kalacaffe

CW // kinda angst, family problems.

Sayangnya, hari telah berganti menjadi sore dan ini waktunya Jiandra untuk menjemput bundanya. Ia pamit kepada semua teman-temannya, dan yang pasti Kale juga.

Drrt! Drrt!

Ponsel Jian bergetar, menandakan bahwa ada yang meneleponnya. Ternyata itu adalah bundanya sendiri dan Ia langsung mengangkatnya.

“Kenapa Bun? Jian bentar lagi otw kesana,”

Gapapa kok Jian, bunda cuman mau bilang.. hati-hati dijalan ya sayang!

“Iyaa, dadah Bunda.”

Setelah menutup telpon, Ia langsung menyalakan mesin motornya dan pergi ke rumah Neneknya. Tidak begitu jauh dari sekolah, tapi tidak bisa dibilang dekat juga. Butuh sekitar setengah jam untuk kesana.

Langit telah berubah menjadi sedikit gelap, tapi untungnya Jian sudah dekat jaraknya untuk ke rumah Neneknya.

Akhirnya, Ia sampai juga. Jian memakirkan motor miliknya di depan rumah Neneknya. “Permisi Nek, ada Bunda di dalam?” tanya Jian dengan sopan. “Ada, Jian. Itu dia,” jawabnya, menunjuk ke dalam rumahnya.

“Eh, Jian! Pulang yuk nak,” ajak Bundanya—sudah berjalan keluar dari rumah nenek—”Iya bun, langsung naik aja,” balas Jian. “Nenek, kita pamit ya! Makasih Nek!” ujar Bunda untuk Nenek.

Bunda dan anak bungsunya pun, mengendarai motor untuk pulang ke rumah mereka. Sungguh perjalanan yang lumayan panjang, tapi bisa dinikmati. “Bunda,” panggil Jian sembari angin melewati mereka.

“Iya sayang?”

“Bunda kenapa tiba-tiba pergi kemarin?”

“Gimana ya Bunda jelasinnya.. jadi gini Jian, kemarin pas kamu masih di sekolah, Ayah kamu sempet pulang dengan keadaan mabuk lagi. Bunda aja ngga tau Ayah kamu kenapa bisa sampai begini,”

Jian terdiam sejenak, mencoba untuk mencerna kata-kata Bundanya. Ia menghela nafas, berusaha untuk tetap tenang.

“Kenapa nggak bilang Jian, Bun? Jian kan bisa langsung pulang, bantuin Bunda,”

“Bunda nggak mau kamu repot atau sakit, Jian. Ayah kamu kemarin juga udah diurusin sama Abang kamu, entah dibawa kemana. Mungkin ke rumah sakit, karena Ayah kamu ada beberapa luka di badannya,”

“Tapi Bunda, Jian tetep anak laki-laki Bun. Bunda ngga percaya sama Jian? Mending Jian yang repot atau sakit, daripada Jian liat Bunda begitu. Jian paling benci liat Bunda sakit gara-gara Ayah,”

Seorang Bunda yang mendengar kata-kata itu keluar dari mulut anaknya, langsung mengeluarkan air mata. Beliau menjadi tidak tega melihat anaknya rela sakit demi dirinya. Jika saja, Tuhan memberikan kekuatan yang begitu banyak untuk dirinya, tentu Ia akan pakai itu untuk melindungi kedua anak laki-lakinya.

Tanpa sadar, langit sudah menjadi begitu gelap. Beberapa waktu berlalu, mereka berdua pun sudah sampai di rumah, dan Jian langsung duduk di kursi meja makan—setelah memarkirkan motornya. Bundanya sudah memasak beberapa makanan favorit Jian, Ia sekarang juga menemaninya makan malam.

“Jian,” seketika Beliau memanggilnya.

“Iya, kenapa Bunda?” balas Jian, mencoba untuk berbicara dengan mulut yang penuh dengan makanan.

“Kamu sayang sama Bunda?”

Deg! Kenapa Bunda menanyakan hal ini? Apa Bunda nggak yakin sama anaknya? Aku harus bisa membuatnya yakin.

Jian menaruh kedua alat makan itu, dan menelan makanan yang sudah ada di dalam mulutnya. Ia menarik nafas panjang, lalu menatap Bundanya.

“Nggak perlu ditanya lagi Bun, Jian sayang banget sama Bunda. Lewat kata-kata juga kayanya nggak cukup, makannya Jian lebih suka lewat tindakan. Jian juga setiap hari berdoa ke Tuhan, supaya Bunda bahagia dan sehat terus. Kenapa? karena Jian nggak suka liat Bunda sakit ataupun sedih. “

— KALACAFFE

CW // harsh words, slight kissing. TW // mention of cancer.

