kalacaffe

jiandra & kale: one-shot au. | pair: jichen. part of 'love formula' universe.

CW // slight kissing, harsh words.

Hari ini terasa bosan sekali bagi Ale. Ia masih berada di dalam rumahnya; rebahan di atas kasur sembari bermain ponselnya. Lalu, tiba-tiba Ia merasa ada yang gatal pada hidungnya. “Achoo!” Kale bersin. Dirinya langsung beranjak dari kasur dan mengambil sebuah tisu. “Should I call Jian? Yeah, maybe I should,” pikirnya sendiri. Aneh, bertanya sendiri dan menjawab sendiri.

Drrt! Drrt!

What's up babe?

“Aku cuman bosen aja,”

Hmm... mau pergi nggak?

“Tapi ke mana?”

Jalan-jalan aja, nggak ada tujuan. Mau?

“Oke, boleh! Achoo!—maaf,”

Hey, kamu kenapa? Are you okay? Mau pergi besok aja?

“Aku gapapa, nggak usah khawatir. Dah ya, aku mau siap-siap dulu,”

Alright, tapi nanti kalau kamu tiba-tiba di jalan masih sakit gitu, aku langsung anter kamu pulang lagi ya?

“Ya.”

Ale langsung mematikan sambungan telepon tersebut tanpa berpikir lebih panjang. Kemudian, Ia memakai hoodie dari kekasihnya serta celana panjang. Lalu Ia keluar dari kamarnya, turun tangga dan berjalan hingga keluar rumah. Ale menunggu Jian di depan rumahnya seraya bermain ponselnya.

Tak lama kemudian, kekasihnya sudah sampai untuk menjemputnya dengan sebuah mobil sebagai tumpangan. Ale langsung masuk ke mobil tersebut dengan senyuman kecil; yang selalu tampak di wajahnya ketika melihat Jian. “Pakai sabuk pengaman dulu dong,” ucap Jian. “Iya-iya,” balas Ale, memakai sabuk pengamannya.

Setelah semuanya sudah siap, Jian langsung tancap gas dan mengendara sekitar kota. Tiba-tiba, Jian mengulurkan tangan kirinya kepada Ale. “Kenapa?” tanya Ale. “Gandengan.” Jawaban Jian membuat jantung Ale berdegup kencang.

Ale pun menerima tangannya, lalu menggenggamnya walaupun masih sedikit terasa malu-malu. “Mau nyalain lagu?” tanya Jian. Sebagai jawaban, Ale mengangguk.

Akhirnya, Jian memutar lagu “Youth” oleh Troye Sivan.

Selama perjalanan itu, tak ada yang membuka suara—hanya lagu dari speaker yang terdengar. Keduanya menikmati malam ini, hanya dengan keberadaan masing-masing.

“Achoo!” Ale bersin, lagi. Kekasihnya langsung menoleh dan memberikan tatapan khawatir. “Kamu seriusan gapapa? Mau pulang aja?” tanya Jian sembari mengusap-usap tangan Ale. “A-aku nggak mau pulang! Maunya di sini, sama Jian,” jawab Ale, kalimat terakhirnya membuatnya sedikit malu.

Jian hanya bisa menghela nafas pasrah—sebelum kekasihnya bisa meledak-ledak emosinya. Hei, itu jauh lebih menyeramkan.

Satu jam pun berlalu. Karena Jian merasa suasana terlalu sepi dan membosankan, Ia ingin mengajak Ale untuk berbicara. “Sayang, kamu mau beli mak—”

Ah, ternyata Ale sudah tertidur lelap.

Jian terkekeh melihat ke-gemasan manusia tersayangnya yang sedang tidur. Ia juga mengecek suhu tubuh Ale dengan cara menempelkan tangan kirinya pada kening Ale. “Kan? panas. Udah dibilangin kalau sakit mending besok aja perginya... keras kepala banget sih kamuuu,” omel Jian dengan suara kecil.

Ia langsung memutar balik rute mobilnya ke arah rumah Ale. Di perjalanan, tangan kiri Jian sibuk mengusap-usap tangan—lalu kepala Ale. Ia tidak ingin Ale merasa tidak nyaman.

Sesampainya di rumah kekasihnya, Jian langsung keluar dari mobilnya untuk menggendong manusia gemas itu dengan kedua tangan kekarnya. Ya, tentu menggendongnya ala bridal style.

Untungnya, yang ada di rumah Ale hanya seorang pembantu—tidak ada kedua orangtua Ale, dikarenakan sibuk kerja. Ia langsung menaiki tangga dan memasuki kamar luas milik kekasihnya; lalu menaruhnya di atas kasur.

Sang pembantu yang sudah tahu kalau Ale sedang sakit, Ia mengantarkan obat ke kamar Ale. “Ini obatnya yaa, nak,” ucap si Mbak. “Iya Mbak, makasih,” balas Jian dengan senyuman. Wanita pembantu itu keluar dari kamar Ale, memberi waktu bagi pasangan tersebut.

“Jian... kepalaku,” rintih Ale. “Kenapa sayang?” tanya Jian dengan penuh khawatir. Ia melihat Ale yang berusaha untuk duduk, dan karena itu Ia membantunya. “Pusing... kepalaku sakit Jian.”

Jian langsung memberi obat tablet tersebut kepada Ale dan menyuruhnya untuk minum. “Kamu ya? Udah dibilangin tadi, tetep aja ngeyel banget... lain kali jangan dipaksa gini lagi kalau udah ngerasa sakit, oke?” ucap Jian. Yang kecil hanya mengangguk nurut.

“Tapi Jian...”

“Apa?”

“Aku punya cara supaya aku bisa lebih cepet sembuh,”

And, what is it?

“Cium aku, di sini.”

Setelah mengatakan kalimat itu, Ale menunjuk bibirnya sembari tersenyum polos. Sedikit terlihat seperti orang mabuk. Pipinya yang merah merona, kupingnya pun juga. “Ngawur banget kamu,” balas Jian. “Ih! Nggak seru!” gerutu Ale sembari memajukan bibirnya. Ia juga membuang mukanya—tentu saja Ia sedang merajuk.

Lelaki yang lebih tinggi melihat kelakuan Ale, membuatnya ingin menyubitnya dengan gemas. “Ngambek nih ceritanya?” goda Jian. Tak ada jawaban, jadi Ia mendekatkan diri kepada Ale.

Sebelum melanjutkan langkah berikutnya, Jian tertawa sedikit. Mengapa Ia bisa mendapatkan lelaki yang se-gemas ini? Jantungnya bisa tidak kuat menahan semua ini.

Tangannya memegang tangan Ale dengan lembut, “Yaudah, mana sini lihat aku dulu,” ucap Jian. Sayangnya, Ale tetap menahan gengsi. “Babe, let me see your beautiful face. Okay?

Kali ini, Ale menurut. Jian menatap kedua matanya sembari tersenyum kecil. “Seriusan mau aku cium?” tanya Jian, memastikan lagi. Ale hanya mengangguk. “Oke kalau gitu.”

Ia memajukan wajahnya perlahan, lalu...

Cup!

Satu kecupan manis mendarat di bibir lembut Ale. “Kurangggg!” rengeknya. Biasalah, kalau Ale sedang sakit, Ia bisa berubah 180°, yaitu menjadi seseorang yang gemas dan manja. “Mau berapa kali lagi, hm?” goda Jian. “Empat lagi, biar pas! Boleh ya?”

Jian mengangguk dan terkekeh.

Cup! Cup! Cup! Cup!

Empat kecupan manis lagi mendarat di bibir Ale. Itu membuatnya sangat senang hingga tersenyum lebar. “Makasih, hehehe~” ucap Ale. “Sama-sama, cantik.”

“Aku ganteng!”

“Iyaa, sama cantik juga. Semuanya aja diborong kamu, Le,”

“Terserah,”

“Udah, jangan ngambek gitu lagi. Sekarang mau gimana? Should we cuddle?

“Mhm! Mauuuu!”

Dan akhirnya, Jian menemani kekasihnya hingga tertidur lelap. Melihat Ale yang sudah tidur, Ia mengecup keningnya sekali dan tersenyum lembut. “Bikin khawatir aja kamu tadi,” gumam Jian. Ia mengusap-usap rambut Ale dengan perlahan, membuat si Kecilnya itu nyaman saat tidur.

All I care is you, Ale. Gua sayang banget sama lo, dan gua bakal selalu ngejaga lo.

written by kalacaffe.

just a regular (clingy) day with jeano and rain. CW // kissing.

“Sayang.. good morning,” ucap Jeano dengan suara seraknya. Ia masih melingkari tangannya pada pinggang mungil milik Rain. Dari malam kemarin hingga pagi hari ini, Jeano menginap sementara di rumah kekasihnya. Alasannya? Tentu, karena Ia rindu.

Kekasih kecilnya masih tertidur lelap, membuat Jeano merasa gemas dengannya. Ia pun mengecup puncuk kepala Rain; yang justru membuat Rain bangun dari tidurnya. “Sekarang masih jam berapa...?” tanya Rain, sembari mengusap-usap matanya. “Masih jam delapan pagi kok,” jawab Jeano dengan senyumannya.

Tangannya menyisir rambut kekasihnya dengan perlahan, “Masih ngantuk hm?” tanya Jeano. Yang lebih kecil mengangguk sebagai jawaban. Mereka berdiam sesaat seraya mengumpulkan nyawa untuk sadar kembali dari dunia mimpi.

Kruk... kruk.. kruk...

Suara perut Jeano terdengar jelas karena suasananya yang sedang sunyi. Rain yang mendengarkan tertawa kecil dan mengusap-usap perut Jeano. “Kamu laper?” tanya Rain, masih tertawa sedikit. “Hehe, iya,” jawabnya sembari menyengir. “Mau makan apa?” tanya Rain lagi.

