kalacaffe

jiandra & kale: one-shot au. | pair: jichen. part of 'love formula' universe.

CW // medicines, slight kiss.

Jiandra, yang sedang bersantai di kamarnya menjadi panik ketika Ia melihat tweet kekasihnya, bahwa Ia sedang sakit. Jian langsung bergegas mengganti pakaiannya dan menyalakan motornya. Di perjalanan, Ia sempat mampir sebentar ke suatu apotek untuk membeli beberapa obat untuk kekasihnya itu.

Sudah jam sembilan malam, jadi hawanya lumayan dingin. Untungnya, Jian memakai hoodie kesayangannya supaya tidak kedinginan. Beberapa menit kemudian, Jian sampai di depan rumah Ale yang besar itu. Tak pernah sekalipun Ia tidak terkejut melihatnya.

Ia memarkirkan motornya terlebih dahulu, lalu berjalan ke arah pintu rumah. Jian menghela nafas sebelum menekan bel.

Ding dong!

Pintu rumah Ale pun terbuka. Memperlihatkan seorang wanita paruh baya; tetapi.. itu bukan Mama dari Ale. “Halo, siapa ya?” tanya wanita tersebut. “Saya pacarnya Ale..” jawab Jian.

“Oh! Iya, silakan masuk dek, saya pembantu di sini. Baru saja pulang dari kampung saya, maaf bikin kamu kaget dek,” ucapnya. “Eh, iya gapapa! Ale-nya.. ada di mana ya, Mbak?” tanya Jian. “Ada di kamarnya dek, masuk aja gapapa. Orang-tua Ale lagi pergi kerja juga,” jawab Mbaknya.

“Sip dah, Mbak! Tenang aja, saya udah kenal orang-tuanya Ale kok. Sudah dapet restu juga Mbak, hahaha,” ucap Jian sembari tertawa ringan. “Widihh! Nanti jangan lupa sebar undangannya ke saya ya? Hahaha,” balasnya. “Itu mah pasti Mbak. Yaudah, saya ijin nengokin pacar saya dulu ya, Mbak. Permisi,” ucap Jian.

Setelah berbincang-bincang dengan pembantu di rumah Ale, Jiandra menaiki tangga; menuju ke kamar milik Ale. Ia sebenarnya tidak pernah melihat kamar Ale, jadi Jian hanya menebak-nebak saja letak kamar kekasihnya itu. Memang Ia sedikit bodoh.


Tok! Tok! Tok!

Terdengar suara ketukan dari pintu kamar Ale. “Iya, masuk aja!” seru Ale. Kekasihnya sudah datang untuk merawatnya malam ini. Ia melihat Jian dengan pakaian simple, namun tetap terlihat tampan. “Aku bawa bubur, mau?” tanya Jian, sembari mengambil kursi untuk duduk dekat kasur Ale.

“Nggak mau,”

“Harus dong, biar habis itu minum obat. Oke?”

“Maunya cuddle,”

Ale memajukan bibirnya seperti anak kecil yang sedang merajuk. “Pasti kok, tapi makan dulu ya? Kamu pucet gitu, harus makan terus minum obat. Biar cepet sembuh,” ucap Jian dengan suara yang lembut. “Yaudah, cepet,” celetuk Ale. Ia merasa kesal karena permintaannya tidak dikabulkan begitu saja.

Kekasihnya membuka wadah bubur tersebut, lalu mengaduknya dan meniupnya supaya tidak terlalu panas. “Nih, coba aaaa~” ucap Jian seraya mendekatkan sendok berisi bubur. Ale membuka mulutnya dan makanan itu pun masuk ke dalam mulutnya.

“Kamu jangan lupa banyakin istirahat ya? Makan sama minum perlu juga, jangan sampai nggak. Badan kamu panas gitu soalnya,” ucap Jian dengan khawatir. Ale hanya mengangguk nurut dan membuka mulutnya lagi untuk disuapi bubur.

Sampai akhirnya bubur itu habis setengah, Ale sudah merasa kenyang. Jian hanya meng-iyakan saja, karena Ia tahu bahwa kalau sedang sakit, nafsu untuk makan pasti menurun. Jian membereskan semuanya dan mengambil obat serta botol berisi air putih. “Bisa minum obatnya?” goda Jian. “Bisalah! Aku bukan anak kecil,” ucap Ale.

“Tapi kamu mirip anak kecil buat aku, gemes,”

“Terserah kamu,”

Lalu, Ale meneguk obat tablet dengan air putihnya secara bersamaan. Jian tersenyum secara tidak sadar saat melihat kekasihnya nurut seperti ini. “Udah?” tanya Jian. “Udah. Ayo, aku mau cuddle!” seru Ale. Lelaki yang lebih tinggi itu tertawa kecil karena tingkah kekasihnya yang menggemaskan itu.

Ale menggeser sedikit supaya Jian dapat duduk di sebelahnya. Ia sangat rindu dengan kekasihnya yang agak menyebalkan itu.

“Sini senderan,” ucap Jian, membuka lebar lengannya. Ale menyender di dada Jian dan menarik selimutnya. Jian memeluk tubuh Ale yang mungil dan tersenyum kecil. Ia mengelus-elus rambut Ale; supaya dapat membuatnya lebih nyaman dan hangat. “Jian,” panggilnya. “Hm? Kenapa sayang?” tanya Jian sembari menunduk, melihat kekasihnya.

Ale mengangkat wajahnya untuk melihat Jian. “Coba nyanyi, aku mau denger,” pintanya. “Pleaseeee?

Jiandra akhirnya mengalah dan tersenyum. Ia mengusap surai kekasihnya dan mulai bernyanyi sedikit untuknya. Lagian, bagaimana Ia bisa bertahan melihat wajah kekasihnya yang menggemaskan itu coba?

Then you smiled over your shoulder For a minute, I was stone-cold sober I pulled you closer to my chest And you asked me to stay over I said, I already told ya I think that you should get some rest

Saat mendengar lagu yang dinyanyikan Jian, akhirnya Ale ikut bernyanyu dengannya.

I knew I loved you then But you'd never know 'Cause I played it cool when I was scared of letting go I know I needed you But I never showed But I wanna stay with you until we're grey and old

Just say you won't let go Just say you won't let go..

Keduanya saling bertatapan dan tertawa kecil. Mereka saling mencintai, tak kekurangan apapun; selagi mereka saling memiliki. “Ale,” panggil Jian. “Apa?” tanya Ale. “Aku sayang kamu,” ucap Jian sembari mengusap-usap pipi kekasihnya. “Aku sayang kamu juga, hehe,” balas Ale, tersenyum.

Can you stay here with me?

Of course. I'll always stay by your side, Ale. Sekarang tidur ya?”

“Iya, good night.

Good night too, cutie.

Terakhir, Jiandra mengecup pucuk kepala Ale sebelum tertidur lelap.

written by kalacaffe.

CW // slight kissing, harsh words.

Setelah melihat pesan dari Haidan, Ia langsung tersenyum kecil. Lalu, tak lupa untuk membalasnya juga. Arjuna berangkat menggunakan motornya, seperti biasa. Hari ini cuaca tidak terlalu cerah, sehingga Arjuna harus berburu-buru untuk sampai ke sekolahnya.

Sesampai di sekolah, Ia memarkirkan motornya dan berlari masuk ke dalam kelas. Ia melihat teman-temannya berkumpul di suatu meja dan langsung menghampiri mereka. “Tumben lo nggak sampai duluan,” ucap Jiandra. “Haha, iya.. Agak lost aja gue tadi, masih rada ngantuk,” balas Juna.

Triinnnggggg!!

Bel sekolah berbunyi. Menandakan sudah waktunya untuk memulai proses belajar dan mengajar. Semua murid saat ini masih sedikit ngantuk di pagi hari ini.

Saat gurunya menjelaskan, Arjuna bukannya memperhatikan gurunya, Ia malah melihat ke arah Haidan secara diam-diam. Untungnya, Revaleaz berada di urutan meja paling belakang. Ia melihat semua fitur-fitur wajah lelaki itu. Terutama rahangnya yang tajam.

“Ngapain ngeliatin gue tuh?” tanya Haidan, berbisik. Sial, Arjuna tertangkap. “Dih, m-mana ada? Ke-geeran lo,” bisik Juna balik. Haidan hanya tertawa kecil tanpa suara, supaya tidak ketahuan oleh guru yang sedang mengajar.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya Arjuna tidak begitu kesal dengan ke-usilan ataupun tingkah Haidan. Itu hanya salah satu caranya untuk menutupi perasaannya yang secara pribadi terhadap Haidan. Di luar terlihat kesal, padahal nyatanya Ia sedang salah tingkah.

Keduanya memliki sifat yang berbeda, kecuali ke-gengsiannya. Haidan suka usil, bertingkah. Tapi Arjuna? Ia mudah emosi dan lebih.. tenang? Pokoknya jauh lebih bisa diatur jika dibandingkan dengan Haidan. Bisa dikatakan, mereka saling melengkapi.

Kenyamanan yang mereka rasakan saat bersama itu indah. Walaupun kedua lelaki itu saling meragukan perasaan mereka, tak pernah sekalipun Haidan atauapun Arjuna menyerah. Mereka saling mencari tahu sifat, kepribadian, hal yang disukai maupun tidak disukai. Supaya nanti, saat mereka sudah siap untuk menjalin hubungan secara romantis, mereka hanya tinggal menjalankannya.


Akhirnya, beberapa pelajaran telah usai. Waktunya untuk istirahat dan makan siang. “Juna!” panggil Haidan. “Kenapa?” tanya Juna. “Jangan lupa traktir,” ucap Haidan. “Iya-iya dah, ayo ke kantin.”

Mereka berdua berjalan bersampingan. Haidan juga tidak sesekali saja melihat-lihat Arjuna yang berada di sampingnya. “Ada apa di muka gue?” tanya Arjuna, Ia sadar bahwa dari tadi Haidan mencuri-curi pandangan terhadapnya. “Coba sini lihat gue,” ucap Haidan.

Arjuna pun menuruti kata Haidan. “Cepet,” ucap Arjuna. “Sebentar anjir, sabar ngapa dah,” balas Haidan. Tiba-tiba wajah Haidan mendekat, dan..

Cup!

Sebuah kecupan singkat mendarat di pipinya. Haidan tertawa kecil karena melihat wajah Arjuna yang memerah. Sahabatnya itu sedang malu, malah ditertawakan. “Maaf, lo gemes banget soalnya Jun,” ucap Haidan. Ia langsung menlanjutkan langkahnya, meninggalkan Arjuna di belakang.

“W-woi! Tungguin gue bangsat!”

Setelah kejadian itu, Haidan sebenarnya sedikit khawatir. Bagaimana bila hubungan persahabatan mereka menjadi rusak karena perbuatannya? Ia harus apa nanti? Semua pertanyaan tersebut timbul secara satu-persatu di benaknya.

