo kuatkan dirimu, Nathan. “G-gua... uhh...” ucap Nathan dengan terbata-bata. Ia merasa sangat gugup sekarang. Sekujur tubuhnya menjadi dingin sekali. “Hahaha, nafas dulu coba. Pelan-pelan aja, nggak usah buru-buru ngomongnya. Gua tungguin kok,” ucap Juno.

Karena ucapan Juno, bisa-bisa Nathan menjadi semakin jatuh hati dengannya. “Gua... mau ngajak lo ketemuan besok, bisa?” ucap Nathan. “Bisa. Mau ketemuan di mana, Nath?” tanya Juno. “Di kafe...? Eh bukan, di taman aja mau nggak...? Taman Roseville.” Lagi-lagi Nathan merasa gugup.

Tak lama kemudian, Juno memberi senyuman yang membuat kedua matanya sampai tidak terlihat. “Boleh! Habis pulang sekolah bisa? Gua ada sedikit urusan soalnya,” balas Juno. “I-iya, gapapa kok hehehe,” ucap Nathan.

By the way, gua pergi dulu ya?”

“Iya. Omong-omong, maaf kalau gua ganggu waktu lo...”

“Nggak kok, santai aja. See you tomorrow!”

See you!

Saat berniat untuk berpisah, tiba-tiba Juno menghentikan langkahnya dan memanggil Nathan. “Hey Nath!” panggilnya.

“Ada apa?”

“Lo gemes!” Setelah mengatakan itu, Juno langsung berlari meninggalkannya karena malu.

Dan sekarang... Nathan merasa seperti Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya, karena pujian yang dirinya dapatkan secara tiba-tiba dari gebetan-nya sendiri, Juno. Sensasi panas pun Nathan rasakan di area telinganya.

Great job, Nath. Akhirnya step one selesai. Tinggal besok lo harus lebih berani.


Menjelang malam, Nathan sedang berada di dalam kamarnya sembari rebahan di atas kasurnya. Biasalah, tipikal anak remaja kini. Ia memainkan ponselnya, membuka suatu aplikasi hingga menemukan postingan Juno—yang fotonya menunjukkan Juno sedang bermain gitar dan temannya—duduk di sebelahnya.

“Kaya kenal dah... Harsa bukan sih? Dari kelas IPS sebelah itu? Iya kali ya?” Ia berbicara dengan dirinya sendiri, lagi. Entahlah... sudah seperti kebiasaan bagi Nathan.

“EH ANJIR!”

Nathan terkejut dan panik. Ia tidak sengaja menekan tombol suka pada postingan Juno. Dengan secepat cahaya kilat, Nathan langsung meng-unlike postingan gebetan-nya. Siapa juga yang tidak panik jika mengalami hal yang sama seperti itu?

“Buset dah, nyawa gua hampir melayang bangsat,” umpatnya lagi. Ia langsung mematikan layar ponselnya dan beranjak dari kasurnya. Di hadapan cermin, Ia berbicara pada dirinya lagi.

“Gua harusnya nggak se-takut dan se-gugup ini, tapi kenapa iya? Kenapa anjir?!? Kalau besok gua jadinya nggak berani confess gimana?”

“Terus kalau gua udah confess dan gua ditolak atau dijauhin mentah-mentah gimana? Ah brengsek tai, gua pusing!”

Dirinya menjadi lemas dan kembali ke atas kasur. Sudah terlalu bamyak pikiran malam ini. “Oke, tenang Nath. Besok lo confess dengan santai aja, nggak usah mikir yang negatif.” Akhirnya, sesi berpikir berlebihan selesai.

Tanpa lama lagi, Nathan mematikan lampu mejanya dan memejamkan matanya supaya dapat pergi ke alam mimpi. Semoga saja besok rencananya berjalan dengan lancar.


Hari sudah terang, matahari menyinari seluruh daerah. Begitu Nathan bangun, Ia langsung bersiap-siap untuk sekolah dan tentu membuat dirinya se-tampan dan se-rapi mungkin. Hanya untuk hari ini, hari yang spesial baginya.