Jeano terdiam sesaat untuk berpikir. “Hmm... sandwich aja?” Ia menatap kekasihnya dengan mata berbinar. “Yaudah, boleh. Kamu lepas dulu pelukannya, aku mau bangun,” ucap Rain. Tetapi, bukannya Jeano melepaskan pelukannya terhadap pinggang kekasihnya, Ia justru mengeratkannya.

“Nanti aja, masih mau pelukan,” ucap Jeano, lalu Ia menyembunyikan kepalanya pada leher sang kekasih kecil. “Hadeh... terus kamu mau makan apa nanti? Udah bunyi gitu pula perutnya,” balas Rain. Ya... ini adalah hari-hari di mana Jeano sedang manja.

Salah satu kebiasaan yang Jeano miliki adalah menghirup aroma wanginya leher Rain. Katanya, wanginya seperti bayi yang baru saja mandi. Sedikit aneh, memang. “Lepas dulu ih! Aku mau bikinin kamu makanan,” ujar Rain, Ia berusaha mendorong kekasihnya supaya dirinya bisa bebas.

“Tapi ada syaratnya.” Tiba-tiba ada suatu ide muncul di benak Jeano. Biasalah, Ia suka menggoda kekasihnya ini sampai puas.

“Cepet, apa?”

“Cium dulu di sini,” ucap Jeano sembari menunjuk bibirnya.

Rain memutar bola matanya dengan malas dan menghembuskan nafas. Ia menangkup pipi kekasihnya, lalu mendekatkan wajahnya secara perlahan-lahan karena dirinya tidak suka buru-buru.

Cup!

Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir kering Jeano. Setelah selesai memenuhi 'syarat' Jeano, Ia langsung beranjak dari kasurnya. Meninggalkan Jeano yang masih tersenyum penuh kemenangan setelah mendapatkan apa yang Ia mau.


Kini, Rain sedang menggunakan celemeknya sambil berdiri di depan meja. Ia mengeluarkan ponselnya dan mencari tahu bahan-bahan yang harus digunakan untuk membuat sandwich. Setelah mendapat resep yang tepat, Ia langsung bergerak kesana-kemari; dari lemari atas dan bawah hingga kulkas.

Beberapa menit pun berlalu, semua bahan yang akan Ia pakai sudah berada di atas meja. Sebelum tangannya mulai bergerak mengambil roti gandum, sebuah ide muncul di pikirannya; bak bohlam yang seketika bernyala.

Kedua kakinya bergerak lagi ke arah kulkas, lalu mengambil satu butir telur. Ia berjalan ke area kompor; mengambil sebuah teflon dan spatula stainless steel sebagai alat untuk menggoreng. Tangan kanannya memecahkan kerak telur dan menggorengnya pada atas teflon. Ia menunggunya sementara hingga setengah matang.

Di sela-sela kegiatan masaknya, tiba-tiba ada seseorang yang memeluk dirinya dari belakang. “What are you making?” suara berat yang khas itu terdengar jelas di telinga Rain. “Telur setengah matang, you like that right?

“Iya dong, kan kamu paling tau sesukaan aku,” balas Jeano. Kekasihnya yang tinggi itu menaruh kepalanya di pundak Rain; sembari melihatnya memasak. “Diem dong, geli tau!” seru Rain. Jeano sengaja meniupi bagian leher Rain karena ada niat menggodanya. “Hehehe, iya maaf sayang.”

Telur yang sedang digoreng sedari tadi pun sudah jadi. Rain langsung mengangkatnya dan menaruhnya di atas piring. Ia berjalan kembali ke arah meja tadi, dengan Jeano yang masih menempel dengan dirinya.

“Kamu harum banget,”

“Memang,”

“Makannya aku suka nempel ke kamu.”

“Terserah deh.”

Mendengar kekehan Jeano, Rain tidak mengubrisnya dan tetap fokus membuat sandwich untuknya. Kedua tangannya kembali bergerak; mengambil dua roti gandum serta bahan-bahan yang akan dimasuki ke dalamnya. Jeano melihatnya sembari tersenyum lembut.

Rasanya sangat nyaman dan hangat di pagi hari ini. “Nih, udah jadi. Cuci tangan dulu baru makan,” ucap Rain. “Siap!” balas Jeano.

Setelah Jeano mencuci tangannya, Ia langsung duduk dan memakan sandwich buatan kekasihnya yang indah itu. “Thank you babe!” ucap Jeano sebelum melahap makanannya. “You're welcome, dihabisin yaa~” balas Rain dengan senyuman manisnya.

Rain hanya duduk di sebelahnya sambil memandang Jeano yang sedang memakan sandwich bikinannya.


Kegiatan memasak dan makan tadi akhirnya telah usai. Jeano mengajak Rain untuk kembali ke dalam kamar lagi—yang sepertinya Ia masih dalam mode manja.

Rain berbaring terlebih dahulu, baru Jeano ikut berbaring di sebelahnya. Kedua lengannya langsung memeluk pinggang mungil itu lagi. Kepalanya juga Ia sembunyikan di bagian leher Rain.

“Masih kangen?”

“Masih.”

“Coba lihat aku, Je.”

Jeano langsung menatap kekasihnya. Ibu jari Rain mengusap-usap pipi Jeano dengan lembut. “Gantengnya,” puji Rain. “Of course! Kan pacar kamu,” ucap Jeano, lalu diikuti tawaan ringan.

Tanpa lama kemudian, bibir Rain menempel pada bibir milik Jeano. Keduanya saling berciuman dengan pelan dan lembut. Pada akhirnya, Jeano tetap berhasil mendominasi ciuman tersebut.

Hingga tepat di mana Rain memukul dada Jeano karena kehabisan nafas. “Gemes banget pacar aku,” puji Jeano seraya mengusap surai Rain. “Jadi bikin aku tambah sayang sama kamu.”

Kedua pipi sang kekasih langsung memerah seperti tomat. Sesering apapun Jeano memuji Rain, Ia tetap berhasil membuatnya malu dan tersipu.

“Kapan kamu mau mandi?”

“Nanti aja, males tau...”

“Jeje bau ih!”

written by kalacaffe.

casts: mark as melvin & haechan as hazen. genre: fluff, teen-romance.

CW // kissing.

“Kak Mel! Kita jadi nge-date kan?”

Jadi, sayang. Bentar ya, Kakak bentar lagi sampai di depan rumah kamu kok.

“Oke, hati-hati yaa!”

Of course, my cute bear.

Sambungan telepon tersebut pun mati. Hari ini, tepat pada awal bulan Desember, kedua sejoli ini akhirnya mendapatkan kesempatan untuk pergi kencan. Kebetulan, kencan ini adalah kencan pertama mereka. Baru sekitar setahun sejak mereka menjadi pasangan. Keduanya sangat sibuk karena sekolah dan OSIS, maka... tak ada satupun dari mereka yang memiliki waktu untuk berkencan.

Untungnya, hari ini adalah hari libur, jadi mereka gunakan kesempatan emas ini untuk pergi kencan.

Hazen menunggu di depan teras rumahnya sembari memainkan ponselnya. Kedua Ibu jarinya sibuk mengutak-utik isi ponselnya. Entah Ia sedang bermain media sosial atau bermain game. Tak lama kemudian, ada sebuah mobil HR-V yang berwarna hitam; berada di depan rumahnya.

Seorang lelaki keluar dari mobil itu, memberikan senyumannya yang membuat dirinya terlihat lebih tampan. Hazen yang melihat laki-laki itu, Ia langsung berlari ke-arahnya dengan girang. “Kak Mel!” seru Hazen.

BRUKK!

Dengan sengaja, Hazen menubrukan tubuhnya pada pelukan Melvin. “Woah.. hati-hati dong, nggak sakit?” tanya Melvin, Ia menundukkan wajahnya sedikit. Hazen hanya menggeleng dan tersenyum polos. “Nggak sakit kok! Umm... Hazen kangen Kak Mel tauuuu~” rengeknya. Hazen memajukan bibirnya sedikit, membuatnya tampak seperti anak kecil.

Saat ini Melvin mencoba menguatkan dirinya untuk tidak mencubit kedua pipi kekasihnya itu. Menggemaskan sekali. “Hazen,”

“Apa, huh?”

“Kakak boleh cium kamu nggak? Bentarrr aja,”

Begitu Melvin mengucapkan kalimat itu, timbul rasa kupu-kupu di dalam perut Hazen. Bahkan kedua pipinya memerah seperti kepiting rebus. “B-boleh kak,” ucap Hazen. Selalu seperti itu. Melvin tak pernah sekali pun tidak ijin kepada Hazen untuk melakukan sesuatu terhadapnya. Ia sangat menyayangi kekasihnya.

Cup!

Melvin mengecup bibir ceri milik Hazen sekilas. Singkat dan manis. “Thank you, Dek.” Tangan kanan Melvin mengusap-usap surai Hazen dengan lembut. “Jadi pergi nggak, Kak?” tanya Hazen. “Jadi. Kamu mau ke mana dulu nih?”

Hazen terdiam sementara. Ia berpikir dengan keras; menampakkan wajahnya yang terlihat serius. Sungguh membuat Melvin ingin mengecup bibir kekasihnya itu secara berkali-kali. “Hmm... nonton di bioskop aja deh, terus nanti sekalian dinner berdua. Mau nggak, Kak?” tawar Hazen. Bagaimana Melvin bisa menolak kekasihnya? Kedua mata Hazen saja sudah terlihat berbinar-binar.

“Mau-mau aja, asal sama Hazen.”