Di sisi lain, Arjuna merasakan kupu-kupu di dalam perutnya. Belum pernah Ia dikecup oleh satu orang pun. Apalagi pelakunya adalah sahabatnya sendiri. “Gue.. bisa gila,” batinnya.

Tanpa lama, Arjuna membelikan cilok sebungkus untuk Haidan sambil bersikap malu-malu. Ia masih tidak bisa melupakan kejadian tadi. “Thanks ya, Jun,” ucap Haidan. “Hah? B-buat apa?” tanya Arjuna. “Ya.. buat cilok ini lah, sama yang tadi hahaha,” jawab Haidan. Bisa-bisanya Ia masih bisa tertawa ringan di hadapan Arjuna.

“Nggak usah ketawa lo, bau!”

“Cie, bilang aja lo salting elah,”

“Bodo,”

Haidan menggigit ciloknya sembari terkekeh. Ia juga sesekali mengelus tengkuk Arjuna karena rasa gemas terhadapnya. “Tapi lo suka kan?” tanya Haidan. “Kaga usah bahas itu lagi,” ucap Arjuna. “Hahaha, iya deh, ngalah sama lo lagi cil,” balas Haidan.

Tiba-tiba, sekumpulan teman-temannya menghampiri mereka berdua. “Widih, ada yang lagi cinlok nih?” goda Jiandra. “Diem Ji, takut si maung marah tuh, mukanya aje udah serem macem valak gitu,” ucap Jendra. “Sekali lagi ngomong, gue jadiin lo berdua martabak,” ancam Arjuna dengan muka kesalnya. Tapi sayangnya, bagi Haidan.. itu adalah suatu hal yang menggemaskan.

“Eh, by the way busway, pacar lo ke mana Ji?” tanya Haidan, basa-basi. “Oh, si Ale? Biasalah, lebih suka di kelas dia mah. Nyatet gitu-gitu,” jawab Jiandra. “Noh, contohin si Kale. Jangan males-malesan lo pada,” ucap Arjuna. “Emang lo sendiri kaga, Jun?” tanya Alen.

“Hadeh, gue mah anak rajin!” seru Arjuna. “Udah weh, nanti lo semua dijadiin martabak sama ini bocil,” goda Haidan. Arjuna hanya memutar bola matanya, berusaha menahan emosinya.

Mereka semua tertawa melihat wajah Arjuna yang kesal. Suka sekali menggoda anggota paling tua band mereka. Alasannya? Seru, dan karena mereka sudah begitu dekat.

“Udah yuk, balik ke kelas. Bel udah bunyi juga,” ajak Jendra. “Kuy lah,” balas yang lainnya. Haidan dan Arjuna beranjak dari kursi, lalu mengikuti teman-temannya dari belakang. Sebenarnya, saat ini.. Haidan ingin menggapai tangan mungil Arjuna dan menggenggamnya dengan erat. Tapi, itu untuk lain kali saja. Semoga bisa tercapai.

written by kalacaffe.

CW // harsh words.

“Sana pergi,”

“Memang gue mau pergi, idih,”

Keduanya membuang muka dan mempertahankan ke-gengsian mereka. Jujur saja, di dalam lubuk hati terdalam, mereka sebenarnya tidak ingin berpisah. Haidan, masih ingin memeluk Arjuna. Sebaliknya pun juga. Tapi sayangnya, rasa gengsi menutupi semua keinginan itu.

Akhirnya, Haidan beranjak dari kursinya dan keluar dari kamar milik Arjuna. Di sisi lain.. Arjuna masih diam mematung. Ia sedang beradu dengan ke-gengsiannya. “Should I stop him? Atau nggak usah..?” batinnya. “Gue ngintip liat dia dulu aja kali ya?” lanjut Juna.

Arjuna mengintip sedikit dari celah pintu kamarnya; untuk melihat Haidan. Ternyata, Haidan masih terdiam sebentar di depan pintu. Arjuna mulai bingung. Kenapa sahabatnya tidak pergi saja langsung?

“Gue pergi nih ya?” suara Haidan terdengar hingga ke telinga Arjuna. “Jangan ngerengek nanti,” lanjutnya. Arjuna masih berpikir sesaat untuk merespon lelaki itu. “Udahlah anjing,” umpat Arjuna secara diam-diam. Ia keluar dari kamarnya dan menyusul di mana Haidan berada. Ya.. akhirnya Ia mengalah dengan rasa gengsinya. Untuk sementara.

Haidan berusaha menahan senyumannya saat mendengar langkah Arjuna yang sedang menghampirinya. Ia pun berbalik badan dan menatap kedua mata sahabatnya itu. “Kenapa nggak langsung pergi aja?” tanya Arjuna. “Ya.. tererah gue lah. Lo sendiri ngapain nyusul gue?” tanya Haidan, menyerang balik.

“Lo.. lo..”

“Lontong?”

“Bukan anjing!”

“Terus apaaaa? Hmmm?”

“Lo.. beneran mau pergi ninggalin gue?”

Lelaki yang lebih tinggi itu terkekeh kecil. Ia mengusap-usap surai Arjuna dan tersenyum. “Emang gue se-tega itu? Hm?” tanya Haidan. Arjuna langsung membuang muka supaya muka merahnya tidak terlihat. “Y-ya.. lo kan orangnya gitu! Mana gue tau lo tega atau nggak!?” celetuk Arjuna, berusaha menahan rasa malunya. “Gitu gimana coba? Gue tanya,”

“Sinting,”

“Dih, kalau gitu gue pergi beneran nih,”

“Baperan ah lo, mending makan es krim aja,”

“Itu baru gue mau!”

Arjuna menghela nafas dan berjalan ke arah sofa di ruang tamu. Lalu, Haidan mengambil dua batang es krim yang Ia beli tadi dari freezer-nya Arjuna. Ia masih mempertahankan senyumannya karena.. saat ini dirinya merasa sangat bahagia. Tentu, karena Arjuna seorang.

Kedua kakinya berjalan kembali ke arah sofa, dan Ia duduk di sebelah sahabatnya. “Nih, habis itu jangan lupa minum air putih,” ucap Haidan sembari memberi es krim kepada Arjuna. “Iya, bawel lo,” balas Arjuna seraya menerima es krim dari Haidan, lalu memakannya.

“Buset, lo makan es krim di gigit? Psikotes ya lo?”

“Bukan, gue psikomotor,”

“Seiusan Jun?”

“Nggak lah goblok! Gue lebih suka aja ngegigit, emang kenapa dah?”

“Gapapa sih, cuman aneh aja,”

Why?”

“Aneh kenapa lo masih makan es krim, padahal lo sendiri aja udah manis,”

Arjuna langsung terdiam. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga kedua pipinya pun memerah seperti tomat. “I'm just telling the truth though,” ucap Haidan dengan ringannya, seraya memakan es krim-nya. “Lo bisa diem nggak sih, Dan? Can't you see gue jadi gini gara-gara lo?” batinnya. Ia salah tingkah karena ucapan—ralat, gombalan Haidan untuk ke-sekian kalinya.


Setelah selesai memakan es krim, mereka berdua mati daya. Tidak tahu harus melakukan apa lagi; alias situasinya kini menjadi canggung.

“Dan,”

“Jun,”

Keduanya saling memanggil secara bersamaan. “Lo aja dulu, kenapa?” tanya Haidan. “Nggak jadi, gue udah lupa. Lo sendiri kenapa?” tanya Arjuna balik. “Erm.. Gue ijin pulang, boleh? Udah malem gini juga,” ucap Haidan sembari menatap Arjuna. Lelaki yang lebih pendek itu belum memberikan respon lagi. Haidan melihatnya sedikit menunduk.

“Kenapa, Jun? Lo ada masalah?” tanya Haidan dengan rasa khawatir. “E-eh, gapapa Dan. Pulang gih,” jawab Arjuna, memberikan senyuman paksa. Reflek, Haidan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Oh.. oke deh. Nggak mau cium gue dulu nih?” tanya Haidan, diikuti dengan tawaan ringan.

“Udah sana pulang anjir, makin aneh lo!” seru Arjuna, Ia malu. “Hahaha, yaudah-yaudah.. Gue pamit! See you tomorrow!” ucap Haidan. Lelaki tersebut berdiri dan keluar dari rumah kost Arjuna. Di sisi lain, sudah ada yang merasakan rindu.

Arjuna kembali ke dalam kamarnya dan mengambil ponsel serta earphone-nya. Ia mendengarkan lagu di malam itu, sendirian. Salah satu harapannya adalah mendengarkan lagu bersama dengan Haidan. Entahlah kapan itu akan terjadi.

Beberapa menit kemudian, tiba-tiba ada sebuah pesan teks masuk. Ia berserikas melihatnya, dan ternyata.. itu dari Haidan. Lelaki itu mengucapkan “good night” kepadanya. Tanpa sadar, sebuah senyuman tertampak jelas di wajah Arjuna.

“Haidan, kok lo bisa ya? Selalu aja, berhasil bikin gue senyum-senyum sendiri kaya orang gila.”

written by kalacaffe.

CW // harsh words, cigarettes, smoking.

Setelah bertukar pesan dengan salah satu sahabatnya, Haidan langsung bersiap-siap dan menyalakan mesin motornya. Ia mengendarai kendaraan tersebut hingga ke tempat yang dituju, yaitu tempat tongkrongan mereka.

Sesampainya di tujuan, Haidan memarkirkan motornya dan turun. Ia mencari sebuah bangku untuk di duduki. Melihat ke sana kemari, belum ada sosok Jiandra. “Yeh.. kebiasaan telat dah itu anak,” monolognya sembari membuka bungkus kotak berisi rokok.

Tak lama kemudian, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang tinggi menghampirinya. “Maaf gua telat bro, tadi sempet macet di jalan,” ucapnya. “Gapapa Ji, santai aja. Sini duduk sebelah gue,” ujar Haidan. “Nih, mau?” tawar Haidan, Ia menawarkan sebatang rokok. “Mau dong,” jawab Jian, menerima benda tersebut.

Keduanya merokok di malam hari, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Haidan dan Jiandra juga lumayan dekat. Mereka hampir memiliki sifat yang mirip. Maka karena itu, Ia dan Jiandra bisa disebut se-frekuensi saat berbincang-bincang tentang apapun.

“Jadi.. gimana?”

“Apanya Ji?”

“Lo ada masalah?”

“Bukan masalah sih.. tapi lebih ke apa ya? Bingung?”

“Bingung karena?”

“Gue bingung, sebenarnya gue dianggap apa sama Juna. Lo tau sendiri, gue suka sama dia dari lama. Gue memang orangnya gengsian, sesuai dengan apa kata lo. Tapi gue selalu perhatian kok sama dia, gue ajakin dia pergi bareng, gue traktir juga. I don't know gue di mata dia itu apa, Ji. Apa gue tetap dianggap sebagai sahabat doang?”