Baru saja Nathan sampai di kelasnya, Ia sudah merasa tidak sabar untuk menemui Juno nanti—saat selesai sekolah.

“Coba aja... kalau gua bisa mempercepat waktu,” batinnya. Benar-benar sudah tidak sabar. Jantungnya berdetak dengan amat kencang, membuatnya bercampur rasa gugup dan antusias di waktu yang bersamaan.

Sayangnya, Ia harus melewati kegiatan pembelajaran hari ini dahulu. Dua kata, malas dan membosankan. “Huh...” Nathan menghembus nafas pasrah sebelum menaruh kepalanya di atas meja.

Ada-ada saja murid satu ini.


Ding... dong...!

Bel sekolah akhirnya berbunyi. Menandakan bahwa jam sekolah untuk hari ini telat usai. Semua murid pun membereskan meja mereka dan pulang ke rumah masing-masing.

Kecuali Nathan. Ia membereskan mejanya, tetapi tidak langsung pulang. Melainkan ke Taman Roseville; taman yang berada di dekat sekolah.

“Ah elah, sialan! Malah hujan lagi,” umpatnya, sembari menggunakan tasnya supaya kepalanya tidak terkena air hujan. Ia langsung berlari ke taman itu dan mencari pohon beringin untuk berteduh di bawahnya.

Beberapa menit Nathan menunggu di bawah pohon beringin tersebut. Rasa putus asa mulai perlahan menyelimutinya. “Dia lupa kali ya? Atau memang nggak mau ketemu gua?” Pertanyaan-pertanyaan itu mulai muncul di kepala Nathan.

“Kata siapa gua lupa?”

Secara tiba-tiba, sebuah suara yang tidak asing terdengar di kuping Nathan. “Kata siapa gua nggak mau ketemu sama lo, Nath?” Awalnya, Nathan merasakan rasa putus asa. Ternyata... semesta sedang berpihak kepadanya.

Juno datang. Juno ingin menemui Nathan.

“Udah dari kapan lo di sini?” tanya Nathan. “Dari tadi. Well, gua selalu tiba lima menit lebih awal. Sorry for not telling you at first,” jawab Juno. “It's alright.

Beberapa detik ini dipenuhi dengan kesunyian. Sedikit canggung karena mereka jarang sekali berkomunikasi satu dengan yang lainnya.

“Jadi... lo kenapa ngajak gua ketemuan?”

“Oh, iya. Itu... erm... a-anu...”

“Apa Nath?”

Tuh kan. Gugup lagi. Sial.

“Lo masih butuh waktu ya? Kalau gitu gua duluan aja.”

“M-maksud lo?”

“Gua mau ngomong sesuatu juga ke lo. Jadi... udah sekitar 3 tahun semenjak gua suka lo, Nathan. Gua selalu coba buat ramah ke lo, ngobrol sama lo. Tapi, lo selalu ngehindar dari gua, Nath. Dan gua kadang suka mikir, apa lo il-feel sama gua? Atau risih sama kelakuan gua? Tapi semua pikiran itu selalu gua coba singkirin. Intinya, sampe sekarang pun gua masih suka lo. Gua seneng banget saat lo kemarin nyamperin gua duluan, bahkan ngajakin gua ketemuan. Gua nggak berharap lo balas perasaan gua, tapi—”

“Gua juga sama lo. Gua suka banget sama lo, Juno. Udah dari lama, entah berapa tahun gua suka lo secara diem-diem.”

Keduanya tersenyum malu dan merasakan kebahagiaan pada hari ini. Ternyata, selama ini usaha mereka tidak sia-sia.

Tangan kanan Juno mengusap-usap pipi Nathan, dan wajahnya juga Ia dekatkan secara perlahan. “May I?” tanya Juno. Nathan mengangguk dan tersenyum kecil.

Mereka pun berciuman, di bawah langit yang menurunkan air hujan. Kedua lelaki itu saling berbagi rasa cinta dan kebahagiaan di saat yang sama. Juno pun melepaskan tautan mereka dan tersenyum lembut.

So, Nathan... will you be mine?