“Jelek ah!”

“Hahaha iya-iya, gemes. Ayo berangkat.”

Kedua lelaki itu pun memasuki mobil dan pergi ke Mal terdekat, tentu yang ada bioskopnya. Sesampainya di tujuan, Melvin langsung menggenggam tangan Hazen sembari berjalan ke arah bioskop. Sudah seperti sedang menjaga anak kecil saja.

Tibalah di kounter, Melvin menanyakan kekasihnya terlebih dahulu. “Mau nonton yang mana?” tanya Melvin. “Yang horror, boleh yaa?”

“Nanti takut, terus nangis. Lain aja, tuh ada Cinderella,” ucap Melvin. “Yaudah, terserah Kakak,” balas Hazen, Ia merajuk. Melvin tertawa kecil melihat kekasihnya yang sedang merajuk seperti anak kecil. Ia tetap membelikan karcis untuk film Cinderella. Karena, Ia tahu Hazen adalah seorang penakut, tetapi berlagak seperti pemberani yang gagah.

Setelah membeli dua tiket tempat duduk untuk mereka berdua, kedua bola mata Hazen tertuju pada makanan. “Kak Mel... Hazen mau popcorn,” ucap Hazen. Tangannya memeluk tangan kekasihnya, meminta supaya permintaannya kali ini dikabulkan. “Boleh, mau yang rasa apa?” tanya Melvin. “Karamel aja, Hazen sukanya yang manis-manis,” jawab Hazen.

Akhirnya, Melvin membelikan cup berisikan popcorn yang berkuran sedang. Hazen langsung memakannya. “Suka?” tanya Melvin, sembari mengelus-elus rambut bagian belakang Hazen. Sebuah anggukan diterima oleh Melvin. “Jangan lupa banyak minum ya? Jangan sampai Hazen batuk-batuk nanti,”

“Iyaaa, Kak Mellll~”


Sudah sekitar 20 menit Melvin dan Hazen menunggu sampai pintu studio satu dibuka. Rasanya lama sekali. Membosankan. “Kak Mel,” panggilnya. “Hm? Kenapa sayang?” tanya Melvin, mengalihkan perhatiannya kepada kekasihnya. “Hazen bosen tau, lama banget ih,” rengek Hazen. “Bentar lagi dibuka kok, sabar yaa?”

Yah... Hazen hanya bisa menunggu dengan sabar. Keduanya kembali sibuk memainkan benda pipih itu, membuka dan menutup berbagai macam aplikasi untuk mengisi waktu.

Ding.. Dong..! Mohon perhatian Anda, pintu teater satu telah dibuka.. Bagi Anda yang telah memiliki karcis dipersilahkan untuk memasuki ruangan teater satu.

Pengumuman yang ditunggu-tunggu telah terdengar. Hazen langsung berdiri dan menggenggam lengan kekasihnya untuk memasuki ruangan teater satu. Melvin yang melihat kekasihnya sedang dalam mode antusias dan tidak sabar, membuat dirinya ingin melahap Hazen; karena terlalu menggemaskan.

Mereka menaiki tangga, hingga tiba di kursi sesuai tulisan yang ada di karcis. Melvin menatap kekasihnya dan tersenyum. Ia ikut bahagia saat melihat pujaan hatinya bahagia. Mau dalam situasi apapun; baik atau buruk, Melvin selalu ada untuk Hazen. Sebaliknya pun juga.

Maka dari itu, tidak sia-sia perjuangan Melvin untuk mendapatkan hati Hazen. Ia justru sangat bersyukur.

“Kak, liat! Film-nya udah mau mulai!” seru Hazen. “Iya, sayang. Kakak liat kok,” balas Melvin. “Bohong banget, dari tadi Kak Mel ngeliatin Hazen terus,” ucap Hazen. “Soalnya kamu lebih menarik, Dek.” Hazen mencubit lengan Melvin dengan pelan. “Hehehe maaf, ini sekerang Kakak beneran nonton kok.”

Pada akhirnya, pasangan sejoli itu menikmati film berdurasi dua jam tersebut. Walaupun Hazen sempat menangis ketika ada adegan-adegan yang menurutnya sedih. Membuat Melvin ingin mengecupnya berkali-kali; akibat Hazen terlalu menggemaskan.


Setelah film-nya selesai, Hazen dan Melvin keluar dari teater satu itu. “Gimana? Suka?” tanya Melvin. Hazen mengangguk, “Hazen suka! Tapi Kak Mel...”

“Kenapa?”

“Hazen laper,” ucap Hazen seraya mengusap-usap perutnya.

“Hahaha, gemes. Kamu mau makan apa?”

“Mau sushi...”

“Yaudah, ayo makan sushi.”

Keduanya berjalan, tidak melepas tautan tangan mereka. Hingga sampai di depan tempat makan sushi, mereka duduk secara berhadapan. Hazen langsung menelusuri menu itu dengan mata yang berbinar. Melvin yang melihatnya saja tak kuat menahan rasa gemas.

Mereka memesan, lalu menunggu. Mata Melvin tertuju pada Hazen yang sedang meletakan kepalanya di atas meja. Ia mengusap-usap tangan Hazen dan bertanya, “Kamu kenapa, hm?” Seketika Hazen mengangkat kepalanya lagi. Ia mengusap-usap perutnya sembari memajukan bibirnya. “Hazen laper.... Prajurit-prajurit di perut Hazen pada demo minta dikasih makanan,”

Melvin tertawa mendengar rengekan kekasihnya. Kata-kata yang dikeluarkan mulut Hazen memang sangat random, apalagi saat Ia lapar.

Tak lama kemudian, seorang pelayan menghampiri mereka sembari memberi piring berisi pesanan mereka. Melvin berterima kasih kepada pelayan itu sebelum memakan santapannya. Di sisi lain, Hazen sudah melahap makanannya dengan cepat.

“Pelan-pelan, jangan buru-buru. Nanti sakit perut loh.”

“Iya Kak Mel, hehehe.”

Kedua lelaki itu sibuk makan sampai lupa berbincang. Sampai di mana Melvin melihat sekitar bibir kekasihnya, berlumuran mayones—dan tentunya serta butiran-butiran nasi. Melvin berdiri dan menyondongkan badannya ke arah Hazen. Lalu, Ia mengusap sekitar area bibir kekasihnya sampai bersih. “Makasih Kak Mel!” ucap Hazen. “My pleasure.”

Beberapa menit kemudian, piring mereka pun sudah bersih. Tak ada lagi makanan yang tersisa di atasnya.

“Kenyang?” tanya Melvin. “Hu'um, kenyang. Kita mau langsung pulang aja?” tanya Hazen. “Mau, terus kita cuddle di rumah Kakak ya?” ucap Melvin. Hazen mengangguk setuju dan tersenyum lebar. Sebelum mereka pulang, tentunya Melvin membayar makanan mereka terlebih dahulu.


Di dalam mobil, Melvin terdiam sebentar. Membuat Hazen sedikit bingung. “Kenapa Kak? Is there something wrong?” tanya Hazen, menatap Melvin dengan khawatir. “Gapapa, Kakak cuman seneng aja hari ini. Nggak nyangka first date kita ternyata se-mulus ini,” jawab Melvin, akhirnya Ia tersenyum kembali.

Senyumannya menular kepada Hazen.

“Ih! Dikirain kenapa,” ucap Hazen. Melvin terkekeh dan mengusap-usap rambut kekasihnya dengan lembut sebelum mengendarai mobilnya. Hari ini berjalan sangat lancar. Seperti semesta sedang berpihak kepada mereka. Keduanya pun bahagia.

Sesampainya di rumah tujuan terakhir, keduanya memasuki rumah hangat itu dan menyamankan diri di kamar Melvin. Saling berbagi cerita dan kehangatan.

Babe,

“Kenapa Kak?”

“Mau cium kamu, boleh?”

“Boleh, Kak. Sekarang, kapanpun Kakak boleh cium Hazen. Nggak perlu ijin-ijin lagi sama Hazen.”

“Beneran nih?”

“Iyalah, beneran! Masa bohongan,”

Sebelum kekasihnya melanjutkan omelannya yang mulai panjang, Melvin langsung menempelkan bibirnya pada bibir ceri sang kekasih. Sementara Hazen masih memproses apa yang sedang terjadi padanya. Ia sedikit tersontak. Tetapi, lama-kelamaan Ia mulai terbiasa dan ikut campur dalam ciuman lembut itu.

Keduanya tetap saling bertaut, hingga Hazen memukul dada Melvin karena kehabisan nafas.

Melvin menatap kekasih gemasnya itu, dan tertawa kecil karena melihat bibir yang barusan Ia 'cicipi' membengkak sedikit. Kedua tangannya menangkup pipi gembul Hazen. Ia mengecupnya singkat, tepat di ujung hidungnya. “Gemes,” pujinya.

“Gemes, gemes banget pacar Kakak.”

“Udah ih, malu!”

“Ngapain malu? Pacar Kakak memang gemes, lucu, ganteng, gemes, semuanya aja diembat. Bikin Kakak tambah sayang sama kamu aja.”

“Hazen lebih sayang Kak Mel.”

“Masa? Pendek gitu,”

“Ih, Kak Mel nyebelin!”

Setelah beradu mulut, tak lama kemudian... Hazel mengantuk. Matanya sudah terlihat berat sekali, dan Melvin yang melihatnya langsung menarik selimut hingga ke atas dada. Ia mengecupnya sekali lagi di bagian kening, pipi dan bibir. “Good night, sayangnya Kakak.”

written by kalacaffe.

'lovehate' bonus chapter. haidan & arjuna.

CW // slight kissing, harsh words.