Jiandra membuang batang rokoknya dan menepuk bahu Haidan dengan perlahan. “Gini Dan.. coba lo turunin rasa gengsi lo itu, mulai tunjukkin kalau lo suka sama dia. Mungkin bisa mulai sedikit dinaikin level-nya? Kasih dia afeksi apa kek dan kebetulan lo sendiri love language-nya physical touch. Udah, jangan diambil pusing bro.. jalanin aja,” ucap Jian. Ia menyetujui semua perkataan Jian.

Mungkin memang sudah saatnya Ia berani.

Lelaki itu juga membuang batang rokoknya dan tersenyum kecil. “Iya kali ya? Bakal gue coba dah besok.. atau mungkin lusa,” ucap Haidan. “Hari ini aja!” seru Jian. “Maksud lo?” tanya Haidan. “Maksud gua, lo coba telponan gih sama Juna, sleep call atau gimana kan bisa. Atau kalian bisa coba ngobrol-ngobrol ringan sebelum tidur juga bisa,” usul Jian.

Ketika mendengar ide tersebut dari Jian, Ia langsung tersenyum lebar. “Widih, boleh juga ide lo! Tumben bener otak lo berguna Ji,” celetuk Haidan, tertawa kecil. “Udah dibantu malah ngelunjak, ye bangsat bener,” ucap Jiandra, sedikit kesal. Tiba-tiba, di tengah percakapan mereka, ada sebuah pesan masuk dari ponsel Haidan.

Ia membukanya dan melihat bahwa pesan tersebut merupakan dari Arjuna. Haidan langsung merasa sangat senang, Ia bahkan memukuli lengan Jian. “Seneng boleh, tapi jangan pake acara mukul gua juga anjing!” celetuk Jiandra seraya mengusap-usap lengannya. “Ssst.. diem dulu lo. Gue jawabin si bocil dulu,” ucap Haidan, masih menatap layar ponselnya.

“Dih, dasar bucin.”


Di sisi lain, Arjuna sengaja mengirim pesan teks kepada Haidan karena Ia merasa rindu dengannya. Kebetulan, Haidan langsung membalasnya se-cepat kilat. Ternyata tebakannya benar, Haidan sedang merokok. Arjuna tidak menyukai hal tersebut. Karena, Ia tau.. itu dapat membuat orang jatuh sakit karena merokok.

Kini.. Arjuna dan Haidan sedang melakukan video-call. Awalnya, Arjuna hanya meminta selfie, tapi Haidan mengajaknya untuk melakukan video-call saja. Tentu, Ia akan mengambil kesempatan emas itu.

“Lagi ngapain lo di luar?”

Udah gue bilangin, lagi nongki bentar sama Jian. Lo kangen gue ya?

“Idih, ke-geeran lo!”

Tinggal bilang aja sih, bakal langsung gue samperin rumah lo,

Arjuna sedikit terkejut.

“S-serius lo?”

Iyalah! Gimana? Mau atau nggak nih?

“Mau..”

Apa? Maaf nggak kedengeran anjir, di sini banyak mobil sama motor lewat,

“Gue bilang mau, budeg!”

Ohh, oke. Gue bentar lagi ke sana. Sabar ya cil!

Sambungan tersebut pun dimatikan. Sekarang, Arjuna merasakan rasa gugup di kamarnya yang sudah dingin ini. Ia mengira Haidan hanya ber-omong kosong, ternyata tidak. Arjuna langsung memakai jaket berwarna abu-abunya dan menunggu di ruang tamu.

Sekitar lima-belas menit telah lewat. Sebuah ketukan di pintu rumahnya pun terdengar jelas. Arjuna langsung bergegas ke arah pintu dan membukanya; sembari mempertahankan muka jutek-nya. “Nggak lama kan?” tanya Haidan sembari melepas sendal.

“Lama,” jawab Arjuna. “Maaf ya? Gue bawain lo es krim juga, barangkali buat lo ngemil nanti atau.. besok juga bisa. Takutnya lo bisa pilek nanti kalau makan es krim malem-malem gini,” ucap Haidan, suaranya menjadi lembut. Arjuna tidak pernah mendengar suara Haidan se-lembut itu saat berbicara dengannya.

Mereka berdua memasuki kamar Arjuna yang sudah rapi itu, tapi hal tersebut tidak membuat Haidan terkejut. Karena Ia tahu, bahwa Arjuna merupakan orang yang sangat mengutamakan kebersihan ataupun kerapihan.

So.. what do you wanna do?” tanya Haidan seraya duduk di sebuah kursi. “I don't know.. lo sendiri mau ngapain?” tanyanya balik. Haidan terdiam sementara, membuat suasana sedikit canggung karena sangat sunyi.

“Peluk lo boleh?”

Sebentar.. Arjuna tidak salah dengar kan? “Lo.. bilang apa tadi?” tanya Arjuna untuk memastikan pedengarannya. “Nggak jadi,” ucap Haidan dengan cepat.

“Boleh.”

Arjuna mendekatkan dirinya pada Haidan. “Lo mau peluk gue kan?” tanyanya. Haidan mengangguk pelan dan langsung menarik Arjuna dengan perlahan ke dalam pelukannya. “Juna..” panggilnya. “Apa?” balas Arjuna. “Lo pas banget di lengan gue, kalau sering-sering peluk begini.. gapapa? Kalau lo nggak mau—”

“Iya, mau Dan.”

written by kalacaffe.

CW // harsh words.

Haidan, Arjuna, Jendra dan Jiandra. Mereka berempat sudah bersahabat dari kecil, lebih tepatnya dari TK. Keesempat lelaki itu juga sedang jatuh cinta kepada pujaan hati masing-masing. Terutama Haidan dan Arjuna, mereka sudah saling suka sejak SMP. Tetapi, keduanya terlalu gengsi untuk menunjukkan perasaan asli masing-masing.

Mereka membentuk sebuah band yang bernama Revaleaz Band. Ketua mereka adalah Jendra, juga seorang bassist. Jiandra, seorang lead gitarist. Haidan di posisi drummer dan terakhir, Arjuna di posisi keyboardist. Lalu, tak lama kemudian, mereka menambahkan anggota di dalam band tersebut. Bernama, Alen.. seorang rhythm gitarist.

“Woi, Juna!”

“Apaan?!”

“Beli cilok mau?”

“Tapi lo yang traktir,”

Sebagai respon, Haidan mengacungkan jempol. Kedua Adam tersebut berjalan bersama ke arah kantin karena sudah waktunya jam makan siang di sekolah mereka. Dengan reflek, Haidan merangkul bahu Arjuna. Suatu aksi yang normal di antara hubungan persahabatan.

Tapi.. tanpa Haidan sadari, kelakuannya membuat jantung Arjuna berdetak dengan cepat. Jarak mereka begitu dekat secara bersampingan.

“Jun.. mau beli berapa?” tanya Haidan. “O-oh iya, kenapa?” tanya Arjuna balik, kembali dari lamunannya. “Hadeh.. fokus dong! Lo mau beli berapa cilok gue tanya?” ulang Haidan. “Satu aja,” ucap Arjuna. “Oke deh,” balasnya. Haidan pun membeli cilok untuk masing-masing dengan uangnya.

Lalu Ia memberikan salah satu ciloknya kepada Arjuna. “Nih udah gue bayar, jangan lupa habisin,” ujar Haidan. “Iye, punya lo juga bakal gue makan kali,” balas Juna. “Somplak ah lo!” celetuk Haidan, kesal dengan balasan Juna. “Bercanda hehehe,” ucap Juna, Ia malah cengengesan.

Setelah mendapatkan jajanan yang mereka inginkan, mereka berjalan kembali ke dalam kelas. Untungnya, tempat duduk Haidan persis di sebelah Arjuna.

By the way Dan,”

“Kenapa?”

“Lo.. masih inget pas gue pindah sekolah nggak?”

“Masih, pas SD kan? Terus kita kumpul bareng lagi pas kelas SMP 3 and Jendra bikin band itu,”

Arjuna mengangguk sembari mengunyah makanannya. “Emang kenapa? Tiba-tiba bener lo nanya begituan?” tanya Haidan. “Gapapa sih.. gue cuman penasaran aja kalian gimana kabarnya pas gue terpaksa pindah sementara karena perjalanan bisnis orangtua gue,” jawab Arjuna.

“Ya.. gimana ya,” Haidan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sebenarnya, saat itu Haidan rindu sekali terhadap sahabatnya, Arjuna. Ia paling dekat dengannya di antara mereka. “Baik-baik aja sih Jun, gue jadi bisa bebas juga,” ucap Haidan, biasalah Ia sengaja usil. “Bodo ah,” ujarnya. Haidan tertawa kecil karena Ia selalu berhasil membuat Arjuna kesal dengan ke-usilannya.

Tiba-tiba, Haidan berdiri dan berjalan ke arah depan meja Arjuna. “Ngapain lo?” tanya Arjuna, mengangkat wajahnya seraya melihat Haidan. Tangan kiri milik Haidan digunakan untuk mengusap-usap rambut Arjuna dengan perlahan. “Nggak usah ngambek gitu, kaya cewek aja lo,” ucap Haidan. “Idih,”

“Nanti gue beliin es krim deh,”

“Martabak,”

“Malah ngelunjak.. yaudah, gue beliin martabak nanti. Keju manis kan?”

“Hu'um.”

Ketika sudah selesai beradu mulut, Haidan kembali ke tempat duduknya. Ia melihat Arjuna yang masih menopang dagunya di atas meja. “Gemes,” pikirnya. Kemudian teman-teman lainnya seperti Jendra, Jian dan Alen kembali ke kelas tersebut. “Kenapa tuh anak?” tanya Jendra, menunjuk Arjuna. “Biasalah Jen, palingan si Haidan iseng lagi,” celetuk Jian. “Bener juga lo.”

Bel sekolah telah berbunyi kembali, menunjukkan sudah waktunya untuk pelajaran berikutnya dimulai. Yaitu pelajaran yang paling tidak disukai murid-murid.. mata pelajaran matematika. Sungguh memusingkan.


Akhirnya, setelah berjam-jam di sekolah, tibalah waktunya untuk pulang ke rumah dan istirahat. Namun tidak sama halnya dengan Haidan, Ia memiliki hutang membelikan martabak untuk Arjuna sesuai perkataannya tadi. “Mau pergi beli barengan atau gue anterin ke rumah lo?” tanya Haidan sembari merapikan mejanya.

”..areng aja,”

“Apa tadi?” tanya Haidan, tidak mendengar perkataan Arjuna dengan jelas. “Bareng aja! Budeg ya lo?” celetuk Juna. “Santai dong bos! Ayo pergi bareng, tapi motor lo gimana?”

“Ya.. naik motor masing-masing lah! Masa boncengan?”

“Oh hahaha, oke-oke deh. Yuk?”

Sebenarnya, Haidan ingin ucapan Juna terjadi sungguhan. Tapi sudahlah.. Ia mengalah dengan ekspetasinya yang terlalu tinggi itu. Mereka berdua menaiki motor milik masing-masing untuk ke tempat penjual martabak. Hanya butuh sekitar lima-belas menit, tidak terlalu jauh dari sekolah mereka.