You don't need to ask that anymore, hahaha.

Hari itu adalah hari yang paling bahagia untuk Nathan dan Juno. Siapa sangka mereka ternyata saling mempunyai rasa suka? Ralat, rasa cinta.

Juno mengusap-usap surai Nathan dengan lembut sembari menatapnya dengan penuh perhatian. Dunianya sudah beralih kepada Nathan. Sang pemilik hatinya, sekarang.

“Gemesnya,”

“Tau kok.”

“Kalau aku?”

“Aneh.”

“Untung aja aku sayang kamu,”

“Bercanda, kamu keren kok! Selalu keren di mata aku.”

Sometimes, life can be unpredictable. Many things happen, may or may not meet our expectations. Just like love; you don't know when will they love you just the way you love them.

written by kalacaffe.

casts: jeno as juno and jaemin as nathan. genre: teen-romance, fluff.

CW // slight kissing. harsh words.

Hari Senin. Hari yang paling tidak disukai oleh murid-murid karena malas kembali ke sekolah untuk belajar. Tidak sama halnya dengan Nathan. Ia bersemangat sekali pergi ke sekolah—eits, tapi bukan karena semangat untuk belajar, melainkan semangat untuk melihat crush-nya.

Juno Mahardika.

Nama yang selalu ada di pikiran Nathan. Menurutnya, lelaki itu begitu menarik perhatiannya. Ia bukan seorang berandalan-macam-geng-motor, tetapi lebih ke... ramah? Friendly, ke semua orang. Bahkan guru-guru menyukainya karena nilainya yang lumayan tinggi serta keterampilannya dalam memainkan alat musik gitar.

Ingin sekali dirinya dinyanyikan oleh Juno. Bayangkan saja, suaranya yang rendah dan lembut itu hanya di dengar olehnya, sembari memainkan lagu yang Ia suka, lalu diajak berkenc—oke, mari kita hentikan sampai situ. Intinya, Nathan sangat ingin dekat dengan Juno.

Masalahnya, untuk menghampiri Juno duluan saja butuh keberanian yang begitu besar. Apalagi menyatakan perasaannya? Aduh... tidak, pasti akan kacau nanti. Tetapi hari ini seperti ada sebuah keajaiban terjadi pada Nathan. Ia mendapatkan keberanian untuk mengajak Juno bertemu, hanya empat mata.

“Nggak ada salahnya untuk sesekali berani, 'kan?” omongnya sendiri sembari melihat cermin yang berada di toilet. “Lo harus bisa Nath, lo lakik bro! Harus berani duluan!” finalnya, sebelum pergi keluar dari toilet. Agaknya Nathan masih terlihat sedikit tertekan.

Dengan langkah beraninya, Ia sudah sedikit lagi sampai di mana Juno berada. Kini, manusia yang disukainya sudah berada di depan mata. Kebetulan lelaki itu sedang sendiri sembari membaca sebuah buku novel. Nathan menghembuskan nafas sebelum melangkah lagi. “Okay, here goes nothing.

Tap... Tap... Tap...

Tiga langkah terakhir membuat dirinya berada tepat di belakang Juno yang sedang duduk. “Erm... J-Juno..?” panggilnya dengan pelan-pelan. Yang dipanggil pun menoleh ke belakang, hingga kedua netranya melihat wajah Nathan. “Iya? Eh, lo Nathan 'kan?” respon Juno. Nathan hanya bisa mengangguk sambil memasang senyuman manisnya.

“Ada apa Nath?” tanya Juno. Demi Tuhan! Mengapa Juno tampak menjadi lebih tampan jika dilihat dari dekat? Ia tidak boleh pingsan sekarang. Ayo kuatkan dirimu, Nathan. “G-gua... uhh...” ucap Nathan dengan terbata-bata. Ia merasa sangat gugup sekarang. Sekujur tubuhnya menjadi dingin sekali. “Hahaha, nafas dulu coba. Pelan-pelan aja, nggak usah buru-buru ngomongnya. Gua tungguin kok,” ucap Juno.