“Woy, Haidan! Juna!” sahut Jiandra dari ujung lorong. Kedua lelaki yang terpanggil itu menoleh ke arah Jiandra. “PEJE MANA PEJE!” sahut Jendra, yang berada di sebelah Jiandra. “Kita tunggu di kantin!” sambung Alen dengan sahutan juga. Haidan dan Arjuna pun hanya menghela nafas karena kelakuan sahabat-sahabatnya itu.

Haidan menoleh, “Temen-temen lo bukan sih?”

“Bukan, kagak kenal gue mah,”

Mereka berdua tertawa kecil, tetapi pada akhirnya juga menuruti permintaan sahabat-sahabat mereka. Haidan berjalan duluan, dengan Arjuna yang mengikuti di belakangnya. Lalu, tiba-tiba Haidan menghentikan langkahnya. Membuat Arjuna bingung. “Kenapa?” tanyanya. Tangan kanan Haidan meraih tangan Arjuna dan menggenggamnya erat.

“Bocil harus di gandeng, biar nggak hilang,” ledek Haidan. “Kentut lo,” celetuk Arjuna. Tapi Ia tak munafik, digenggam oleh kekasihnya itu membuat perutnya diisi oleh kupu-kupu.

Sesampai di kantin, ketiga sahabatnya sudah duduk di sebuah meja bundar. Ketika mereka melihat pasangan baru itu, mereka langsung menghampirinya. “Mau apa lo bertiga? Jangan yang mehong-mehong,” ucap Haidan. “Gua mau cilok dua bungkus,” ucap Jiandra, lalu menyengir.

“Lo?” tunjuk Arjuna kepada Jendra. “Cireng sebungkus,” jawab Jendra. “Gue bolu kukus dua aja,” ucap Alen. “Yaudah, satu-satu ye,” ujar Haidan.

Kedua sejoli itu mengitari seluruh meja yang penuh dengan makanan-makanan. Mereka membeli semua yang diminta oleh sahabat-sahabatnya itu. Pajak jadian adalah suatu hal yang harus dilaksanakan di Revaleaz ini. Menjengkelkan, tetapi.. itu sesuatu yang membuat persahabatan mereka menjadi seru.

“Ini punya Jian, Jendra sama Alen. Tuh ambil aje,” ucap Arjuna, menunjuk tiga buah kantung plastik yang di taruh di atas meja tersebut. Ketiga sahabatnya itu tersenyum riang dan langsung memakan santapan masing-masing. “Bilang apa lo semua sama kita?”

“ICHI NI SAN NYA! ARIGATOOOO!” seru mereka bertiga dengan kompak. Karena suara mereka keras, ketiganya menarik hampir semua perhatian murid-murid yang berada di kantin itu. “Yaudah gih makan,” ucap Haidan. Arjuna hanya bisa menghela nafas dan memutar bola matanya dengan malas. Ia harus sabar menghadapi sahabat-sahabatnya ini.

“Mau?” tawar Jian, menawarkan kantung plastik berisi ciloknya.

“JIJIK BANGSAT!”

“Ya maap.. santai ngapa dah,”


Kini, sudah waktunya untuk pulang dari sekolah. Seluruh anggota Revaleaz sedang merapikan meja mereka. “Lo semua pada langsung pulang nih?” tanya Alen. “Gue kagak, mau mampir ke rumah Juna dulu,” jawab Haidan. Ia sengaja menggoda kekasihnya. “Dih, emang gue ijinin?” tanya Arjuna. “Tanpa ijin juga udah tau boleh,” balas Haidan.

“Udah anjir jangan gelut di sini. Jian, lo sama Ale ya?”

“Ho'oh, wajib itu mah Len,”

“Bucin bener lo pada!”

Haidan dan Arjuna selesai membereskan meja mereka duluan. “Gue pamit ye!” sahut Haidan sembari menggenggam tangan Arjuna. Keduanya keluar dari gedung sekolah tersebut dan menaiki motor masing-masing untuk ke kos-kosan Arjuna.

Sebenarnya, Haidan ingin kekasihnya untuk membonceng motornya. Tapi.. karena Arjuna membawa motornya sendiri, Ia tak mungkin mengajaknya melakukan hal itu.

Tak perlu waktu yang lama, mereka sampai di depan kos milik Arjuna. Masing-masing memarkirkan motor terlebih dahulu. Ketika sudah terselesaikan, kedua sejoli itu memasuki bangunan tersebut. “Kamu kenapa tiba-tiba mau ke sini?” tanya Arjuna, seraya melepaskan sepatunya. “Kangen sama kamu lah, kenapa lagi coba kalau bukan?” balas Haidan.

“Eh, pakai aku-kamu nih jadinya? Hahaha,”

“Terserah,”

“Yaudah, ganti-ganti aja kalau gitu. Biar nggak bosen,”

“Iya dah,”

Arjuna serta Haidan pun memasuki kamarnya. Mereka berdua sempat diam mematung. “Mau ngapain?” tanya Haidan. “Gue.. mau ganti baju dulu bentar di kamar mandi,” jawab Arjuna, Ia langsung mengambil baju ganti. “Oke-oke, jangan kelamaan,” ucap Haidan.

Karena sedang menunggu kekasihnya yang sedang berganti baju, Ia berselonjor di atas kasur Arjuna; sembari bermain game di ponselnya. Ia cepat bosan, maka dari itu.. Ia sangat suka memainkan benda pipih tersebut.

Beberapa menit kemudian, Arjuna sudah selesai berganti baju. Ia melihat kekasihnya yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. “Dan,” panggilnya. Tidak ada respon. “Haidan,” panggilan kedua kalinya. Arjuna menaiki kasurnya dan duduk di sebelah kekasihnya itu.

“Haidannnn,” ketiga kalinya Ia memanggil. Arjuna mendecak kesal. Padahal Ia sedang membutuhkan perhatian dan afeksi saat ini. Tetapi, kekasihnya malah tidak memperhatikannya. “Sayang,” panggilnya lagi. Ia melihat Haidan membeku. Kedua ibu jarinya sudah tidak bergerak.

Haidan langsung mematikan ponselnya dan melihat kekasihnya yang indah rupa itu. “Kamu panggil aku apa tadi?” tanya Haidan untuk memastikan pendengarannya. “Nggak jadi,” ucap Arjuna, Ia sudah terlanjur kesal. “Please ulang lagi, yaaa?”

“Sayang,” ulang Arjuna. Haidan langsung memegang kedua bahu Arjuna, membuat kekasihnya untuk menatap kedua matanya. Ia memajukan wajahnya, lalu..

Cup!

Sebuah kecupan manis mendarat tepat di bibir lembut Arjuna. “Aku suka kalau kamu panggil aku begitu,” ucap Haidan. “Gemes soalnya,” lanjutnya sembari tersenyum. Di sisi lain, jantung Arjuna sudah berdetak tak karuan lagi. Membuat kedua pipinya berubah menjadi warna ke-merahan.

“Nggak usah malu-malu itu, sini cuddle,” ucap Haidan. Ia bersender di headboard, lalu merentangkan kedua lengannya. Tanpa lama, Arjuna langsung mendekat dan bersender di dada kekasihnya. Bahkan, hingga Ia bisa mendengar detak jantungnya.

Haidan merangkul dengan tangan kanannya, dan tangan kirinya untuk mengelus-elus rambut halus milik Arjuna. “Jun,” panggil Haidan. “Apa?” tanya Arjuna, Ia mendongak untuk melihat wajah kekasihnya.

“Tumben rambut kamu wangi,” goda Haidan.

“Rambut gue mah selalu wangi!”

“Iya deh cillll,”

Tiada hari tanpa beradu mulut di dalam hubungan mereka. “Dan,” panggil Arjuna. “Hm?” balas Haidan. “Tangan kamu bersih nggak?” tanya Arjuna. “Tadi habis minta ciloknya Jian sih,” jawab Haidan. “Idih, jauh-jauh sana! Jijik,” ucap Arjuna. “Bercanda cil. Gue lebih suka lo daripada cilok, santai aja,” ucap Haidan.

“Cil,”

“Apa lagi?”

“Mau cium dong,”

“Males, kamu bau,”

“Hina banget dah,”

“Bercanda,”

Arjuna menaikkan tubuhnya sedikit, supaya Ia dapat menyampai wajah Haidan. Ia memberikan kecupan singkat di bibir kekasihnya. Maklum, masih baru-baru ini. “Satu lagi boleh nggak?” Haidan memohon. “Fine,” ucap Arjuna. Kedua bibir mereka pun bertemu lagi. Sebuah ciuman yang singkat, namun manis. Candu juga.

“Udah ya?” tanya Arjuna. “Iyaa, udah. Makasih cil,” ucap Haidan, seraya mengusap-usap surai kekasihnya dengan gemas.

Tiba-tiba, Arjuna memposisikan dirinya untuk duduk. Hal itu membuat Haidan seidkit terkejut dan kebingungan. “Kenapa? Something wrong?” tanya Haidan. “Aku mau..” ucap Arjuna dengan ragu-ragu. “Mau apa?” tanya Haidan. “Mau... nggak jadi deh,”

“Bilang aja, gapapa,”

“Mau.. pang..”

“Apa?”

“Mau pangku,”

Kedua mata Haidan terbelak lebar. “Kamu mau aku pangku? Is that what you want, babe?” tanya Haidan untuk memastikan. Arjuna hanya mengangguk perlahan. Ia merasa sangat malu, padahal permintaannya tidak berat. “Sini,” ucap Haidan. “B-beneran.. gapapa..?”