Sesampainya di tempat tersebut, Haidan dan Arjuna memarkirkan kendaraan mereka. Haidan langsung memesan martabak satu kotak rasa keju manis; kesukaan Arjuna. Sembari menunggu pesanannya, kedua lelaki itu sibuk dengan ponsel masing-masing.

“Atas nama Kak Juna!”

Haidan langsung beranjak dari tempat duduknya dan mengambil pesanannya. Lalu, Ia berikan kepada Arjuna. “Nih, habisin. Hari ini dompet gue tambah kering gara-gara lo,” keluh Haidan. “Halah, siapa suruh tadi nawarin martabak?” Arjuna mendecak kesal. Karena merasa Arjuna menggemaskan saat kesal, Haidan langsung mengacak-acak rambutnya dengan lembut. “Yuk pulang,” ajak Haidan.

“Rambut gue jadi berantakan gara-gara lo bangsat!” bisik Arjuna dengan kesal.

“Biarin, lo lucu soalnya.”

Tanpa sadar, kedua pipi Arjuna terasa panas. Ia berhenti meresponi Haidan dan mengalah saja. “Tuh kan,” ucap Haidan. “A-apa lo?!” celetuk Arjuna. “Hahaha, udah ayo pulang, keburu hujan nanti.”

Keduanya pun pulang ke rumah masing-masing setelah beradu mulut di tempat penjualan martabak itu. Haidan merasa sangat senang hari ini, karena Ia sempat pergi dengan gebetan-nya walau hanya sebentar. Ia suka saat Arjuna merasa kesal karena ke-isengannya. Menurutnya, itu adalah suatu hal menggemaskan dan menyenangkan untuk dilihat.

Ia juga tahu, walaupun Arjuna adalah seseorang yang mudah emosi, Arjuna mempunyai hati yang lembut. Maka karenanya, Haidan jatuh hati kepada sahabatnya sendiri, Arjuna Loknantara.

written by kalacaffe.

markmin: mark as marcel & jaemin as nael. u might wanna listen to horror music while reading this one-shot.

TW // horror, thriller, psychopath, murder, blood, and major character death. CW // harsh words.

Nael adalah seorang lelaki berusia tujuh belas tahun yang sudah kehilangan kedua orang-tuanya. Akhirnya, Ia terpaksa harus tinggal di tempat panti asuhan. Tante Amira yang merupakan Tante-nya Nael, mengusulkan bahwa Nael lebih baik tinggal di dalam panti asuhan.

Jujur saja, Nael sendiri tidak ingin tinggal di panti asuhan. Ia masih ingin tinggal di rumahnya. Namun, karena adanya kasus pembunuhan di rumah itu yang menyebabkan kedua orang-tuanya meninggal, Ia terpaksa untuk tidak tinggal lagi di rumah tersebut. Kasus pembunuhan kedua orang-tuanya belum terpecahkan oleh polisi. Mungkin dikarenakan pembunuhnya sangat licik dan pintar.

Sekarang, Ia berada di depan bangunan panti asuhan. Melihat dari atas hingga ke bawah, menelusuri setiap area bangunan itu. Indah, banyak sekali pohon-pohon dan tanaman di sekitarnya. Oh iya, panti asuhan tersebut terletak di dekat hutan. Karena hal itu, udara di sekitarnya sangat segar.

“Halo! Ayo masuk, kamarmu sudah siap,” ajak lelaki itu, yang berada di depan pintu. Mungkin Ia adalah salah satu pengurus panti asuhannya. Nael hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Ia mengikuti dari belakang, hingga sampai di depan ruangan. Sepertinya itu adalah kamarnya.

“Terima kasih...?”

“Marcel, panggil saja Acel,”

“Oke, hahaha. Makasih Acel,”

“Sama-sama, Nael. Kamu boleh istirahat, tapi nanti jangan lupa makan malam ya,”

“Baik. Makan malam di..?”

“Di dekat dapur.”

Setelah Nael paham, Ia mengangguk dan dibalas dengan senyuman oleh Marcel. Pintu kamarnya yang berbahan kayu itu pun tertutup rapat, tas serta kopernya ditaruh di dekat kasur dan Ia merebahkan dirinya di atas kasur. “Acel.. tampan juga ya?” Ia terkekeh kecil saat memikirkan paras Marcel.

Ia berganti baju, menggunakan baju tidur yang nyaman. Lalu, Ia merapikan pakaian-pakaiannya dengan cara dimasukkan ke dalam lemari baju. Tiba-tiba, Nael menemukan sebuah foto polaroid.

“Ini apa..”

Saat melihat foto tersebut dengan jelas, ternyata itu adalah sebuah foto seseorang menggunakan topeng sembari membawa pisau yang berlumuran darah. Di belakang orang itu, ada kedua orang-tuanya Nael—yang tergeletak di lantai, sudah tidak bernyawa. Ia melihat belakang polaroid itu, ada sebuah tulisan. Tertulis,

They say his disorder makes him charming, makes it easy for him to fake normalcy.

Otak Nael tidak dapat bekerja dengan baik sekarang. Ia masih terkejut dengan foto yang menampakkan kedua orang-tuanya, telah dibunuh.

Tok! Tok! Tok!

Bunyi ketukan pintu terdengar di kedua telinga Nael. “Waktunya makan malam!” seru seorang lelaki. Ya, itu adalah suara Marcel. “Iya, aku akan ke sana bentar lagi!” balas Nael. Ia langsung merapihkan penampilannya dan keluar dari kamarnya untuk makan malam bersama dengan anak-anak lainnya.

Tempat panti asuhan ini sangatlah luas. Mirip seperti istana. “Sepertinya ini bukan sembarang panti asuhan”, pikir Nael. Ada sebuah tangga yang besar, perpustakaan yang terlihat luas juga, lalu dapur yang terasa hangat.

Hampir semuanya berbahan keramik dan kayu. Setelah sampai di area tempat makan, Ia menarik kursi dan duduk di meja makan bersama anak-anak asuh lainnya.

Entah mengapa.. mereka terlihat pucat dan lemas. Tetapi mereka menutupinya dengan sebuah senyuman—yang terlihat palsu—di mata Nael. Ia berusaha untuk membuang rasa curiga itu terhadap panti asuhan ini jauh-jauh.

“Aku memasak steak dengan french fries untuk kalian semua, harap dihabiskan yaa!” ucap Marcel. Semuanya mengangguk dan langsung melahap makanan tersebut. Tetapi, Nael masih diam mematung. “Nael, kau kenapa? Apakah makanannya tidak sesuai dengan seleramu?” tanya Marcel.

“O-oh tidak! Akan ku makan segera, aku hanya sedang ada banyak pikiran. Tenang saja, aku akan makan,” jawab Nael, tersadar kembali.

“Baiklah, jika ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, kau boleh bercerita kepadaku,” ucap Marcel, kemudian tersenyum.

“Siap!” seru Nael.

Nael langsung memakan hasil masakan Marcel, dengan jantungnya yang berdegup kencang karena ucapan serta senyuman yang diberikan oleh Marcel. Ia telah menyukai lelaki tampan itu.

Beberapa menit telah berlalu, Nael dan anak-anak asuh lainnya sudah menghabiskan makan malam mereka. Ternyata, masakan Marcel se-enak itu.

Jarum pendek menunjukkan pukul sepuluh malam, menandakan bahwa sudah waktunya untuk tidur. “Yuk, kembali ke kamar kalian. Waktunya untuk tidur,” ucap Marcel. “Ah iya, kalian TIDAK diperbolehkan untuk keluar dari kamar kalian lagi setelah masuk. Oke? Hanya bisa keluar lagi saat pagi jam tujuh nanti,” lanjutnya dengan tegas.

“Siap, kami mengerti!” ucap mereka semua secara serentak. Nael bersama anak-anak itu kembali berjalan ke arah kamar masing-masing. Namun saat di jalan, Nael terhenti. Membuat Marcel juga ikut ke menghentikan langkahnya yang sedang menuntun mereka kembali ke kamar.

“Kenapa, Nael?”

“Aku ingin bertanya sesuatu..”

“Silakan,”

“Kenapa kami tidak diperbolehkan untuk keluar lagi dari kamar saat malam-malam?”

Marcel terdiam sesaat. Ia terlihat ragu untuk menjawab pertanyaan milik Nael. “Aku tidak terlalu bisa menjawabnya. Tapi, jika kalian keluar dari kamar kalian pada saat malam-malam seperti itu, kalian akan ada dalam situasi yang berbahaya,” jawab Marcel.

“Berbahaya karena..?

“Maaf, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu lebih lanjut. Waktunya untukmu tidur sekarang. Selamat malam, Nael.”

Lelaki itu langsung pergi meninggalkannya dengan raut wajah yang serius. Membuat Nael semakin curiga dengannya ataupun tempat panti asuhan ini. Ada yang tidak beres.

Ia memasuki kamarnya kembali setelah menutup pintunya dengan amat rapat.

Nael mengeluarkan foto polaroid itu dan melihatnya kembali. Ya, walaupun sedikit menyeramkan, Ia tetap berusaha memecahkan “teka-teki” ini. Apa maksud dari tulisan tersebut? Mengapa bisa tertulis itu? Siapa yang menulis-nya?

Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala Nael sekarang. Sepertinya malam ini, Ia tidak dapat tidur dengan nyenyak.


“Aduh anjir.. haus,” monolog Nael. Dirinya terbangun di saat tengah malam dengan tenggorokannya yang terasa kering. Ia mencari-cari botol minum ataupun gelas berisi air di sekitar kamarnya, ternyata hasilnya nihil.

Mau tidak mau, Ia harus keluar dari kamar ini untuk mengambil air di dapur. Memang, sial.

Tangan kanannya memutar kenop pintu kamarnya dengan perlahan, berusaha untuk tidak ketahuan oleh Marcel. Karena Ia ingat, keluar dari kamar masing-masing saat malam-malam seperti ini tidak diperbolehkan, atau dilarang.

Namun apa boleh buat, Nael adalah seorang manusia. Ia merasakan ke-hausan, sehingga tenggorokannya sangat kering. Akhirnya Nael berjalan secara diam-diam, berusaha untuk tidak mengeluarkan ataupun menimbulkan suara.

Sesampainya di dapur, Ia mengambil sebuah gelas bening dan mengisinya dengan air mineral. Saat Ia minum, tiba-tiba terdengar sesuatu di telinganya.

Begitu Ia selesai meneguk seluruh air yang ada di dalam gelasnya, Ia langsung berjalan ke arah suara asing tersebut.

Bruk.. bruk.. bruk..

Seperti seseorang yang sedang memotong sesuatu menggunakan pisau daging yang besar itu. Nael berjalan perlahan-lahan ke arah basement. Itulah di mana suara tersebut berasal.