Karena ucapan Juno, bisa-bisa Nathan menjadi semakin jatuh hati dengannya. “Gua... mau ngajak lo ketemuan besok, bisa?” ucap Nathan. “Bisa. Mau ketemuan di mana, Nath?” tanya Juno. “Di kafe...? Eh bukan, di taman aja mau nggak...? Taman Roseville.” Lagi-lagi Nathan merasa gugup.

Tak lama kemudian, Juno memberi senyuman yang membuat kedua matanya sampai tidak terlihat. “Boleh! Habis pulang sekolah bisa? Gua ada sedikit urusan soalnya,” balas Juno. “I-iya, gapapa kok hehehe,” ucap Nathan.

By the way, gua pergi dulu ya?”

“Iya. Omong-omong, maaf kalau gua ganggu waktu lo...”

“Nggak kok, santai aja. See you tomorrow!”

See you!

Saat berniat untuk berpisah, tiba-tiba Juno menghentikan langkahnya dan memanggil Nathan. “Hey Nath!” panggilnya.

“Ada apa?”

“Lo gemes!” Setelah mengatakan itu, Juno langsung berlari meninggalkannya karena malu.

Dan sekarang... Nathan merasa seperti Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya, karena pujian yang dirinya dapatkan secara tiba-tiba dari gebetan-nya sendiri, Juno. Sensasi panas pun Nathan rasakan di area telinganya.

Great job, Nath. Akhirnya step one selesai. Tinggal besok lo harus lebih berani.


Menjelang malam, Nathan sedang berada di dalam kamarnya sembari rebahan di atas kasurnya. Biasalah, tipikal anak remaja kini. Ia memainkan ponselnya, membuka suatu aplikasi hingga menemukan postingan Juno—yang fotonya menunjukkan Juno sedang bermain gitar dan temannya—duduk di sebelahnya.

“Kaya kenal dah... Harsa bukan sih? Dari kelas IPS sebelah itu? Iya kali ya?” Ia berbicara dengan dirinya sendiri, lagi. Entahlah... sudah seperti kebiasaan bagi Nathan.

“EH ANJIR!”

Nathan terkejut dan panik. Ia tidak sengaja menekan tombol suka pada postingan Juno. Dengan secepat cahaya kilat, Nathan langsung meng-unlike postingan gebetan-nya. Siapa juga yang tidak panik jika mengalami hal yang sama seperti itu?

“Buset dah, nyawa gua hampir melayang bangsat,” umpatnya lagi. Ia langsung mematikan layar ponselnya dan beranjak dari kasurnya. Di hadapan cermin, Ia berbicara pada dirinya lagi.

“Gua harusnya nggak se-takut dan se-gugup ini, tapi kenapa iya? Kenapa anjir?!? Kalau besok gua jadinya nggak berani confess gimana?”

“Terus kalau gua udah confess dan gua ditolak atau dijauhin mentah-mentah gimana? Ah brengsek tai, gua pusing!”

Dirinya menjadi lemas dan kembali ke atas kasur. Sudah terlalu bamyak pikiran malam ini. “Oke, tenang Nath. Besok lo confess dengan santai aja, nggak usah mikir yang negatif.” Akhirnya, sesi berpikir berlebihan selesai.

Tanpa lama lagi, Nathan mematikan lampu mejanya dan memejamkan matanya supaya dapat pergi ke alam mimpi. Semoga saja besok rencananya berjalan dengan lancar.


Hari sudah terang, matahari menyinari seluruh daerah. Begitu Nathan bangun, Ia langsung bersiap-siap untuk sekolah dan tentu membuat dirinya se-tampan dan se-rapi mungkin. Hanya untuk hari ini, hari yang spesial baginya.

Baru saja Nathan sampai di kelasnya, Ia sudah merasa tidak sabar untuk menemui Juno nanti—saat selesai sekolah.

“Coba aja... kalau gua bisa mempercepat waktu,” batinnya. Benar-benar sudah tidak sabar. Jantungnya berdetak dengan amat kencang, membuatnya bercampur rasa gugup dan antusias di waktu yang bersamaan.