Haidan tersenyum. “Gapapa sayang,”

Arjuna dengan malu-malu, Ia pindah duduk di pangkuan Haidan. Kedua mata mereka bertemu. Jujur saja, saat ini.. Haidan sudah tidak kuat. Jantungnya tidak kuat untuk menerima semua ini dalam sekejap. “Mau peluk?” tawar Haidan. “Mau..” jawab Arjuna. Ia paham; bahwa kekasihnya sedang dalam mode manja.

Akhirnya pada malam itu, keduanya berpelukan hangat. Sungguh nyaman. “Jun,” panggil Haidan. “Kenapa?” tanya Arjuna. “Kamu gemes banget kalau begini,” puji Haidan. “Hadeh,” balasnya. “Seriusan tau! Aku suka lihat kamu manja, hahaha,” ucap Haidan. Ia menepuk-nepuk punggung lelaki mungil itu dengan perlahan.

“Haidan,”

“Iya?”

“Ternyata, I feel so happy with you.

Hey.. you're the reason why I smile, Jun.

written by kalacaffe.

*CW // kissing, harsh words.**

Begitu Arjuna sampai di taman tersebut, Ia memarkirkan motornya terlebih dahulu di bagian tempat parkiran. Ternyata, di situ juga ada motor milik Haidan yang berwarna putih. “So.. he's here too? Udah dari tadi? Buset,” batinnya. Sedikit terkejut karena biasanya, Haidan suka telat.

Ia memasuki area taman itu, melihat-lihat sekitarnya. Ada banyak pohon-pohon, bermacam-macam tanaman, bahkan ada banyak kucing yang berkeliaran. Namun, Ia sedikit bingung. Mengapa taman ini.. terlihat begitu sepi? Hampir tidak ada satu orang pun di tempat. Hanya ada petugas tadi di dekat parkiran.

Arjuna akhirnya berjalan-jalan kesana-kemari, hingga Ia mendongakan kepalanya ke atas. “Wah..” ucapan tersebut reflek keluar dari mulutnya. Melihat langit malam hari ini, ternyata ada banyak sekali bintang-bintang yang seperti mendekorasi langit kosong itu.

Bersinar dengan sangat indah.

Tiba-tiba, Ia teringat sesuatu. Saat Haidan menanyakan harapan terbesarnya. Ia menjawab, “jalan-jalan di taman pas malam, apalagi kalau bintangnya lagi banyak. Pasti bikin tenang banget dah, adem juga.” Jawaban itu sebenarnya bukan yang tepat. Memang, salah satu harapannya adalah melakukan hal tersebut. Tetapi, harapan paling terbesarnya adalah.. perasaannya terbalas oleh Haidan.

Saat itu.. Ia tidak berani mengatakannya. Masih sedikit merasa tidak yakin dengan perasaannya. Tapi seiring waktu berjalan, perasaannya menjadi semakin jelas. Bahwa Ia mencintai Haidan. Sepenuhnya.

Karena kakinya sudah merasa lumayan lelah, Ia mencari sebuah bangku untuk beristirahat sejenak. “Haidan ke mana sih?! Dari tadi.. apa gue pulang aja ya?” monolognya. Jujur, Ia merasa kesal karena teringat lagi tujuannya ke tempat ini. Tak ada tanda-tanda keberadaan Haidan.

Yaudahlah, gue jalan-jalan aja dulu bentar, siapa tau dia lagi ke toilet atau lagi beli apa gitu,” pikirnya. Ia langsung beranjak berdiri dari bangku tersebut dan kembali berjalan-jalan di sekitar area taman.

Suasana malam ini sangat sunyi dan tenang. Seperti semua makhluk hidup sedang beristirahat dengan nyenyak. Tak lama kemudian, Ia bertemu dengan seekor kucing yang sedang berjalan-jalan dengan tenang.

Ia menghampiri kucing itu, lalu berjongkok supaya bisa mengelus-elusnya dengan hati-hati. “Gemes banget,” ucapnya. Sebuah senyuman mengembang di wajahnya. Arjuna sangat menyukai kucing, menurutnya.. mereka adalah salah satu makhluk hidup yang perlu dijaga dan disayang.

Kucing itu tampak menyukai Arjuna. Sungguh membuat hati Arjuna meleleh dengan begitu cepat.

“Kamu kalau aku bawa pulang, mau nggak?” tanya Arjuna, masih mengelus-elus kepala kucing tersebut. “Nggak jadi deh, takutnya kamu nggak dirawat dengan baik. Kapan-kapan aja yaa?” lanjutnya. Ia mengisi waktunya dengan menemani kucing liar tersebut; yang sangat menggemaskan.

Karena merasa dirinya sudah cukup puas, Arjuna pun kembali melanjutkan langkahnya. Sesampainya di sebuah pohon, dengan ayunan yang digantunginya. Ia menghampiri ayunan tersebut dan mendudukinya dengan hati-hati.

Dengan reflek, kakinya mengayuh perlahan, ke arah depan dan belakang; sembari menikmati malam yang sunyi ini.

“Haidan ke mana coba..”

Tiba-tiba, ada sebuah iringan gitar terdengar yang mendekati dirinya. Arjuna terkejut. Seseorang mulai bernyanyi dan pemilik suara itu.. tidak asing lagi. Itu adalah Haidan. Laki-laki yang sudah Ia tunggu dari tadi.

Kata pujangga Cinta itu luka yang tertunda Walau awalnya selalu indah Bila bukan jodohnya Siap-siap 'tuk terluka..

Haidan berjalan ke hadapan Arjuna, seraya bernyanyi dan memainkan gitar. Arjuna masih sedikit terkejut dengan keberadaan Haidan yang tiba-tiba muncul dari belakangnya.

Lebih baik bangun cinta Daripada jatuh cinta Jatuh itu sakit Bangun itu semangat

Sebuah senyuman kini tertampak jelas di wajah Arjuna. Melihat orang yang dicintainya dengan bernyanyi untuknya adalah suatu hal yang membuatnya semakin cinta dengan orang tersebut.

Lebih baik bangun cinta Daripada jatuh cinta Meski tak mudah Namun cinta Jadi punya tujuan

Begitu Haidan selesai bernyanyi untuk orang yang dicintainya, Ia menaruh gitarnya di bawah pohon, lalu memegang kedua tangan Arjuna dengan lembut. Ia menatap kedua mata Arjuna, “Jun.. Gue udah dari lama suka sama lo. Eh maksud gue, cinta sama lo. Jadi.. lo mau bangun cinta sama gue nggak?”

Tanpa lama-lama lagi, Arjuna langsung mengangguk dan tersenyum lebar. Harapan terbesarnya sudah tercapai.

Ibu jari Haidan menyapu bibir milik Arjuna dengan perlahan. “May I..?” tanya Haidan, meminta ijin. “Boleh,” jawab Arjuna. Kedua bibir mereka pun bertemu. Dengan penuh rasa kupu-kupu di perut masing-masing. Haidan menggiggit bibir bawah Arjuna sebagai ijin untuk melakukan ciuman. Arjuna memberikan ijin, membuat Haidan langsung menelusuri mulutnya.

Tangan Haidan mengangkat kedua tangan Arjuna, menuntunnya untuk melingkari lehernya. Setelah sesi tersebut selesai, keduanya mengambil nafas karena stok oksigen mereka sempat habis tadi.

Pipi Arjuna langsung berubah menjadi merah seperti tomat. Itu membuat Haidan langsung mencubit pipinya dengan rasa gemas. “Nggak usah cubit-cubit lo,” celetuk Arjuna. “Biarin, kan lo udah jadi milik gue sekarang, wleee~” goda Haidan.

“Lo lama banget dari tadi anjir,”

“Maaf, tadi gue nge-stem gitarnya dulu,”

“Yaelah,”

“Pasti capek ya? Utututu bocil gemes,”

“Bacottt!”

Seperti itulah kisah mereka. Tetap diisi dengan keributan, walaupun sudah jadian. Tidak apa-apa, itu membuat perjalanan mereka menjadi lebih seru dan tidak membosankan.

“Gue sayang lo, Jun.”

“Gue sayang lo lebih, Dan.”

written by kalacaffe.

a very short narration.

CW // harsh words.

Haidan sudah sampai di kost-nya, sekarang Ia tinggal menunggu teman-temannya untuk datang. Sedikit lama, karena teman-temannya itu suka sekali datang tidak tepat waktu. Biasalah, sudah dari jaman mereka masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Tok! Tok! Tok!

Sebuah suara ketukan pintu terdengar. Sepertinya teman-temannya sudah datang. Ia membuka pintu tersebut, dan memperlihatkan teman-teman se-bayanya itu. Haidan mempersilakan mereka semua untuk masuk ke dalam rumah. “Kelamaan ah lo semua,” ucap Haidan. “Ya maap, disuruh bantuin Bunda dulu gua mah,” balas Jiandra. “Kalau lo berdua?” tanya Haidan kepada Jendra dan Alen.

“Gua sama dia macet di jalan,” ucap Alen. “Ohh.. lo berdua berangkat bareng nih ceritanya? Cieeee~” goda Jian. “Bacot Jian,” celutuk Jendra. “Berarti bener Ji, Hahaha,” ucap Haidan.

“Eh iya, lo kenapa nyuruh kita buat ngumpul di sini? Terus, Juna mana?” tanya Jendra. “Wah parah lo, temen sendiri kagak diajak,” goda Jian, sengaja memanas-manaskan Haidan. “Dih, dengerin gue dulu. Jadi gini bro, gue berencana mau nembak seseorang,” ucap Haidan. “Gue udah ada ide sih, tapi gue butuh beberapa saran dari kalian juga,” lanjutnya.