Rasa merinding, takut dan penasaran bercampur. Tetapi rasa penasaran itu jauh lebih besar, mengalahkan rasa takut Nael.

Ia mengintip pada pintu yang sedikit terbuka itu. Memperlihatkan sosok pria.. atau laki-laki, yang menggunakan topeng. Persis seperti pada foto polaroid yang Ia temukan tadi sore.

Dengan kedua matanya, Ia melihat laki-laki tersebut memotong sesuatu. Suatu daging yang baunya sangat menyengat hingga tercium baunya oleh Nael. Ia terbatuk sedikit.

“Ada siapa di sana?”

Sial. Nael tertangkap. Lelaki bertopeng itu menghentikan kegiatannya dan berjalan ke arah pintu. Nael langsung sembunyi di balik pintu, karena untuk kembali ke kamarnya akan membutuhkan durasi yang lama.

Nafasnya kini sudah tidak teratur. Tapi, mau tidak mau, Nael harus bisa menahan nafasnya supaya tidak ketahuan.

Krekkkk...

Pintu yang digunakan Nael untuk bersembunyi ditarik dari lelaki itu. Oh, tidak. Ia tertangkap. “T-tolong, jangan apa-apakan a-aku..” mohon Nael. Lelaki bertopeng itu menariknya dengan kuat, masuk ke dalam ruangan basement.

Ketika Nael memasuki ruangan basement, bau tersebut begitu menyengat di hidungnya. Lalu, Ia terkejut. Ada banyak sekali tumpukan-tumpukan tubuh anak-anak kecil ataupun seumurnya di situ. Mereka sudah tidak bernyawa lagi. Meninggal. Berdarah banyak.

“K-kau.. siapa?” tanya Nael, setelah diikat dengan sebuah tali oleh lelaki bertopeng tersebut. “Aku? Aku yakin kau sudah mengenal diriku,” ucapnya.

Nael menelan ludahnya dengan rasa takut. “M-marcel..? Tidak m-mungkin..”

Topeng tersebut pun dilempar ke sembarang arah. Menampakkan wajah yang sangat tampan dan tidak asing.

Tebakan Nael benar. Itu adalah Marcel.

Surprise! Bagaimana? Kau suka kejutannya?” tanya Marcel, tanpa merasa bersalah sedikit pun. Nael terdiam sesaat. Ia berusaha mencerna semua ini dalam waktu singkat. “Nael..? Kau.. kenapa?”

Tanpa lama kemudian, Nael tertawa kencang. Seperti orang yang gila. Ia tertawa tanpa sebab sembari melihat Marcel dengan tatapan yang meremehkan. “Aduh, astaga.. maaf aku tertawa. Kau sangat lucu sekali!” ucap Nael.

“Maksudmu?”

“Ternyata kau juga bodoh ya? Mau ku jelaskan dari awal kah?” Nael tertawa kecil. “Aku yakin, kau pasti kenal diriku dan keluargaku dari awal, terutama sebelum kita bertemu di panti asuhan ini. Kau pasti tahu kan? Kedua orang-tuaku meninggal karena dibunuh..”

“Jangan b-bilang kau..”

“Pintar sekali! Benar, aku yang membunuh mereka. Kau pikir aku tidak tahu daging yang kau masak untuk makan malam tadi adalah daging manusia?” Nael melepaskan ikatan tali tersebut dan berdiri. Ia mendekatkan dirinya pada Marcel sembari tersenyum miring.

Kini, keadaan telah berubah. Rencana Marcel untuk membunuh Nael telah gagal. Ia ketakutan dengan paras Nael yang begitu berbeda. “Ah iya, kau pikir aku tidak akan tahu tentang polaroid ini?” tanya Nael, seraya mengeluarkan benda tersebut dari saku celananya.

“Awalnya.. aku memang sempat bingung dan terkejut. Mengapa foto kedua orang-tuaku ada di sini? Apalagi dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Tetapi, ketika aku melihat laki-laki bertopeng di foto itu, aku tahu.

Itu ulahmu, kau ingin mencuri targetku bukan? Tetapi aku sudah duluan membunuh mereka dan sayangnya aku tidak sempat berfoto dengan hasil karyaku.

Akhirnya, kau ke rumahku dan berfoto di situ, seakan-akan itu adalah hasil pembunuhanmu. Bajingan, hahaha.”

Semua yang diucapkan Nael itu benar. Sungguh membuat Marcel takjub dan terkejut dengan semuanya. Nael sungguh sangat pintar, licik dan tidak mempunyai hati nurani. Apakah kalian masih ingat dengan tulisan yang berada di belakang polaroid?

Ya, itu mencerminkan dirinya sendiri.

Lalu, Marcel? Ia sebelas-dua belas dengan Nael. Juga memiliki gangguan mental, yaitu psikopat. Namun, keadaan Nael lebih parah jika dibandingkan dengan Marcel. Sudah tidak tertolong lagi.

“Acel.. aku memang sempat menyukaimu. Tapi, saat aku mulai teringat bahwa kau berusaha mencuri hasil karyaku.. aku terpaksa harus membunuhmu~”

“T-tidak, jangan.. aku m-mohon, aku takjub dengan hasil-hasil karyamu, b-bahkan saat kau ke sini, aku s-sangat senang,”

“Hahaha, kau pikir itu akan merubah pikiranku? Kau sangatlah bodoh, Marcel.”

Nael langsung mengambil pisau daging di dekatnya. Malam itu, Ia sangat sibuk memotong-motong tubuh Marcel. Dari kepala, hingga kaki.. Ia potong semuanya.

Lalu, Ia pajang semua itu di sebuah meja berwarna putih. Senyumannya mengembang saat melihat hasil “karyanya” yang baru ini. Ia sangat mencintainya.

“Haruskah ku memberi label?” monolognya. “Ah.. tidak usahlah. Toh, nanti akan ku gunakan sebagai menu sarapan pagi nanti,” lanjutnya, diiringi dengan tawaan ringan.

Ia melihat ke seluruh area basement. Berpikir sesuatu. “Apa yang harus ku lakukan dengan semua ini? Haruskah ku jadikan menu untuk makan anak-anak? Atau.. ku bakar saja?” tanyanya pada diri sendiri. “Ku jadikan makanan saja ah! Anak-anak butuh energi yang banyak, mereka terlihat sangat kurus dan lemas tadi.”


Hari sudah menjadi terang. Pagi telah datang, suara kicauan burung terdengar indah.

Tak lama kemudian, ada sebuah mobil yang menurunkan dua anak laki-laki di depan panti asuhan itu. Nael yang melihatnya langsung bergegas ke arah pintu.

“Hai, selamat datang! Kamar kalian sudah siap. Yuk, aku antar.”

written by kalacaffe.

casts: jeno & renjun. genre: fluff, fantasy, teen-romance. please read this while listening to 'Waltz of the Flowers' by Tchaikovsky!

CW // slight kissing.

Langit pagi hari ini begitu cerah, sehingga matahari menyinari seluruh area rumah River. Ia pun terbangun, begitu cahaya matahari memasuki dan membuat dalam ruangannya terang. Jendelanya Ia buka, tetapi ikatan gordennya Ia lepas; supaya cahaya matahari tidak masuk terlalu banyak ke dalam ruangannya.

Setelah mengumpulkan nyawa, River langsung bangun dan membersihkan kamarnya serta dirinya sendiri. Ia tinggal di dekat hutan dengan sebuah rumah kecil, seperti cottage. Lelaki itu sangat menyukai harumnya bunga, sehingga dirinya memiliki banyak tanaman dan pot-pot bunga.

“Hari ini pakai baju apa ya?” monolognya, sembari bercermin.

Beberapa menit kemudian, setelah diisi dengan kegiatan mencari pakaian untuk hari ini, Ia akhirnya memutuskan untuk memakai kaos putih berkerah dengan bawahan celana coklat se-lutut dan strap celana berwarna coklat juga. Lalu, Ia menyisiri rambut-merah-mudanya supaya terlihat lebih rapi.

Terakhir, Ia gunakan kacamata-nya. Kini River terlihat indah dan menawan. Ah iya, apakah kalian tahu? River bukanlah seorang manusia, tetapi Ialah seorang elf. Benar, peri.

Semua orang di daerah perumahannya tahu, kalau dia adalah makhluk ajaib, yaitu sang peri. Karena kupingnya yang lancip, mau tidak mau, River harus berusaha bertahan dengan omongan-omongan manusia keji itu tentangnya. Namun, tidak apa-apa. Ia sudah kuat, kok.

Di hari yang cerah ini, River sedang dalam mood untuk membeli bunga. Akhirnya, Ia pergi keluar dengan sepatu boots kesayangannya untuk ke toko bunga.

Ia berjalan-jalan dan menemukan sebuah toko bunga yang bernama, “Enchanté”. Karena namanya yang terdengar menarik, River langsung memasuki toko bunga tersebut. Pandangan pertamanya jatuh kepada pemilik toko itu, seorang laki-laki tinggi dan tampan.

“Halo! Selamat datang di toko bunga Enchanté, ada yang bisa saya bantu?” tanya lelaki penjaga toko itu. “Oh iya, aku lagi mencari bunga tulip putih dan melati.. ada kah?” tanya River. “Pasti ada dong! Ayo, ikuti saya kemari,” ucapnya sembari berjalan.

River mengikuti laki-laki tersebut dari belakang, ternyata bahunya sangat lebar dan memiliki tinggi yang begitu.. tinggi.

Setelah sampai di tempat di mana bunga-bunga itu disimpan, lelaki itu memberikan senyuman ramahnya. “Baiklah, kita sudah sampai. Mau langsung saya bawa ke kasir atau.. apakah ada yang ingin kau tambahkan bunganya? M-maksud saya, apakah ada jenis bunga lain yang kau mau?” tanyanya, sedikit gugup. River tertawa kecil ketika lelaki itu salah bicara.

“Sepertinya itu saja, boleh langsung aku bayar?”

“Boleh, mari ke kasir!”

Lelaki penjaga toko itu menghitung semua jumlah total harganya, dan River sudah bersiap-siap membuka dompetnya. “Jumlah semuanya gratis ya! Kau tidak perlu bayar apapun ke saya,” ujarnya. Hal tersebut membuat River tersontak. “Mengapa seperti itu? Apakah boleh?” tanya River.

“Tidak apa-apa. Ini sebagai hadiah karena kau adalah pelanggan pertama di toko ini,” jawabnya dengan senyuman hingga matanya tak terlihat. River merasa tidak enak dan berinisiatif menawarkan sesuatu. “Jangan seperti itu! Aku akan tetap membayarnya.. tetapi karena kau tidak menerima bayaran dengan uang, ijinkan saya kabulkan apa yang kau inginkan,” ucap River.

Lawan bicaranya tersenyum hangat, “Baiklah. Saya ingin kamu datang ke toko ini setiap hari, bukan hanya untuk membeli bunga, tetapi berteman denganku juga. Atau menjadi lebih dari teman juga tidak apa-apa,” ucapnya seraya terkekeh.