Sayangnya, Ia harus melewati kegiatan pembelajaran hari ini dahulu. Dua kata, malas dan membosankan. “Huh...” Nathan menghembus nafas pasrah sebelum menaruh kepalanya di atas meja.

Ada-ada saja murid satu ini.


Ding... dong...!

Bel sekolah akhirnya berbunyi. Menandakan bahwa jam sekolah untuk hari ini telat usai. Semua murid pun membereskan meja mereka dan pulang ke rumah masing-masing.

Kecuali Nathan. Ia membereskan mejanya, tetapi tidak langsung pulang. Melainkan ke Taman Roseville; taman yang berada di dekat sekolah.

“Ah elah, sialan! Malah hujan lagi,” umpatnya, sembari menggunakan tasnya supaya kepalanya tidak terkena air hujan. Ia langsung berlari ke taman itu dan mencari pohon beringin untuk berteduh di bawahnya.

Beberapa menit Nathan menunggu di bawah pohon beringin tersebut. Rasa putus asa mulai perlahan menyelimutinya. “Dia lupa kali ya? Atau memang nggak mau ketemu gua?” Pertanyaan-pertanyaan itu mulai muncul di kepala Nathan.

“Kata siapa gua lupa?”

Secara tiba-tiba, sebuah suara yang tidak asing terdengar di kuping Nathan. “Kata siapa gua nggak mau ketemu sama lo, Nath?” Awalnya, Nathan merasakan rasa putus asa. Ternyata... semesta sedang berpihak kepadanya.

Juno datang. Juno ingin menemui Nathan.

“Udah dari kapan lo di sini?” tanya Nathan. “Dari tadi. Well, gua selalu tiba lima menit lebih awal. Sorry for not telling you at first,” jawab Juno. “It's alright.

Beberapa detik ini dipenuhi dengan kesunyian. Sedikit canggung karena mereka jarang sekali berkomunikasi satu dengan yang lainnya.

“Jadi... lo kenapa ngajak gua ketemuan?”

“Oh, iya. Itu... erm... a-anu...”

“Apa Nath?”

Tuh kan. Gugup lagi. Sial.

“Lo masih butuh waktu ya? Kalau gitu gua duluan aja.”

“M-maksud lo?”

“Gua mau ngomong sesuatu juga ke lo. Jadi... udah sekitar 3 tahun semenjak gua suka lo, Nathan. Gua selalu coba buat ramah ke lo, ngobrol sama lo. Tapi, lo selalu ngehindar dari gua, Nath. Dan gua kadang suka mikir, apa lo il-feel sama gua? Atau risih sama kelakuan gua? Tapi semua pikiran itu selalu gua coba singkirin. Intinya, sampe sekarang pun gua masih suka lo. Gua seneng banget saat lo kemarin nyamperin gua duluan, bahkan ngajakin gua ketemuan. Gua nggak berharap lo balas perasaan gua, tapi—”

“Gua juga sama lo. Gua suka banget sama lo, Juno. Udah dari lama, entah berapa tahun gua suka lo secara diem-diem.”

Keduanya tersenyum malu dan merasakan kebahagiaan pada hari ini. Ternyata, selama ini usaha mereka tidak sia-sia.

Tangan kanan Juno mengusap-usap pipi Nathan, dan wajahnya juga Ia dekatkan secara perlahan. “May I?” tanya Juno. Nathan mengangguk dan tersenyum kecil.

Mereka pun berciuman, di bawah langit yang menurunkan air hujan. Kedua lelaki itu saling berbagi rasa cinta dan kebahagiaan di saat yang sama. Juno pun melepaskan tautan mereka dan tersenyum lembut.

So, Nathan... will you be mine?

You don't need to ask that anymore, hahaha.

Hari itu adalah hari yang paling bahagia untuk Nathan dan Juno. Siapa sangka mereka ternyata saling mempunyai rasa suka? Ralat, rasa cinta.

Juno mengusap-usap surai Nathan dengan lembut sembari menatapnya dengan penuh perhatian. Dunianya sudah beralih kepada Nathan. Sang pemilik hatinya, sekarang.