Teman-temannya terdiam sesaat. “Coba tuh, tanya yang udah jadian,” ucap Alen sembari menunjuk Jian. “Ya.. gimana ya.. orang yang mau lo tembak siapa? Si Juna?” tanya Jian. Haidan mengangguk pelan, merasa sedikit malu. “Menurut gua, lo coba nembak dia pakai cara.. itu, di tempat yang dia suka mungkin? Atau ngelakuin hal yang dia udah dari lama mau?”

“Iya tuh, gua setuju sih. Juna kan orangnya simple, nggak suka yang terlalu ribet.. jadi mungkin lo nembak pakai cara yang sederhana aja,” sambung Jendra. “Selagi lo anak band juga, mungkin lo bisa coba nyanyi buat dia? Pakai instrumen musik apa gitu, selain drum,” ucap Alen.

Setelah semua teman-temannya memberi saran dan ide, Haidan mulai berpikir kembali. Ia menata semuanya di dalam pikirannya. “Boleh juga tuh! Lo pada pinter bener kalau soal ginian, giliran matematika aje.. jeblok semua anjir,” ucap Haidan. “Bilang makasih atuh, udah dibantu!” sahut Jian. “Iya iya, makasih kawan-kawanku yang tersayang,” ucap Haidan, sengaja dibuat dramatik.

Mereka semua berbincang-bincang sedikit lagi, hingga Haidan merasa sangat terbantu dengan ide-ide mereka. Tiba-tiba, Haidan menanyakan sesuatu kepada Jendra dan Alen. “Lo berdua kapan mau jadian?” tanya Haidan. “Tau tuh, PDKT-an mulu lo berdua! Nggak seru wuuu,” ucap Jian.

Kedua orang yang sedang ditanyai itu hanya tersenyum dan tertawa ringan. Mereka masih sedikit malu kalau membahas soal hubungan percintaan. Jendra dan Alen sedang di tahap saling mencari tahu satu dengan yang lainnya.

Btw, jangan lupa PJ-nya Dan. Gua tunggu lo,” ucap Jiandra. “Gua juga mau PJ-nya Dan,” ucap Jendra. “Eitsss, gue juga!” ucap Alen. Haidan hanya mengangguk pasrah dengan kemauan teman-temannya yang dari kecil itu. Pasrah sudah.

“Oh iya, Ji,”

“Apa?”

“Gue pinjem gitar lo boleh kan ya?”

“Gitar yang akustik? Mau pinjem kapan?”

“Ho'oh. Pinjem sore ini. Apa lo bawa gitar lo?”

“Gua bawa tuh, pinjem aja.. tapi jangan lupa balikin,”

“Sip lah, thanks sob,”

Entah apa yang sedang direncanakan lelaki itu. Semoga saja berhasil, ya?

written by kalacaffe.

TW // kissing, harshwords.

Jian yang sebelumnya tiduran, Ia mendapat pesan itu dari Ale dan langsung berdiri. Satu persatu langkah mendekati pintu tinggi berwarna coklat itu.

Ceklek!

Begitu Ia membuka pintunya, sebuah senyuman kecil diperlihatkan oleh Ale. Biasanya Ale memperlihatkan raut wajahnya yang datar, tetapi untuk kali ini tidak. Ia langsung masuk ke dalam kamar Jiandra dan menaruh sebuah plastik yang berisi bubur ayam serta kotak P3K.

“Sini, gue mau liat muka lo,” perintah Ale, mengisyaratkan Jian untuk mendekat ke dirinya.

Lelaki bertubuh tinggi itu hanya menurut. Ia menarik sebuah kursi dan duduk di depan Ale. “Kenapa?” tanya Jian dengan bingung. Oknum di depannya mengambil kotak P3K itu dan membukanya—serta mengambil sebuah cotton bud dan betadine.

Ia mulai mengobati area-area luka di wajah Jian secara perlahan. “Perih le,” Jian sedikit meringis kesakitan. “Diem, bentar lagi selesai.” balas Ale dengan singkat.

Di sisi lain, Jian yang tadinya meringis kesakitan menjadi terpesona dengan wajah indah Ale. Ia melihat satu persatu detail dari wajah milik Ale—dari bulu matanya yang panjang, pipinya yang gembul, dan terakhir bibirnya yang lembut—Jian menyukai setiap detail kecil itu.

“Dah selesai, tinggal tunggu beberapa hari lagi baru luka-lukanya hilang,” ucap Ale seraya menutup kotak P3K. “Thank you cil,” balasnya balik, memperlihatkan senyum khasnya.

Do you want something?” tanya Ale secara tiba-tiba.

Buset! Ini gua lagi ditawarin apa ditanyain? Atau gimana? Gua harus jawab apa anjir?

“Jangan gua terus, how about you?”

Ale terdiam sejenak, mencoba berpikir untuk menjawab pertanyaan Jiandra. Sebenarnya ada banyak sekali yang Ia ingin minta kepada Jian, tetapi itu untuk lain waktu saja.

I want to hug you, and you can put your head on my shoulder, Jian.” ucap Ale sedikit cepat dari biasanya. Demi Tuhan! Apa yang baru saja Ia katakan? Ale merasa malu setelah mengatakan permintaan kecilnya.

Tanpa lama lagi, Jian membuka lebar kedua lengannya—sebagai isyarat supaya Ale bisa memeluknya—Ale pun paham dan langsung mendekatkan dirinya. Ia memeluknya dengan erat dan nyaman.

Mereka berdiam selama sepuluh menit, sibuk dengan pikiran masing-masing. Mencoba untuk saling menenangkan dengan sebuah pelukan. Tiba-tiba lelaki yang lebih pendek itu meneteskan air mata. Isakannya terdengar di telinga Jian.

“Ale, don't cry. I'm here,”

Ia melepaskan pelukan itu secara perlahan, mencoba untuk melihat wajah Ale. Ibu jarinya mengusap air mata Ale dengan lembut, dan tersenyum.

“G-gue cuman ngga t-tega aja liat lo begini,” ucap Ale dengan suara sedikit gemetar. “It hurts me seeing you like this, Jian.” lanjutnya.

Jiandra yang mendengar hal itu merasa bersalah. Karena dirinya, Ale menjadi sedih dan khawatir seperti ini.

I'm sorry, Ale. Gara-gara gua, lo nangis. gua brengsek banget, maafin gua le,”

Ale menggeleng sebagai tanda tidak setuju dengan ucapan Jian barusan, dan langsung memeluknya lagi. “Jangan bilang gitu, gue ngga suka. Lo bilang begitu lagi, gue pukul bibir lo,”

“Pukul aja,”

Ia melepaskan pelukannya dan menatap Jian dengan sedikit terkejut.

“Seriusan nih?”

“Iya, asal pake bibir lo,”

Seketika Jian menerima pukulan-pukulan kecil dari Ale karena ucapannya tadi. Bayangkan saja, situasinya sedang serius dan tiba-tiba ada yang bercanda. Kesal bukan?

Mereka berdua tertawa lepas, dan merasa sedikit lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. “Deketan coba,” perintah Ale. Jian mendekatkan wajahnya ke Ale, hingga jarak mereka menjadi sangat dekat.

Cup!

Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir kering Jiandra. Ia awalnya merasa terkejut, namun setelah itu Ia merasa begitu senang. Pipi Ale sekarang sudah memerah seperti tomat.

“Lagi dong le,” Jian mulai usil dengan Ale.

“Nggak!”

“Ayo cepet, aku mau lagiiii,”

“Gamau wleee!”

“Ah ngga asik, Ale mah,”

Jiandra mulai berlagak seperti dia sedang merajuk—mencoba untuk meluluhkan Ale sekali lagi. Namun, Ia menyerah. Akhirnya dia memutuskan sesuatu.

“Kalau gitu, aku aja yang duluan.”

Bibir Jiandra menempel lagi di bibir milik Ale. Perlahan-lahan, Jian mulai mendominasi ciuman manis itu. Sungguh sebuah ciuman yang lembut dan candu bagi mereka.

I won't forget this special moment with you.

KALACAFFE.

CW // violance.

Sehari telah berlalu, sekarang Jian sedang berdiam di dalam kelasnya. Tidak seperti biasa—harusnya Jian langsung mencari Ale dan teman-temannya—tetapi kali ini Ia berbeda.

“Woy!”

Suara itu membuat Jian terkejut dan sadar kembali ke realitas. Ia sudah bengong di situ selama lima belas menit, tidak berkutik sekalipun. “Anjing!” reflek Jian, “Maaf le, gua kaget,” lanjutnya sambil tersenyum polos. Lelaki yang duduk di depannya tertawa kecil melihat respons Jian. “Lagian, lo kenapa bengong?” tanya Ale. “Ada masalah lagi?”

Jian mengangguk pasrah dan menghembuskan nafas berat. Dengan keadaan seperti ini, jantung Jian menjadi berdetak begitu cepat dari biasanya dan nafasnya menjadi tidak teratur. Ale langsung paham dengan situasi Jian, tangannya meraih tangan milik Jian—sebagai bantuan supaya lelaki itu dapat menjadi lebih tenang.

Thanks, Ale.” ucapnya tersenyum. “Anytime. Just tell me if you have any problems, okay?” balas Ale dengan suaranya yang lembut.

Seketika langit berubah menjadi sedikit gelap, mungkin karena mendung. Tiba-tiba Jian teringat sesuatu yang penting.

Astaga! Gua lupa ada janji sama kak mahesa, anjing banget dah!

“Maaf le, gua harus cabut dulu, ada urusan mendadak. See you later, ya!” sapa Jiandra yang langsung beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari ruangan kelas itu. Jujur saja, Jian merasa sedikit gelisah karena dua hal. Pertama, karena dia barusan meninggalkan Ale sendirian di kelas. Kedua, karena dia harus menghadapi Mahesa dan kawan-kawannya.