Mendengar kalimat akhirnya membuat jantung River berdegup kencang. Ia tidak familiar dengan perasaan ini. “Oke kalau begitu! Omong-omong, namamu siapa?” tanya River dengan penasaran. “Nama saya Jerome. Kau..?”

“River. Seharusnya kau sudah tahu tentangku,”

“Kau seorang elf bukan?”

“Iya, kau benar. Kau tidak akan menjauhiku?”

“Tidaklah! Kau sangat ramah dan baik hati, namamu pun indah.”

“Bisa saja kamu..”

Keduanya tertawa ringan, hati mereka pun terasa hangat. Jerome terlihat bahagia sekali menemukan lelaki seperti ini. Sudah lama sejak Ia merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta. Terutama.. jatuh cinta pada pandangan pertama.

Tak lama kemudian, mereka saling berpamit dan River pun pulang ke rumah kecilnya. Saat di perjalanan pulang, Ia tak bisa berhenti tersenyum. Rasanya seperti Ia telah meminum ramuan cinta. Pikirannya juga mengarah kepada pemilik toko bunga yang ramah itu. Jerome sungguh membuatnya gila.

Ia memasuki rumahnya seraya bersenandung riang. Sepatunya ditaruh di atas rak kecil sebelum berjalan memasuki ruangan tamu. Bunga-bunga yang Ia beli ditaruh di atas pot dekat jendela; satu untuk bunga melati dan satu untuk bunga tulip. Disusunlah secara berjajar, lalu mengeceknya dari jauh.

“Ternyata bagus juga! Hehe, untung aku beli di toko itu. Besok ke sana lagi, ketemu Jerome~ Bahagia sekali diriku ini~” Ia bersenandung dengan senyumannya yang indah, sembari memperhatikan bunga-bunga itu. “Tapi.. kurasa ada yang familiar dengan nama itu..” ucapnya, mengingat-ingat kembali.

“ASTAGA!” serunya, setelah mengingat sesuatu. River bergegas mencari album foto yang berisi semua kenangannya saat membantu anak-anak kecil dahulu. Tugasnya sebagai peri itu penting, apalagi saat Natal. Ia memberi hadiah-hadiah kepada anak-anak yang baik dan tidak memberi apa-apa kepada anak yang nakal.

Tangannya sibuk membalik-balik halaman album foto itu, mencari sesuatu. “Kan aku benar! Aku pernah memberikannya hadiah saat Natal, karena dia adalah anak yang sangat baik hati. Jerome Lincoln.. kau adalah seseorang yang berhak mendapatkan semua kebaikan di Bumi ini,” monolognya.

“Tetapi.. mengapa engkau bekerja di sebuah toko bunga? Kau seharusnya berada di istana, layaknya menjadi seorang pangeran.” final River. Ia heran, mengapa seorang anak kerajaan bekerja di tempat seperti ini?

Kali ini, Ia harus tahu jawabannya. Besok Ia akan mencoba menanyakannya kepada Jerome.


Sehari telah berlalu. River melakukan rutinitas pagi seperti biasanya, tetapi hari ini Ia menggunakan pakaian yang berbeda. Sebagai atasan, Ia memakai kemeja putih dan bawahan celana panjang berwarna coklat. Rambutnya terlihat sedikit berantakan dari biasanya. Tak apa-apa, Ia tetap terlihat tampan.

Sebelum keluar, Ia memakan roti dengan isi coklat terlebih dahulu; untuk mengisi perut kosongnya. “Kira-kira.. Jerome akan menjawab pertanyaanku atau tidak ya?” tanyanya pada diri sendiri. Ia sedikit takut kalau pertanyaan itu terlalu mengupas kehidupan pribadi Jerome.

Setelah mengisi perut kosongnya, Ia langsung pergi keluar dari rumahnya dan berjalan ke arah toko bunga yang dikunjunginya kemarin.

“Selamat datang, hahaha,” sapa Jerome. River sebagai balasan hanya tersenyum malu-malu. Hari ini, Jerome terlihat sangat tampan! Memakai kemeja berwarna putih, celana panjang berwarna coklat dan strap celana. Lelaki itu bahkan memakai sebuah topi beret.

“Kau ada waktu luang hari ini?” tanya River. “Ada. Kenapa? Ingin mengajakku berkeliling?” tebak Jerome. “Hahaha, iya. Kita bertemu saja di dekat bukit bunga itu, kau tahu kan?”

Jerome mengangguk. “Tentu! Aku pernah ke situ saat kecil dengan seseorang. Kami sebaya, tapi.. suatu saat dia menghilang entah kemana,”

“Mengapa bisa menghilang?”

“Ia diusir oleh orang-tuaku. Aku masih mencoba mencarinya, aku sangat berharap kami dapat bertemu kembali.. Ah, maaf aku terbawa suasana,” ucap Jerome, merasa tidak enak. “Tidak apa-apa! Kau tidak perlu minta maaf. Omong-omong, apa warna rambut orang itu?” tanya River secara tiba-tiba.

“Rambutnya berwana merah muda. Persis seperti punyamu. Kau terlihat mirip dengannya, hahaha,”

“Benarkah? Hahaha.” Sebenarnya, kisah itu terdengar sangat familiar di telinganya. Ia pernah menemui seorang anak laki-laki di atas bukit itu juga, apakah benar.. kisah yang diceritakan Jerome adalah kisah mereka berdua saat kecil?

Jerome tiba-tiba mendekati di mana River berada. Aksinya membuat River sedikit terkejut dan jantungnya pun berdegup kencang. Ibu jari Jerome mengusap pinggir bibirnya. “Maaf, tadi ada sedikit coklat di dekat bibirmu,” ucap Jerome. “I-iya, tidak apa-apa. Terima k-kasih, Jerome..” balas River. “Aku ingin bertanya.. Kau mengapa terlihat gugup? Apakah aku menyeramkan?” tanya Jerome dengan polosnya.

River menggeleng dan tersenyum. “Tidak, kau hanya membuat jantungku tidak aman,” ucap River. Oh tidak.. Ia keceplosan. “M-maaf, maksudku..”

Lelaki yang lebih tinggi itu mengusap-usap rambut River sembari tersenyum kecil. “Kau menggemaskan,” puji Jerome. Dua kata yang baru saja diucapkan Jerome membuatnya ingin meleleh di tempat. Ini pertama kalinya Ia merasakan rasa ini. “Aku sebaiknya kembali bekerja, jika kau ingin menemaniku juga tidak apa-apa. Justru aku senang jika sambil melihatmu,” ucap Jerome, berjalan kembali ke tempat kasir.

River sebenarnya ingin berada di sini selama mungkin, tetapi jantungnya sudah tidak kuat. Bisa-bisa jantungnya meledak karena senyuman dan kata-kata manis yang keluar dari mulut itu.


Jam kerja pun berakhir, dan Jerome mengunci pintu tokonya setelah keluar. Ia mencari-cari keberadaan River yang entah ke mana. “River, kau dimana?”

“Dor! Aku di sini!”

Jerome langsung terkejut saat mendengar suara River dari belakang. Ya.. River sengaja mengejutkannya supaya suasana tidak tegang. Tanpa lama lagi, mereka langsung menaiki bukit bunga itu, dan mencari area yang tepat untuk berbincang-bincang.

Namun di dalam perjalanan, tanpa sadar, tangan Jerome meraih tangan mungil milik River dan menggenggamnya dengan lembut. Ia sungguh tidak menyangka bahwa tangan River sangat lembut seperti kulit bayi. Awalnya, River tidak menyadarinya. Tetapi saat Ia menyadari bahwa Ia sedang bergenggaman tangan dengan Jerome, pipinya menjadi sedikit panas.

Mereka terdiam selama perjalanan itu, sampai di mana keduanya menemukan spot yang tepat untuk duduk dan berbincang ringan.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Jerome. Sebagai jawaban, River hanya mengangguk pelan dan tersenyum. “Adakah yang ingin kau bicarakan?” tanyanya lagi. “Ada. Aku akan langsung ke intinya, ya. Jadi, apakah benar kalau kau adalah Jerome Lincoln? Seorang pangeran dari keluarga kerajaan Lincoln?”

Lelaki itu memang sempat terdiam sesaat karena terkejut. Tetapi, Ia akhirnya mengumpulkan keberanian untuk menjawab pertanyaan River. “Kau benar,” jawab Jerome.

“Tapi.. kenapa kau bekerja di sebuah toko bunga? Seingatku, kau seharusnya berada di dalam istana dan mempersiapkan dirimu untuk menjadi Raja berikutnya,”

“Aku bekerja di situ karena ingin mencari teman masa kecilku. Seperti yang sudah ku ceritakan tadi saat di toko bunga,”

“Oh, seperti itu ternyata..”

“Sekarang, aku ingin bertanya kepadamu,”

River menyiapkan dirinya sebelum mendengar pertanyaan apapun itu yang akan keluar dari mulut sang pangeran. Ia sedikit gugup sebenarnya. “Aku ingin bertanya.. Apakah kau pernah bermain dengan seorang anak laki-laki yang mempunyai mole di dekat matanya?” tanya Jerome. River mengingat-ingat kembali.

Astaga, Ia pernah.

“Aku pernah. Mengapa?” tanya River. Tiba-tiba Jerome mengeluarkan sebuah sapu tangan dan mengusap area dekat matanya. Sebuah mole terlihat jelas. “Anak laki-laki itu adalah aku, dan..

ternyata kau adalah seseorang yang ku cari-cari selama ini.”

Lelaki bertubuh pendek itu terkejut. Bisa-bisanya Ia tidak mengenal Jerome saat kecil dahulu. Mereka seperti ditakdirkan untuk bersama. Jerome menitikkan sebuah air mata, Ia sangat bahagia menemukan pujaan hatinya. Tak sia-sia perjuangannya selama ini. River mengusap air mata itu perlahan, lalu memeluknya erat.

Setelah itu, keduanya saling bertatapan tanpa bersuara. Seketika, Jerome mendekatkan wajahnya hingga Ia dapat merasakan nafas River yang terengah-engah. River gugup.

“A-apa yang i-ingin kau lakukan..?” tanya River.

“Melakukan apa yang inginku lakukan dari dulu.”

Jerome mempertemukan kedua bibir mereka secara perlahan. Ia dapat merasakan bibir River yang manis dan lembut. Di sisi lain, River hanya terdiam, membiarkan Jerome melakukan apa yang ingin dia lakukan. Jantungnya sudah berdetak secara tidak teratur sekarang. Benar-benar gila.

Kedua lelaki itu melepaskan tautannya untuk mengambil nafas. Mereka saling tersenyum malu, dan sesaat Jerome mengelus surai River dengan lembut.

Little did we know.. kita dipertemukan kembali karena toko bungaku,”

“Dan juga karena sedikit sihirku, hahaha,”

“Terserahmu,”

“Aku hanya bercanda!”