“Gemesnya,”

“Tau kok.”

“Kalau aku?”

“Aneh.”

“Untung aja aku sayang kamu,”

“Bercanda, kamu keren kok! Selalu keren di mata aku.”

Sometimes, life can be unpredictable. Many things happen, may or may not meet our expectations. Just like love; you don't know when will they love you just the way you love them.

written by kalacaffe.

casts: jeno as juno and jaemin as nathan. genre: teen-romance, fluff.

CW // slight kissing. harsh words.

Hari Senin. Hari yang paling tidak disukai oleh murid-murid karena malas kembali ke sekolah untuk belajar. Tidak sama halnya dengan Nathan. Ia bersemangat sekali pergi ke sekolah—eits, tapi bukan karena semangat untuk belajar, melainkan semangat untuk melihat crush-nya.

Juno Mahardika.

Nama yang selalu ada di pikiran Nathan. Menurutnya, lelaki itu begitu menarik perhatiannya. Ia bukan seorang berandalan-macam-geng-motor, tetapi lebih ke... ramah? Friendly, ke semua orang. Bahkan guru-guru menyukainya karena nilainya yang lumayan tinggi serta keterampilannya dalam memainkan alat musik gitar.

Ingin sekali dirinya dinyanyikan oleh Juno. Bayangkan saja, suaranya yang rendah dan lembut itu hanya di dengar olehnya, sembari memainkan lagu yang Ia suka, lalu diajak berkenc—oke, mari kita hentikan sampai situ. Intinya, Nathan sangat ingin dekat dengan Juno.

Masalahnya, untuk menghampiri Juno duluan saja butuh keberanian yang begitu besar. Apalagi menyatakan perasaannya? Aduh... tidak, pasti akan kacau nanti. Tetapi hari ini seperti ada sebuah keajaiban terjadi pada Nathan. Ia mendapatkan keberanian untuk mengajak Juno bertemu, hanya empat mata.

“Nggak ada salahnya untuk sesekali berani, 'kan?” omongnya sendiri sembari melihat cermin yang berada di toilet. “Lo harus bisa Nath, lo lakik bro! Harus berani duluan!” finalnya, sebelum pergi keluar dari toilet. Agaknya Nathan masih terlihat sedikit tertekan.

Dengan langkah beraninya, Ia sudah sedikit lagi sampai di mana Juno berada. Kini, manusia yang disukainya sudah berada di depan mata. Kebetulan lelaki itu sedang sendiri sembari membaca sebuah buku novel. Nathan menghembuskan nafas sebelum melangkah lagi. “Okay, here goes nothing.

Tap... Tap... Tap...

Tiga langkah terakhir membuat dirinya berada tepat di belakang Juno yang sedang duduk. “Erm... J-Juno..?” panggilnya dengan pelan-pelan. Yang dipanggil pun menoleh ke belakang, hingga kedua netranya melihat wajah Nathan. “Iya? Eh, lo Nathan 'kan?” respon Juno. Nathan hanya bisa mengangguk sambil memasang senyuman manisnya.

“Ada apa Nath?” tanya Juno. Demi Tuhan! Mengapa Juno tampak menjadi lebih tampan jika dilihat dari dekat? Ia tidak boleh pingsan sekarang. Ayo kuatkan dirimu, Nathan. “G-gua... uhh...” ucap Nathan dengan terbata-bata. Ia merasa sangat gugup sekarang. Sekujur tubuhnya menjadi dingin sekali. “Hahaha, nafas dulu coba. Pelan-pelan aja, nggak usah buru-buru ngomongnya. Gua tungguin kok,” ucap Juno.

Karena ucapan Juno, bisa-bisa Nathan menjadi semakin jatuh hati dengannya. “Gua... mau ngajak lo ketemuan besok, bisa?” ucap Nathan. “Bisa. Mau ketemuan di mana, Nath?” tanya Juno. “Di kafe...? Eh bukan, di taman aja mau nggak...? Taman Roseville.” Lagi-lagi Nathan merasa gugup.