Hari sudah siang dan bel sekolah berbunyi—menandakan bahwa sekolah telah selesai. Sesuai janji yang dikatakan Jendra, mereka ber-empat akhirnya bertemu di suatu tempat.

Sekarang di ruangan ini baru ada Arjuna, Jiandra dan Haidan. Mereka sedang menunggu Jendra untuk datang dan berbincang.

“Jendra kemana dah?” tanya Haidan. “Tuh.” balas Jian, menunjuk pintu ruangan musik terbuka. Jendra masuk dan menutup pintu, “Sorry rada telat,” ucapnya.

Suasana menjadi begitu tegang dan sunyi. Tidak ada seorang pun yang membuka suara, masing-masing sibuk dengan pikiran mereka.

“Gua ngga tau harus mulai darimana, tapi gua coba jelasin sebisa mungkin,” Jendra menghela nafas. “Jadi, bunda gua punya penyakit kanker paru-paru stadium 3. Gua lagi ngga punya uang buat membayar rumah sakit bunda, dan kalian tau sendiri kalau gua cuman punya bunda di rumah. Gua minta maaf banget udah ngelakuin itu semua, gua ngaku gua salah.

Gua juga ngasih file yang isinya lagu kita ke band sekolah lain, demi dapet imbalan atau uang buat ngebayar biaya rumah sakit. Gapapa kalau kalian ngga mau maafin gua, dan kalau kalian mau.. gua ngundurin diri dari Revaleaz.” lanjut Jendra panjang lebar.

Teman-teman lainnya yang mendengar hal itu langsung merasa campur aduk—tidak tahu harus bagaimana. “Kita mau minta maaf juga, Jen. Dan lo ngga perlu keluar dari Revaleaz, yang penting lo tau kesalahan lo. Pokoknya jangan kesalahan ini lagi, oke?” balas Jiandra sembari menepuk bahu Jendra.

Jendra hanya mengangguk dan tersenyum tipis, merasa begitu bersalah kepada ketiga temannya karena keadaan sulitnya.

Dalam keadaan seperti ini, mereka harus bisa kuat menghadapinya. Mau bagaimanapun mereka tetap bersahabat, apalagi ketika mereka mengalami situasi atau masalah seperti ini.

“Jadi.. nanti kita mau perform pake lagu apa?” tanya Haidan. “Gua minta usul dari Ale, mau ngga?” tanya Jian, memperlihatkan senyumnya.

Arjuna memukul kepala Jian pelan, “Ciaelah bucin aje teros sampe mampus!”

Mereka tertawa, akhirnya suasana kembali normal. Semua anggota Revaleaz mengambil alat-alat musik mereka—kecuali Jendra. “Jen, lo kenapa diem aja?” tanya Jian.

“Hari ini ngga usah ada latihan, kalian istirahat dulu. Gua undur ke besok aja latihannya, see you guys!” jawab Jendra, lalu Ia langsung keluar dari ruangan itu.

Mereka bertiga sedikit bingung, tapi senang juga karena tidak ada latihan hari ini; jujur aja. “Yaudah, gua pulang juga deh. Mau nemenin Bunda, dadah!” sapa Jian.

Tanpa waktu lama lagi, Ia keluar dari ruangan itu dan tiba-tiba menemukan Ale di koridor sekolah. “Eh, Ale! Lo kenapa disini?”

“Nungguin,”

“Nungguin siapa?”

“Arjuna.”

“Dih, kok gitu?”

Kale tertawa kecil melihat tingkah Jian yang sedang merasa sedikit kesal. Tenang saja, Kale juga bisa bercanda—jangan pernah berpikir kalau seorang anak yang pintar tidak bisa bercanda—mereka bisa asik juga.

“Bercanda, gue nungguin lo.”

Jiandra tersenyum lebar setelah mengetahui hal itu. Ia merangkul bahu Ale, “Mau ke rumah gua lagi?” tanya Jian. Yes! Ale mengangguk dan mereka pulang bareng ke rumah Jian.

Akhirnya, Jian merasa hari ini tidak begitu sial berkat Ale. Sudah beberapa kali Ale main ke rumahnya, dan itu membuatnya begitu senang. Eits, apakah Ale juga senang?

Tentu, jawabannya iya.

Sesudah mereka sampai di rumah Jian, lagi-lagi tidak ada seorang pun di dalam. Ia mengira Bundanya ada di dalam rumah, ternyata prasangka dia salah. Entah pada kemana, mungkin sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Memasuki kamar berukuran medium milik Jiandra, Ia langsung melompat ke kasur. Di sisi lain, Ale duduk di sebuah kursi; yang pasti itu milik Jian.

