quality time with mom.
CW // kinda angst, family problems.
Sayangnya, hari telah berganti menjadi sore dan ini waktunya Jiandra untuk menjemput bundanya. Ia pamit kepada semua teman-temannya, dan yang pasti Kale juga.
Drrt! Drrt!
Ponsel Jian bergetar, menandakan bahwa ada yang meneleponnya. Ternyata itu adalah bundanya sendiri dan Ia langsung mengangkatnya.
“Kenapa Bun? Jian bentar lagi otw kesana,”
“Gapapa kok Jian, bunda cuman mau bilang.. hati-hati dijalan ya sayang!“
“Iyaa, dadah Bunda.”
Setelah menutup telpon, Ia langsung menyalakan mesin motornya dan pergi ke rumah Neneknya. Tidak begitu jauh dari sekolah, tapi tidak bisa dibilang dekat juga. Butuh sekitar setengah jam untuk kesana.
Langit telah berubah menjadi sedikit gelap, tapi untungnya Jian sudah dekat jaraknya untuk ke rumah Neneknya.
Akhirnya, Ia sampai juga. Jian memakirkan motor miliknya di depan rumah Neneknya. “Permisi Nek, ada Bunda di dalam?” tanya Jian dengan sopan. “Ada, Jian. Itu dia,” jawabnya, menunjuk ke dalam rumahnya.
“Eh, Jian! Pulang yuk nak,” ajak Bundanya—sudah berjalan keluar dari rumah nenek—”Iya bun, langsung naik aja,” balas Jian. “Nenek, kita pamit ya! Makasih Nek!” ujar Bunda untuk Nenek.
Bunda dan anak bungsunya pun, mengendarai motor untuk pulang ke rumah mereka. Sungguh perjalanan yang lumayan panjang, tapi bisa dinikmati. “Bunda,” panggil Jian sembari angin melewati mereka.
“Iya sayang?”
“Bunda kenapa tiba-tiba pergi kemarin?”
“Gimana ya Bunda jelasinnya.. jadi gini Jian, kemarin pas kamu masih di sekolah, Ayah kamu sempet pulang dengan keadaan mabuk lagi. Bunda aja ngga tau Ayah kamu kenapa bisa sampai begini,”
Jian terdiam sejenak, mencoba untuk mencerna kata-kata Bundanya. Ia menghela nafas, berusaha untuk tetap tenang.
“Kenapa nggak bilang Jian, Bun? Jian kan bisa langsung pulang, bantuin Bunda,”
“Bunda nggak mau kamu repot atau sakit, Jian. Ayah kamu kemarin juga udah diurusin sama Abang kamu, entah dibawa kemana. Mungkin ke rumah sakit, karena Ayah kamu ada beberapa luka di badannya,”
“Tapi Bunda, Jian tetep anak laki-laki Bun. Bunda ngga percaya sama Jian? Mending Jian yang repot atau sakit, daripada Jian liat Bunda begitu. Jian paling benci liat Bunda sakit gara-gara Ayah,”
Seorang Bunda yang mendengar kata-kata itu keluar dari mulut anaknya, langsung mengeluarkan air mata. Beliau menjadi tidak tega melihat anaknya rela sakit demi dirinya. Jika saja, Tuhan memberikan kekuatan yang begitu banyak untuk dirinya, tentu Ia akan pakai itu untuk melindungi kedua anak laki-lakinya.
Tanpa sadar, langit sudah menjadi begitu gelap. Beberapa waktu berlalu, mereka berdua pun sudah sampai di rumah, dan Jian langsung duduk di kursi meja makan—setelah memarkirkan motornya. Bundanya sudah memasak beberapa makanan favorit Jian, Ia sekarang juga menemaninya makan malam.
“Jian,” seketika Beliau memanggilnya.
“Iya, kenapa Bunda?” balas Jian, mencoba untuk berbicara dengan mulut yang penuh dengan makanan.
“Kamu sayang sama Bunda?”
Deg! Kenapa Bunda menanyakan hal ini? Apa Bunda nggak yakin sama anaknya? Aku harus bisa membuatnya yakin.
Jian menaruh kedua alat makan itu, dan menelan makanan yang sudah ada di dalam mulutnya. Ia menarik nafas panjang, lalu menatap Bundanya.
“Nggak perlu ditanya lagi Bun, Jian sayang banget sama Bunda. Lewat kata-kata juga kayanya nggak cukup, makannya Jian lebih suka lewat tindakan. Jian juga setiap hari berdoa ke Tuhan, supaya Bunda bahagia dan sehat terus. Kenapa? karena Jian nggak suka liat Bunda sakit ataupun sedih. “
— KALACAFFE