“Tapi omong-omong.. kau ingin menjadi kekasihku?”

“Tentu ku ingin, Jerome.”

written by kalacaffe.

jiandra & kale: one-shot au. part of 'love formula' universe.

CW // harsh words , slight kissing.

Pada malam itu, di area Aula SMA Lentera Bangsa, ada sebuah acara dansa; atau biasa disebut Prom Night. Banyak sekali murid-murid yang mendatangi acara tersebut. Termasuk Revaleaz, tentunya.

Jiandra sebelumnya memberi pesan kepada kekasihnya melalui ponselnya. Ia mengajak Ale untuk menjadi pasangannya saat acara dansa. Sayangnya, Ale tidak ingin ikut karena Ia tidak begitu menyukai keramaian. Seperti itulah rasanya mempunyai kekasih seperti Ale.

Untuk acara hari ini, Ia menggunakan atasan kaos putih serta jaket kulit berwarna hitam dan celana jeans. Jian terlihat tampan sekali pada malam ini.

Ia memasuki Aula tersebut, melihat banyak sekali orang-orang di dalamnya yang sedang berbincang-bincang ataupun menari. “Woy, Jian! Di sini!” sahut Jendra, yang sedang berkumpul bersama anggota Revaleaz lainnya. Jian langsung berjalan ke arah mereka. “Muka lo asem bener.. kenapa lo?” tanya Haidan, menyadari raut wajah Jian yang tidak terlihat senang. “Gara-gara pacarnya kali,” celetuk Arjuna.

“Hah? Lo berantem sama Ale?”

“Bukan, tolol. Dia kaga mau ikut acara hari ini, tapi yaudahlah ya?”

Haidan menepuk-nepuk bahu Jian, “Semangat bro—eh, itu bukannya Ale?” Mereka semua menoleh ke belakang, melihat wujud laki-laki dengan pakaian yang keren, tapi juga unik. Dalam sekejap, Jian langsung berlari ke arahnya dengan sebuah senyuman yang perlahan mengembang.

Ale, manusia yang paling indah. Lelaki itu menggunakan atasan berwarna hitam dengan bawahan celana jeans, serta jaket bermotif kotak-kotak diikat di pinggangnya; terlihat seperti menggunakan rok juga. Perpaduan pakaiannya terlihat sangat menarik perhatian. Terutama menarik perhatian kekasihnya, Jiandra.

“A-ale..? Kamu..”

“Kenapa? Aneh ya?”

“E-engga sama sekali! You look so beautiful.. and cute too,

Ia menggenggam tangan kekasihnya dan tersenyum riang. Rasanya bahagia sekali. “Ayo semuanya berkumpul! Waktunya kita menariiii!” seru pembawa acaranya, lalu iringan musik terdengar begitu kencang, membuat para murid reflek menari. Saat Jian ingin menarik Ale ke area tengah Aula, Ia menghentikannya. “Kenapa Le?” tanya Jian. “Aku.. nggak mau jadi pusat perhatian, Ji..” jawab Ale. “Yaudah, gapapa. Mau di luar aja?” tanya Jian, memberikan senyuman kecilnya. Sebagai jawaban, Ale mengangguk pelan.

Mereka meninggalkan Aula dan pergi ke taman sekolah. Tidak begitu jauh letaknya, sehingga mereka masih bisa mendengar suara musik dari dalam gedung Aula.

Genggaman tangan Jian pada Ale masih ada. Membuat Ale sedikit tersipu melihatnya. Perbandingan tangan Jian dengan Ale itu sangat besar. Seperti harimau dan kucing. Tetap menggemaskan, sih. “Ale,” panggil Jian secara tiba-tiba. “Kenapa?” tanya Ale. “Liat deh ke atas, langitnya cantik. Banyak bintang hari ini,” ucap Jian, menunjuk ke arah langit.

“Kaya kamu,” ucap Jian. “Maksudnya?” tanya Ale dengan raut wajah yang terlihat bingung. “Iya, kaya kamu. Cantik, indah, ganteng juga hahaha,” lanjutnya sembari terkekeh. Pipi Ale memerah dalam sekejap. Membuat Jian semakin gemas dengannya.

Tiba-tiba, terdengar sebuah alunan piano yang terdengar dari dalam Aula. “Lagu ini.. kesukaan aku,” ucap Ale. “Kenapa bisa?” tanya Jian, basa-basi saja. “Dulu, Abang aku suka banget mainin lagu ini di piano. Judulnya 'Clair De Lune, L. 32', biasanya aku bisa langsung tidur kalau Abang main lagu ini hahaha,” lanjutnya, mengingat saat-saat Abangnya masih ada di sampingnya.

Jian tersenyum, namun hatinya sedikit tergores karena melihat kekasihnya yang masih sangat rindu dengan saudaranya. Akhirnya, Ia beranjak dari bangku tersebut dan menunduk sedikit; sembari menawarkan tangannya. “Ngapain?” tanya Ale. “Wanna dance with me?” tawar Jian. Ale menerima tawarannya, Ia memegang tangan Jian dan ikut berdiri.

Sebenarnya, Ale kurang mahir untuk menari seperti ini. Jian bisa menari karena Ia sempat berlatih sebelumnya, untuk berjaga-jaga saja. Ternyata latihannya berguna juga.

Tangan kanan Jian memegang pinggang Ale, dan tangan kirinya menggenggam tangan kanan milik Ale. Lalu, tangan kanan Ale berada di pundak Jian. Mereka mengambil langkah-langkah kecil, mengikuti irama lagu tersebut. Tempo demi tempo, mereka ikuti dengan langkah-langkah kecil.

Rasanya seperti berada di acara dansa kerajaan. Indah sekali.

Langit malam ini melengkapi situasinya. Dengan bintang-bintang yang menghiasi langit malam dan Bulan sebagai cahaya utama, membuat suasananya menjadi begitu manis dan romantis bagi mereka berdua. Jarak wajah mereka sangat dekat hingga Ale dapat merasakan hembusan nafas Jian.

Suatu saat, Jian menatap Ale begitu dalam. “N-ngapain liatin a-aku begitu?” tanya Ale, Ia malu. “Cantik,” puji Jian. “Aku ganteng juga!” celetuk Ale. Jian tertawa kecil dan kembali mengambil langkah, mengikuti tempo lagu.

“Ale,”

“Apa?”

“Boleh cium kamu?”

Pipi Ale berubah merah seperti tomat. “Kok malu siii?” tanya Jian. “Y-ya.. lagian kamu pakai acara nanya! G-gimana aku nggak m-malu coba..” ucap Ale, lalu menunduk malu. Jian terkekeh melihat tingkah Ale yang menggemaskan baginya. “Jadi.. boleh nggak nih?” tanya Jian. “Iya.. boleh.”

Mereka berhenti berdansa sementara. Tangan Jian mengangkat dagu Ale, perlahan wajahnya mendekat. Kedua bibir mereka pun bertemu secara lembut. Bibir Jian yang kering, terasa di bibir Ale. Ciuman itu tidak berlangsung lama, karena takut jika ada yang melihat mereka berdua. Entah itu guru ataupun murid sekolah.

Sebuah senyuman langsung tertampak jelas di wajah kedua sejoli itu. Mereka tampak sekali menikmati malam ini.

Setelah alunan lagu dari piano itu selesai, keduanya tidak kembali duduk; tetapi berjalan-jalan sedikit di area taman sekolah. Tak ada lagi yang berbicara, mereka hanya bergenggaman tangan sembari jalan.

“Jian,”

“Hm?”

I really enjoyed this night, and aku juga mau minta maaf.. soalnya kamu nggak bisa ikut acara di dalam, malah keluar sama aku disini,”

Jian menghentikan langkahnya dan membuat dirinya sejajar dengan kekasihnya. Ia menggelengkan kepalanya, “Don't say sorry, okay? I also enjoyed this night more, because I'm with you.” Lalu, Ia mengusap-usap rambut Ale secara perlahan. “Seriusan, gapapa?” tanya Ale. “Iya sayang, gapapa,” ucap Jian. Kekasihnya ini memang kadang terlalu mencemaskan hal yang tidak begitu penting.

Namun, itu tugasnya untuk membantu mengubah kebiasaan buruk itu. Tiba-tiba, Jian menarik Ale ke pelukannya. “Tiba-tiba banget?” tanya Ale. “Biar kamu nggak ilang,” ucap Jian. “Emang aku anak kecil?” tanyanya lagi. “Bukan sih, tapi mirip.”

“Dasar tinggi.”

“Biar gampang jagain kamu.”

Ale mendecak kesal, tetapi Jian hanya tertawa kecil. Menurutnya, Ale tambah gemas saat dia sedang merasa kesal atau ngambek. Mungkin karena itu, Jian sangat sering menjaili Ale.

“Tapi Jian..”

“Kenapa lagiii?”

“Kamu sesayang itu sama aku?”

Jian mengangguk, “Iya lah! Buktinya aja.. aku nggak nyerah sampai berhasil bikin kamu jadi pacar aku. Aku sesayang itu sama kamu, Ale.”

“Kalau gitu, aku sayang kamu lebih!”

“Hahaha, gemesnya!”

written by kalacaffe.

CW // harsh words, kissing.

Perjalanan mereka tidak begitu jauh, hanya butuh sekitar 30 menit untuk sampai di tujuan. Jian memarkirkan motornya dan turun. Ia langsung menggenggam tangan Ale secara perlahan, membuatnya tersenyum kecil. Kebetulan pada hari ini, tamannya sepi; serasa dunia hanya milik berdua.

Mereka berjalan, memasuki area taman dan mencari spot-spot foto yang bagus. Untungnya, Jian membawa kamera polaroid dan Ale membawa kamera berjenis analog. Supaya hasilnya lebih mudah untuk dipajang ataupun disimpan. Siapa juga yang tidak ingin menyimpan memori-memori terindah mereka?

“Ale! Coba kamu ke situ, aku mau foto kamu sama langitnya,” seru Jian. Benar, langit hari ini sangat indah dan cerah. Apalagi jika memfotonya bersama seorang pujaan hati.

Lelaki yang lebih pendek itu menuruti permintaan Jian dan berpose santai. Seperti gaya-gaya candid gitu. Pasti hasilnya bagus kan?

Cekrek!

Suara kamera polaroid tersebut terdengar jelas, mengambil foto Ale dengan indahnya langit di atas-nya. Jian menarik polaroid tersebut dan memperlihatkannya dengan Ale. “Foto apa-apaan itu? Kenapa aku-nya jadi nyatu sama langit, bego!” celetuk Ale. “Maaf maaf, aku nggak tau, jangan pukul akuuuu!” ucap Jian dengan tawaannya. Ia diserang oleh pukulan-pukulan kekasihnya yang ringan.