Langit yang tadinya begitu cerah menjadi suram. Air hujan pun jatuh dan menjadi deras. Jian sedikit kesulitan mengendarai motornya akibat hujan deras hari ini, tetapi Ia tetap mencoba sebisa mungkin.

Tibalah Ia di belakang sekolah Mahesa—dinding yang begitu tinggi, gerbang yang besar dan megah, serta beberapa siswa-siswi di situ yang bisa dibilang.. kaya raya—Jian mencoba menghiraukan itu semua dan fokus terhadap tujuannya.

“Hampir telat lo,” ucap seorang laki-laki yang tidak jauh tinggi dengan Jiandra. “Sendirian nih?” tanya Jian. “Hahaha, mau yang lebih seru?” balas Mahesa, memperlihatkan senyum miringnya. “Keluar lo semua sini!” perintah Mahesa, dan kawan-kawannya yang tadi mengumpat di belakang pun keluar.

“Udahlah anjing, cukup basa-basi. Sini maju lo pada,” seru Jian, tak mau kalah dengan Mahesa. Satu persatu maju dan mereka saling memukul, menendang, menyerang serta melempar. Hingga tak ada satu pun yang tidak babak belur.

Tiba di saat Jian sudah merasa tidak kuat lagi, tubuhnya sekarang tergeletak di aspal. “Udah nyerah belum lo?” tanya Mahesa dengan kakinya yang menginjak dada Jian. Di bawahnya, Jiandra tidak ingin kalah tetapi keadaannya sekarang sudah begitu lemah.

“Mending lo nyerah—”

Bugh!

Sebuah tonjokan mendarat di wajah Mahesa yang mengakibatkan dirinya terjatuh ke aspal. “Jian! Lo gapapa?” tanya seseorang. “Heh, goblok! Lo punya mata atau kaga? Jian udah babak belur, lo tanyain gituan.. gimana dah,” balas Arjuna.

Ternyata itu adalah ketiga sahabatnya. Jendra, Haidan dan Arjuna tiba di tempat tersebut untuk menolong Jiandra.

Don't worry, we got your back, Jian.

Jiandra tersenyum melihat teman-teman dari kecilnya itu datang. “Sini gua bantu duduk disana,” ucap Haidan sambil membantu Jian berdiri. “Makasih dan,” balas Jian.

Di sisi lain, Jendra dan Arjuna melawan kelompok teman-temannya Mahesa. Jendra memiliki kekuatan dan stamina yang begitu banyak, membuat lawannya kewalahan. Kalau Arjuna, Ia memiliki kemampuan untuk berpikir dan bertindak cepat, sehingga membuat lawannya kalah cepat dengannya.

Sudah lebih dari 30 menit mereka saling berkelahi satu dengan lainnya, mengakibatkan tubuh mereka memiliki banyak luka.

Untungnya, teman-teman Jian memenangkan perkelahian ini. “Mending kita pergi aja sa, gue capek.” ujar salah satu temannya Mahesa. Dengan berat hati, akhirnya mereka pergi meninggalkan lapangan.

“Maaf gua bikin kalian babak belur gini,” ucap Jendra, merasa bersalah lagi. “It's okay Jen, ini demi band kita dan bunda lo juga,” balas Jian dengan suara serak. “Mending lo semua pulang, udah gelap gini. Mana hujan tadi juga,”

Semuanya setuju dan balik ke rumah masing-masing dengan keadaan kurang baik. Semoga saja, kali ini bisa menjadi pelajaran bagi kedua pihak.

KALACAFFE.

CW // harsh words.

Kini, Haidan sedang dalam perjalanan ke kost milik sahabatnya, Arjuna. Ia sudah membeli beberapa makanan ringan untuknya juga. Setelah tahu hasil pertandingan basket tadi, Haidan merasa terpuruk. Entah mengapa, dirinya tak bisa menangis. Akhirnya sekarang, Ia ingin bertemu dengan seseorang yang disayangi-nya.

Malam ini terasa dingin. Tetapi untungnya, Haidan memakai hoodie supaya tidak menggiggil saat di perjalanan. Angin semilir melewatinya dengan tenang; walaupun pikirannya sedang kacau.

Sesampainya di depan kost Arjuna, Ia memarkirkan motornya, lalu mengetuk depan pintu sampai dibukakan. Begitu Arjuna membukakan pintunya, Haidan rasanya seperti ingin menangis di hadapannya sekarang. Tapi Ia harus menahannya, supaya terlihat kuat.

Arjuna langsung mempersilakan Haidan untuk masuk ke dalam kost-nya, dan mengambilkan Haidan sebuah gelas berisi air putih. Lalu, Ia duduk di sebelahnya. “Lo gapapa?” tanya Arjuna. Haidan menggeleng perlahan. “Coba cerita ke gue,” lanjutnya.

Lima detik.. sepuluh detik.. lima-belas detik.. dipenuhi dengan ke-sunyian. Tiba-tiba, Haidan mengangkat wajahnya dan menatap lelaki di hadapannya itu dengan tatapan yang terlihat lelah. “Jun,” panggilnya. “Kenapa Dan?” tanya Arjuna. “Gue mau nangis di pundak lo, boleh?” tanya Haidan, air mata mulai menggenang di matanya. “Boleh. Kapanpun boleh, Dan.”

Haidan menyender ke bahu sahabatnya, lalu menangis. Arjuna hanya terdiam dan menunggu sampai Haidan selesai. Suara isakan tangis Haidan terdengar jelas di telinga Arjuna. Jujur saja, Ia paling benci melihat Haidan seperti ini. “Jun.. masa gue gini doang nangis ya? Gue payah banget hahaha,” ucap Haidan. “Nggak, lo nggak payah. Lo berhak buat nangis, jangan bilang gitu,” balas Arjuna.

“Gue kecewa Jun,”

“Kecewa sama?”

“Kecewa sama diri sendiri, Jun. Kalau aja gue tadi nggak jatuh sama fokus, tim gue bisa menang kali ini. Gue tolol banget anjing,” ucap Haidan dengan frustasi. Ia memukul-mukul dadanya sendiri sembari menangis. Sesak sekali rasanya. Tanpa lama lagi, Arjuna langsung memegang kedua tangan Haidan untuk memberhentikan aksinya.

“Dan, gue tau lo kecewa. Tapi itu bukan salah lo! Sadar, tolong? Kita nggak akan pernah tau apa yang bakal kita alami nanti, Dan. Jangan salahin diri lo atas apa yang terjadi. Itu bukan salah lo. Jangan mukul-mukul atau ngatain diri lo sendiri kaya gini, gue nggak suka, Dan.”

Arjuna memegang kedua bahu Haidan dan menatapnya. “Lo itu hebat, Dan. Lo bisa coba tanding lain waktu lagi. Oke?” ucap Arjuna. Ia langsung memeluk Haidan dengan erat dan menepuk-nepuk punggungnya perlahan. “You did well, Dan,” ucap Arjuna. Haidan mulai merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar kata-kata Arjuna. “Jun,” panggilnya.

“Ya?”

“Jangan pergi ya?”

“Nggak bakal. Ini aja gue dipeluk sama lo, mana bisa gue pergi,”

“Hahaha, bener juga.”

Mereka berpelukan selama beberapa menit sampai emosi Haidan stabil. Keduanya memang memiliki gengsi yang tinggi, tapi kalau sampai ada salah satu dari mereka yang sedang merasa terpuruk, percayalah.. rasa gengsi tersebut akan turun.

Kedua lelaki itu melepaskan pelukan dan mulai berbincang-bincang sedikit. “Dan,” panggil Arjuna. “Kenapa?” tanya Haidan. “Makasih udah mau cerita sama gue,” ucap Arjuna, walaupun sedikit malu-malu. “Gue kali yang harus berterima kasih. Kok jadi lo? Hahahaha,” ucap Haidan.

“Lo udah gapapa kan?” tanya Arjuna, masih merasa sedikit khawatir dengan keadaan Haidan. “Gapapa, kok. Gue udah ngerasa lebih baik berkat lo,” jawab Haidan dengan senyuman. “Omong-omong.. harapan terbesarnya lo itu apa?” tanya Haidan.

Arjuna sedikit terkejut dengan serangan pertanyaannya. Ia berpikir sejenak sebelum menjawab. “Apa ya? Mungkin.. jalan-jalan di taman pas malam, apalagi kalau bintangnya lagi banyak. Pasti bikin tenang banget dah, adem juga,” jawabnya. “Kan lo bisa ngelakuin hal itu, kenapa jadi harapan terbesar?” tanya Haidan lagi. “E-eh kalau lo nggak mau jawab, it's okay kok,” lanjutnya, karena melihat sahabatnya sedikit kesulitan dalam menjawa pertanyaannya.

“Kalau lo sendiri gimana?” tanya Arjuna. “Gue? Erm.. bisa duet bareng lo, meluk lo seharian,” ucap Haidan dengan penuh kejujuran. “Oh iya, ngemilikin lo juga,” lanjut Haidan. Mendengar hal itu, Arjuna langsung merasa kupu-kupu di perutnya dan pipinya mulai memerah. “Kenapa?” tanya Haidan dengan polosnya. Entah dia sengaja atau tidak.

Sahabatnya langsung meneguk air putih dari gelasnya. “Jun,” panggilnya. “A-apa lagi?” tanya Arjuna. “Peluk lagi boleh nggak?” tanya Haidan.

Dengan reflek, Arjuna mengangguk. Tampaklah sebuah senyuman kemenangan di wajah Haidan. Ia langsung menarik Arjuna ke pangkuannya, membuat sahabatnya itu menatap dirinya. Tangannya melingkari perut Arjuna. “Nggak usah malu-malu monyet gitu, nanti kita sering-sering begini juga,” goda Haidan. “Ya kagak monyet juga kali, goblok!” gerutu Arjuna.