Tak lama kemudian, Juno memberi senyuman yang membuat kedua matanya sampai tidak terlihat. “Boleh! Habis pulang sekolah bisa? Gua ada sedikit urusan soalnya,” balas Juno. “I-iya, gapapa kok hehehe,” ucap Nathan.

By the way, gua pergi dulu ya?”

“Iya. Omong-omong, maaf kalau gua ganggu waktu lo...”

“Nggak kok, santai aja. See you tomorrow!”

See you!

Saat berniat untuk berpisah, tapi tiba-tiba Juno menghentikan langkahnya dan memanggil Nathan. “Hey Nath!” panggilnya.

“Ada apa?”

“Lo gemes!” Setelah mengatakan itu, Juno langsung berlari meninggalkannya karena malu.

Dan sekarang... Nathan merasa seperti Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya, karena pujian yang dirinya dapatkan secara tiba-tiba dari gebetan-nya sendiri, Juno. Sensasi panas pun Nathan rasakan di area telinganya.

Great job, Nath. Akhirnya step one selesai. Tinggal besok lo harus lebih berani.


Menjelang malam, Nathan sedang berada di dalam kamarnya sembari rebahan di atas kasurnya. Biasalah, tipikal anak remaja kini. Ia memainkan ponselnya, membuka suatu aplikasi hingga menemukan postingan Juno—yang fotonya menunjukkan Juno sedang bermain gitar dan temannya—duduk di sebelahnya.

“Kaya kenal dah... Harsa bukan sih? Dari kelas IPS sebelah itu? Iya kali ya?” Ia berbicara dengan dirinya sendiri, lagi. Entahlah... sudah seperti kebiasaan bagi Nathan.

“EH ANJIR!”

Nathan terkejut dan panik. Ia tidak sengaja menekan tombol suka pada postingan Juno. Dengan secepat cahaya kilat, Nathan langsung meng-unlike postingan gebetan-nya. Siapa juga yang tidak panik jika mengalami hal yang sama seperti itu?

“Buset dah, nyawa gua hampir melayang bangsat,” umpatnya lagi. Ia langsung mematikan layar ponselnya dan beranjak dari kasurnya. Di hadapan cermin, Ia berbicara pada dirinya lagi.

“Gua harusnya nggak se-takut dan se-gugup ini, tapi kenapa iya? Kenapa anjir?!? Kalau besok gua jadinya nggak berani confess gimana?”

“Terus kalau gua udah confess dan gua ditolak atau dijauhin mentah-mentah gimana? Ah brengsek tai, gua pusing!”

Dirinya menjadi lemas dan kembali ke atas kasur. Sudah terlalu bamyak pikiran malam ini. “Oke, tenang Nath. Besok lo confess dengan santai aja, nggak usah mikir yang negatif.” Akhirnya, sesi berpikir berlebihan selesai.

Tanpa lama lagi, Nathan mematikan lampu mejanya dan memejamkan matanya supaya dapat pergi ke alam mimpi. Semoga saja besok rencananya berjalan dengan lancar.


Hari sudah terang, matahari menyinari seluruh daerah. Begitu Nathan bangun, Ia langsung bersiap-siap untuk sekolah dan tentu membuat dirinya se-tampan dan se-rapi mungkin. Hanya untuk hari ini, hari yang spesial baginya.

Baru saja Nathan sampai di kelasnya, Ia sudah merasa tidak sabar untuk menemui Juno nanti—saat selesai sekolah.

“Coba aja... kalau gua bisa mempercepat waktu,” batinnya. Benar-benar sudah tidak sabar. Jantungnya berdetak dengan amat kencang, membuatnya bercampur rasa gugup dan antusias di waktu yang bersamaan.

Sayangnya, Ia harus melewati kegiatan pembelajaran hari ini dahulu. Dua kata, malas dan membosankan. “Huh...” Nathan menghembus nafas pasrah sebelum menaruh kepalanya di atas meja.

Ada-ada saja murid satu ini.


Ding... dong...!

Bel sekolah akhirnya berbunyi. Menandakan bahwa jam sekolah untuk hari ini telat usai. Semua murid pun membereskan meja mereka dan pulang ke rumah masing-masing.