“Udah yok, cari area lain.” Jian mengajak Ale berjalan lagi, mencari area yang bagus untuk foto-foto. Tiba-tiba Ale menarik tangan Jian, “Coba tuh di bawah pohon, kamu berdiri di sana coba. Gantian aku yang fotoin,”

Tanpa lama lagi, Jian langsung menuruti permintaan Ale. Ia berdiri di bawah pohon beringin itu, lalu berpose. “Jangan alay ih!” goda Ale. “Enggak kok, ini namannya keren dan tampan!” sahut Jian. “Bodo amat. Oke, satu.. dua.. tiga!”

Cekrek!

Suara jepretan dari kamera analog milik Ale terdengar jelas juga. Ia mengambil sekitar satu sampai tiga foto, lalu memperlihatkannya kepada Jian. “Gimana? Bagus kan?” tanya Ale, ingin pengakuan dari kekasihnya. “Aku ganteng ya di situ,” ujar Jian, sengaja tidak merespon pertanyaan Ale. “Bagus kan?” tanya Ale untuk kedua kalinya. Namun Jian ingin menggodanya sedikit lagi, “Agak serem nggak sih?” Kali ini, Ale menanya untuk ketiga kalinya, “Bagus kan hasilku?”

Akhirnya, Jian luluh dan mengangguk. “Iya sayang, hasil foto pacarku memang paling top, lainnya mah.. beng-beng,” pujinya sembari mengelus-elus rambut kekasihnya. Ale langsung tersenyum puas karena pujian yang Ia dengar dari Jian.

Pasangan manis ini kembali berjalan-jalan lagi. “Jian, aku mau duduk dulu,” ucap Ale, sedikit meringis karena lelah berjalan. “Capek ya? Yaudah, duduk di sana aja yuk,”

Mereka berdua duduk di sebuah bangku taman yang berbahan kayu. Di area itu ada sebuah semak mawar yang cantik dan indah. Seperti Ale. “Le, coba kamu pose pake bunga mawar ini, terus aku foto,” ucap Jian setelah mengambil satu tangkai bunga mawar. “Mana sini bunganya,” pinta Ale. Jian langsung memberikan bunga mawar tersebut kepada Ale, tetapi dengan ala-ala berlutut. Seperti seseorang yang akan melamar.

“Awas celananya kotor,” ucap Ale.

“Nggak kok. Oke, aku foto ya! Satu.. dua.. tiga!”

Cekrek! Cekrek!

Jian mengambil foto Ale dengan mawar itu sebanyak dua kali. Lebih banyak? lebih baik. Begitu Ia melihat hasil polaroidnya, sebuah senyuman langsung tertampak jelas di wajah tampannya. “Gimana hasilnya?” tanya Ale. Jian memberikan kedua polaroid itu kepada Ale. “Widih, yang ini bagus nih!” puji Ale. “Iya dong, pacar siapa gitu,” ucap Jian, sedikit menyombongkan diri. Ale tertawa melihat tingkah bodoh kekasihnya.

“Ale,”

“Apa?”

“Kamu tau nggak?”

“Nggak tau,”

“Kamu sama bunga mawar nggak ada bedanya,”

“Sama-sama berduri?”

“Bukan lah!”

“Terus?”

“Sama-sama indah. Cantik juga,”

Sebenarnya gombalan itu terlalu biasa untuk Jian, tetapi damage-nya luar biasa bagi Ale. Apa dia tidak tahu bahwa menjaga wajah jutek-nya itu sulit? Jantung Ale berdetak sangat kencang, seperti rasanya suatu saat nanti akan meledak. Hanya karena seorang Jiandra Pradipta Bumi.

Ya, pemuda itu tidak main-main dengan kata-katanya.

“Aku ganteng juga!” seru Ale, tidak terima dibilang cantik. Jian mengacak-acak rambutnya pelan, “Iya iya, kamu juga ganteng,” puji Jian dengan senyumannya. Ia menahan rasa ingin mencubit kedua pipi Ale karena gemas.

Lalu, setelah mereka beristirahat sejenak, keduanya melanjutkan perjalanannya menuju sebuah bukit yang tidak begitu tinggi untuk menikmati sunset.

Tepat jam 6 sore, mereka sampai di atas bukit itu dan duduk bersebelahan. Duduk di bawah pohon beringin, melihat sunset dan menikmatinya berdua. Rasanya begitu tenang, bahagia dan romantis secara bersamaan.

“Jian,”

“Hm?”

“Aku sayang kamu,”

“Tiba-tiba?”

“Hehe, iya. Biasanya selalu kamu yang bilang itu duluan, gantian aku,”

“Gemesnyaaaa,” puji Jian lagi. Tiba-tiba keduanya saling bertukar tatapan yang dalam, dan mendekat. Sekarang, jarak mereka sangat dekat! Hanya sekitar empat centimeter jika diukur. Jian mempertemukan kedua bibir mereka, menunggu Ale untuk membalasnya. Lalu, Ia menggigit bibir bawah Ale dengan pelan sebagai ijin untuk melakukan ciuman. Ale mengijinkannya dan Jian langsung mengeksplorasi seluruhnya dengan lembut.

Ciuman tersebut tidak berlangsung begitu lama, dikarenakan nafas keduanya akan segera habis.

Saat selesai, Jian mengusap pipi Ale dengan lembut dan tersenyum.

“I'm so lucky to have you, Ale.”

“And I'm so lucky to love you, Jian.”

written by kalacaffe.

CW // harsh words.

Dua hari kemudian..

Tepat saat jam 9 pagi pada hari Senin, Jian sudah bersiap-siap menggunakan baju untuk pergi. Ia sudah berada di depan kaca, merapikan rambutnya dan pakaiannya kembali.

Saat melihat jam, Ia baru teringat harus menjemput Ale juga. Kemarin, Ale sempat meneleponnya untuk meminta tolong menjemputnya ke Ancol juga. Bisa dikatakan, Ia nebeng.

Ia langsung membawa tas-nya berisi barang-barang yang sudah disiapkan dua hari yang lalu bersama Ale, dan turun ke bawah untuk berangkat.

“Bunda, Jian pamit ya!” sahut Jian. “Iya sayang, hati-hati! Jangan lupa have fun!” sahut Bundanya kembali. Jian langsung mengendarai mobilnya ke arah rumah Ale untuk menjemputnya terlebih dahulu.

Begitu Ia sampai, Ale langsung masuk ke dalam mobil. “Udah siap?” tanya Jian. “Hu'um, udah,” jawab Ale. “Eh tunggu..” Tubuh Jian mendekat, membuat Ale merasakan kupu-kupu aneh itu kembali. Padahal, Jian hanya membantunya memasang seatbelt.

“Dah, ayo berangkat!”

Jian langsung menjalankan mobilnya—ralat, mobil kakaknya—hingga sampai ke tujuan. Untungnya hari ini tidak ada kemacetan di jalan, membuat perjalanan Jian dan Ale semakin mudah.

Sesampainya di Ancol, Ia memarkirkan mobilnya terlebih dahulu sebelum turun. Di depan pintu masuk, Ia sudah melihat beberapa sahabatnya di situ. Baru ada Jendra, Alen dan Haidan. Entah yang lainnya di mana.

“Oitttt!” sahut Haidan dari kejauhan. Jian dan Ale berjalan ke arah mereka sembari tersenyum dengan rasa antusias. “Oit! Si Juna sama Kak Mahesa belum sampai?” tanya Jian. “Belum, lagi balapan melewati gunung kali,” ucap Haidan. “Dasar blegug,” celetuk Jendra.

Mereka menunggu yang lainnya sembari mengambil tiket masuk—yang sudah dipesan melalui online.

Setelah beberapa menit, tampaklah seorang laki-laki yang berjalan ke arah mereka. “Siapa tuh?” tanya Alen. “Nggak tau gua, nggak keliatan anjir,” balas Jendra.

“WOYYY! GUE MENANG BANGSAT!” teriak Arjuna sembari berlari-lari ke arah mereka.

Semuanya tertawa kencang saat melihat Arjuna yang terlihat begitu semangat. Benar, Arjuna menenangi taruhan itu dengan adil. Tidak lama kemudian, Mahesa muncul di hadapan mereka sebagai peringkat terakhir.

“Lo semua nggak ada adab ye!” celetuk Mahesa. “Hahaha, yok masuk. Udah pada ambil tiketnya kan?” tanya Jendra. Mereka mengangguk sebagai jawaban. “Oke, let's gooooo!

Saat memasuki area waterboom, Juna mendapatkan 50 ribu dari Mahesa karena Ia menang. Ia terlihat senang sekali, hingga para anggota menggodanya.

Mereka berjalan ke area kolam renang yang dalam dan besar itu, karena ingin melakukan aksi melompat ke dalam air. Sudah seperti rekan anggota sirkus saja.

“Siapa duluan yang lompat nih?” tanya Haidan. “Gua!” seru Jian. Ia berlari ke arah kolam dan melompat ke dalamnya. Menimbulkan cipratan air yang luar biasa. “Sekarang gua ya!” seru Jendra, melakukan aksi yang sama dengan Jian.

Satu persatu melompat ke dalam kolam renang tersebut, kecuali Mahesa dan Alen. Kalau Alen, Ia tidak ingin ikut-ikutan karena tujuannya adalah bersantai—sembari menjaga barang-barang teman-temannya. Kalau Mahesa.. Ia bernyanyi di depan orang-orang tidak dikenal, seperti hukumannya.

“Oy Juna!” panggil Jian.

“Apaan?”

“Itu si Kak Mahesa udahan aja kali?”

“Iya dah, suruh kesini aja!”

Mereka memanggil Mahesa untuk kembali ke area kolam setelah melakukan hukumannya. Semuanya tertawa, Mahesa pun juga menertawai dirinya. Ia akhirnya ikut melompat ke dalam kolam, membasahi area kolam itu lebih lagi.

Saat sore hari..

Para lelaki itu akhirnya beristirahat di pinggir kolam, menikmati sunset yang indah. Mereka berbincang-bincang tentang sekolah maupun kehidupan, bercanda, tertawa berbahak-bahak dan menjadi sahabat.

Jian yang duduk di samping Ale, Ia menggenggam tangannya dan tersenyum. “Gimana? Happy?” tanya Jian. Ale mengangguk, “Iya, banget.”

Ia mengusap-usap rambut Ale dengan lembut dan tetap tersenyum. “Lo pada habis ini pada mau ngapain?” tanya Arjuna.

“Gua sih pulang, mau nemenin Bunda,” jawab Jendra. “Kalau gua.. palingan ke warkop bentar,” sambung Mahesa. “Elu?” tanya Arjuna kepada Jiandra. “Gua? Gua palingan ya.. pulang, atau pergi bentar sama Ale,” jawab Jiandra.

“Pacaran terossss!” seru mereka semua. “Hahaha, maaf bros, jangan iri dengki,” ucap Jian, hanya bercanda.

Hari ini sungguh hari yang indah dan menyenangkan. Setelah semua masalah yang mereka hadapi selama ini, akhirnya mereka dapat beristirahat sejenak dan menampilkan senyuman mereka yang berharga.

— KALACAFFE