Haidan hanya tertawa ringan dan sibuk memeluk Arjuna.

“Dan,”

“Hm?”

“Nangis nggak bakal bikin lo terlihat lemah kok. Jadi, kalau mau nangis, nangis aja ya? Lo bisa nangis di pundak gue kaya tadi,”

“Iya, Jun. Lo juga kalau butuh tempat cerita, bisa ke gue. Gue bakal dengerin ocehan apapun yang keluar dari mulut lo itu,”

Keduanya tersenyum dan menikmati malam yang sudah terasa hangat. Bahkan Haidan sudah merencanakan sebuah rencana yang spesial. Semoga saja, rencana itu bisa berhasil.

written by kalacaffe.

CW // harsh words, violence.

Saat pertandingan basket sebentar lagi di mulai, Haidan menggunakan jersey-nya di atas kaos putihnya, dan menggunakan celana basket sebagai bawahan. Ia pun memanggil anggota-anggota tim-nya untuk berkumpul di lapangan; walaupun Haidan bukan kapten tim tersebut.

Tim dari kelas sebelah mereka ikut berkumpul juga di lapangan basket. Mereka terlihat sudah siap untuk bertanding. “Kalau nggak menang gapapa, oke? Semangat!” seru Jian. Semuanya berseru dan kedua tim berkumpul di tengah-tengah lapangan.

Pertandingan pun di mulai, semua siswa-siswi bersorak untuk tim yang mereka dukung. Beberapa guru juga ikut menyoraki pertandingan mereka.

Haidan, sudah merasakan keringat yang bercucur di tubuhnya. Ia juga merasa gugup dan takut. Hingga menyebabkan dirinya tidak terlalu fokus. Sampai Jiandra harus meneriaki Haidan supaya Ia dapat sadar kembali dan fokus bermain dalam pertandingan yang ketat ini.

Para tubuh-tubuh lawan tim jauh lebih besar jika dibandingkan dengan mereka. Kabarnya, tim tersebut begitu unggul. Mereka juga pernah mengikuti lomba-lomba pertandingan basket hingga ke luar kota. Namun, karena Haidan memiliki tekad yang besar, Ia memberanikan diri untuk melawan mereka.


Bugh! Bugh! Bugh!

Tiga kali berturut-turut, Haidan terjatuh. Ia di dorong oleh lawan pemain, tetapi tidak ada yang menyadarinya. Sungguh sial. “Haidan!” seru Jian, berlari ke arah sahabatnya. “Lo gapapa?” tanya Jian sembari membantu Haidan berdiri kembali. “Gue gapapa kok Ji,” ucap Haidan.

“Tapi lo udah luka-luka gitu tolol! Udah sana lo ke UKS gih, nggak usah khawatir sama pertandingan ini,” gerutu Jian. Kini, Haidan sedang berdebat di dalam pikirannya. Kalau Ia berhenti, takutnya para pendukungnya kecewa. Tapi kalau Ia tetap lanjut, dirinya akan bertambah sakit dan luka.

Sialan, sudahlah. Ia mengalah saja.

“Yaudah, gue ke UKS.” Haidan berjalan perlahan keluar dari lapangan basket. “Yoi! Jangan khawatir bro, kita pasti menang kok!” sahut Jian. Akhirnya, pertandingan tersebut tetap berlanjut meski Haidan tidak ikut bermain lagi. Walaupun Ia masih merasa kecewa terhadap dirinya sendiri.

Haidan berjalan perlahan-lahan ke arah ruangan UKS untuk mengobati dirinya. Tak hanya fisiknya yang kacau, pikirannya pun juga. Banyak sekali yang mengganggu pikirannya dan membebankan pundaknya. Pertandingan basket itu begitu penting bagi dirinya.

Sebenarnya, Ia masih ingin lanjut bermain di pertandingan tersebut dan memenanginya. Ia ingin menunjukkan kepada Arjuna; ingin membuatnya bangga dengan hasil perjuangannya di pertandingan basket itu. Tetapi.. Haidan tidak bisa. Alam tidak mengijinkannya.

Ia membuka kenop pintu UKS, memperlihatkan sahabatnya; Arjuna yang sedang membereskan meja. “Misi,” ucap Haidan seraya memegangi lututnya yang luka. “Eh anjir, lo kenapa?” tanya Arjuna, menghampirinya dengan raut wajah yang terlihat khawatir. “Gue.. jatuh Jun. Pas pertandingan, gue jatuh berkali-kali. Alhasil, lo lihat sendiri aja tangan sama kaki gue,” balas Haidan.

Arjuna langsung menuntunnya ke kasur, membantu Haidan untuk duduk di situ. “Tunggu bentar, gue ambil betadine, kapas sama plester dulu. Jangan kemana-mana,” perintah Arjuna. “Iya, gue nggak kemana-mana. Kan gue maunya sama lo,” balas Haidan. Bisa-bisanya Ia sempat gombal di situasi seperti ini. Arjuna hanya menggeleng dan menghembuskan nafasnya.

Lelaki yang lebih pendek itu kembali lagi setelah mengambil beberapa peralatan dan obat untuk mengobati sahabatnya. Salah satu kursi di dalam ruangan itu ditarik oleh Arjuna, agar lebih mudah mengobati luka-luka di anggota tubuh Haidan.

Tangannya mengambil sebuah kapas, lalu menaruh beberapa tetesan betadine di atasnya. “Pelan-pelan ngobatinnya,” ucap Haidan. “Iya, ini gue pelan-pelan. Yakali gue tetesin satu botol ini ke luka lo,” balas Arjuna. Ia menepuk-nepuk kapas tersebut di luka bagian lutut Haidan dengan perlahan, dan meniupnya juga.

“Geli,” ucap Haidan. “Banyak ngomong ya lo,” ucap Arjuna. “Biar nggak sepi-sepi amat kali Jun,” balasnya dengan enteng. Arjuna kembali fokus mengobati luka-luka yang berada di kaki ataupun lutut Haidan. Sahabatnya itu malah fokus melihat wajahnya. “Jun,”

“Diem lo,”

“Ini siku gue belum,”

“Sabar,”

Setelah selesai mengobati bagian lutut, Arjuna menarik lengan Haidan secara perlahan dan mengobati bagian siku. “Jun,” panggilnya. “Apa lagi?” tanya Arjuna. “Kok lo cantik ya?” goda Haidan. Tetapi serius, jika melihat wajah Arjuna dari dekat, semuanya Ia miliki. Tampan, cantik, indah. “Gue ganteng, lebih dari lo,” celetuk Arjuna. “Nggak peduli sih,” balas Haidan.

“Gue pukul nih,” ancam Arjuna. “Ampun cil,” ucap Haidan. “Lo gemes cil,” lanjutnya. Jantung Arjuna berdetak semakin tidak karuan lagi. Terlihat jelas bahwa kedua pipinya memerah. “Cie maluuu,” goda Haidan, Ia sangat senang melihat sahabatnya seperti itu. Arjuna langsung berdiri dan memasang muka datar. “Mau kemana?” tanya Haidan, sedikit terkejut.

Arjuna menyilangkan kedua tangannya, bersikap seperti sedang marah. “Mau ninggalin lo,” ucapnya. “Kenapa?” tanya Haidan. “Lo berisik sih!” gerutu Arjuna. Haidan sedikit menyondongkan tubuhnya ke depan, lalu menarik pinggang Arjuna ke dekatnya.

Ia tertawa kecil melihat sahabatnya terkejut.

“M-mau ngapain lo?!”

“Nahan lo,”

“Biar apa coba?”

“Biar lo nggak ninggalin gue lagi. Gue masih sakit gini, masa lo mau ninggalin gue?”

“Lagian lo berisik banget bangsat, kesel tau!”

“Yaudah, maaf Jujunnn~ Please lanjut ngobatin gue yaa?”

“Ya, diem lo.”

“Iyaaa, gemes.”

Arjuna pun melanjutkan kegiatan mengobati luka-luka Haidan kembali. Jujur saja, Ia tidak marah dengan ke-cerewetan Haidan. Hanya ingin mengujinya saja, karena itu seru. Tapi.. hal tersebut malah membuat jantungnya kewalahan dan tidak karuan.

Haidan hanya tersenyum sembari melihat wajah Arjuna yang sedang serius mengobati luka-lukanya. Menggemaskan sekali, menurutnya. Ia ingin menyubit kedua pipi Arjuna yang gembul itu. Namun, Haidan harus menahan dirinya supaya tidak membuat sahabatnya emosi lagi; seperti tadi.

Keduanya hanya sibuk dengan kegiatan masing-masing, hingga suasana menjadi begitu hening. Hanya suara udara AC yang terdengar di dalam ruangan UKS itu.

Beberapa menit kemudian, semua luka Haidan sudah terobati; tertutup oleh plester yang dipasang oleh Arjuna. “Thanks banget cil,” ucap Haidan. “Hm, sama-sama. Lain kali hati-hati, jangan terlalu gugup,” ucap Arjuna. Haidan mengangguk dan tersenyum.

Ia mengusap-usap rambut Arjuna dengan lembut. “Dan,” panggil Arjuna. “Hm? Kenapa?” tanya Haidan. “Erm.. Kalau lo ada luka lagi, mau itu fisik lo atau hati lo yang kena, just go to me ya?”

“Emang lo bakal ada buat gue?”

“Selalu, Dan. It's always been like that.”

“Hahaha, gue juga kok. Bakal selalu ada buat lo, Jun.”

written by kalacaffe.