Kecuali Nathan. Ia membereskan mejanya, tetapi tidak langsung pulang. Melainkan ke Taman Roseville; taman yang berada di dekat sekolah.

“Ah elah, sialan! Malah hujan lagi,” umpatnya, sembari menggunakan tasnya supaya kepalanya tidak terkena air hujan. Ia langsung berlari ke taman itu dan mencari pohon beringin untuk berteduh di bawahnya.

Beberapa menit Nathan menunggu di bawah pohon beringin tersebut. Rasa putus asa mulai perlahan menyelimutinya. “Dia lupa kali ya? Atau memang nggak mau ketemu gua?” Pertanyaan-pertanyaan itu mulai muncul di kepala Nathan.

“Kata siapa gua lupa?”

Secara tiba-tiba, sebuah suara yang tidak asing terdengar di kuping Nathan. “Kata siapa gua nggak mau ketemu sama lo, Nath?” Awalnya, Nathan merasakan rasa putus asa. Ternyata... semesta sedang berpihak kepadanya.

Juno datang. Juno ingin menemui Nathan.

“Udah dari kapan lo di sini?” tanya Nathan. “Dari tadi.. gua kan selalu tiba lima menit lebih awal. Sorry for not telling you at first,” jawab Juno. “It's alright.

Beberapa detik ini dipenuhi dengan kesunyian. Sedikit canggung karena mereka jarang sekali berkomunikasi satu dengan yang lainnya.

“Jadi... lo kenapa ngajak gua ketemuan?”

“Oh, iya. Itu... erm... anu...”

“Apa Nath?”

Tuh kan. Gugup lagi. Sial.

“Lo masih butuh waktu ya? Kalau gitu gua duluan aja.”

“M-maksud lo?”

“Gua mau ngomong sesuatu juga ke lo. Jadi... udah sekitar 3 tahun semenjak gua suka lo, Nathan. Gua selalu coba buat ramah ke lo, ngobrol sama lo. Tapi, lo selalu ngehindar dari gua, Nath. Dan gua kadang suka mikir, apa lo il-feel sama gua? Atau risih sama kelakuan gua? Tapi semua pikiran itu selalu gua coba singkirin. Intinya, sampe sekarang pun gua masih suka lo. Gua seneng banget saat lo kemarin nyamperin gua duluan, bahkan ngajakin gua ketemuan. Gua nggak berharap lo balas perasaan gua, tapi—”

“Gua juga sama lo. Gua suka banget sama lo, Juno. Udah dari lama, entah berapa tahun gua suka lo secara diem-diem.”

Keduanya tersenyum malu dan merasakan kebahagiaan pada hari ini. Ternyata, selama ini usaha mereka tidak sia-sia.

Tangan kanan Juno mengusap-usap pipi Nathan, dan wajahnya juga Ia dekatkan secara perlahan. “May I?” tanya Juno. Nathan mengangguk dan tersenyum kecil.

Mereka pun berciuman, di bawah langit yang menurunkan air hujan. Kedua lelaki itu saling berbagi rasa cinta dan kebahagiaan di saat yang sama. Juno pun melepaskan tautan mereka dan tersenyum lembut.

So, Nathan... will you be mine?

You don't need to ask that anymore, hahaha.

Hari itu adalah hari yang paling bahagia untuk Nathan dan Juno. Siapa sangka mereka ternyata saling mempunyai rasa suka? Ralat, rasa cinta.

Juno mengusap-usap surai Nathan dengan lembut sembari menatapnya dengan penuh perhatian. Dunianya sudah beralih kepada Nathan. Sang pemilik hatinya, sekarang.

“Gemesnya,”

“Tau kok.”

“Kalau aku?”

“Aneh.”

“Untung aja aku sayang kamu,”

“Bercanda, kamu keren kok! Selalu keren di mata aku.”

Sometimes, life can be unpredictable. Many things happen, may or may not meet our expectations. Just like love; you don't know when will they love you just the way you love them.

written by kalacaffe.