“Ale,”

Lelaki yang dipanggil dengan nama 'Ale' itu menoleh. “Ya?”

Jian tiba-tiba mendekat. “Berdiri coba,” perintahnya. Ale yang awalnya sedikit bingung—mengapa Jian tiba-tiba menyuruhnya— namun, Ia tetap berdiri. Jiandra mendekatkan wajahnya ke Ale, hingga jarak mereka begitu dekat.

Mereka bisa merasakan hembusan nafas masing-masing, saling bertatapan; melihat betapa indahnya ciptaan Tuhan.

“Lo mau ngapain—” kalimat Ale terpotong begitu bibir Jian tiba-tiba mendarat di bibir lembut Ale. Sebuah ciuman singkat, namun manis. “Gua kangen banget sama lo.”

— KALACAFFE

TW // harsh words.

Hari telah menjadi gelap dan jam dinding menjukkan pukul tujuh malam. Jiandra masih merasa sedikit kesakitan akibat perkelahian tadi dengan Jendra di sekolah. Untungnya, Ale sudah mengobati semua luka itu.

“Duh, anjir.. gua ngga sabar,” ucapnya pada diri sendiri, berjalan kesana kemari seperti orang aneh. Ia merasa begitu tidak sabar untuk memeluk tubuh mungil Ale, dan yang pasti dipeluk balik olehnya.

Tok! Tok! Tok!

Bunyi ketukan pintu dari luar kamar Jian terdengar jelas. “Masuk aja!” sahut Jian.

Orang yang Ia tunggu-tunggu akhirnya datang dan sudah berdiri di hadapannya. “Maaf gue agak lama, soalnya—” kata-kata Ale terpotong. Jian langsung nemeluknya dengan erat, kepalanya bersandar di bahu Ale, sangat pas. Seperti tempat senderan yang sudah ditakdirkan untuk Jian.

“Jian, are you okay?” Tanya Ale. Sudah sepuluh detik tidak ada jawaban satu pun keluar dari mulut Jian. Tiba-tiba terdengar isakan tangisan, yang sepertinya berasal dari Jiandra. Ale akhirnya paham, dan langsung memeluknya balik sembari menepuk-nepuk punggungnya pelan.

Mau bagaimanapun, Jian tetaplah seorang manusia biasa. Sekuat apapun dia, setegar apapun dia, dan seberapa banyak masalah yang Ia lewati, pasti ada saatnya Ia butuh tempat untuk bersandar dan beristirahat. Dirinya sudah merasa sangat lelah, karena semesta sudah terlalu banyak bercanda terhadap hidup Jian.

Beberapa menit telah lewat dan Jian sudah merasa lebih tenang. Sekarang posisi mereka hanya berdiri dan saling berhadapan. Jian masih menunduk, mencoba untuk menghapus sisa-sisa air mata.

“Jian,”

“Iya?”

Wanna cuddle?

Jiandra langsung mengangguk dengan rasa senang. Ale berjalan ke kasur milik Jian dan duduk, “Sini cepet.” perintahnya. Ia mendekatkan dirinya pada Ale, dan menaruh kepala di atas paha Ale. Tangan lelaki yang berukuran lebih kecil itu mengusap-usap rambut Jian sembari tersenyum kecil.

Seketika tangan besar Jian menggapai tangan milik Ale dan menggenggamnya. Ia terkekeh, “Tangan lo kecil banget, gemes.”

“Biarin,”

“Iya, biarin aja. Soalnya udah pas di tangan gua buat gua genggam,”

Kupu-kupu itu muncul lagi di perut Ale dan jantungnya berdegup kencang. Entah mengapa, Ia selalu merasakan ini ketika bersama Jiandra. Demi Tuhan! Ale bisa gila lagi sekarang. “Le,” panggil Jian seraya menatap wajah Ale.

“Kenapa?”

I wanna spend more time with you, Ale. Just you and I.

— KALACAFFE

Jam dinding sudah menunjukkan 18:30 malam, dan Jian sedang menantikan seseorang di dalam kamarnya. Katakan Jian gila—dia rela membersihkan dan merapikan seluruh isi rumahnya. Katanya sih, demi kenyamanan bersama.

Pakaian yang Ia kenakan hanya hoodie dan celana pendek kesayangannya. AC pun sudah Ia nyalakan dari 30 menit yang lalu, meja juga sudah Ia rapikan serta buku-buku pelajaran di sebelahnya.

Ia merasa sedikit gugup, tapi tidak sabar untuk belajar bersama orang yang Ia suka dari dulu. Sebenarnya, Jian juga ingin mendapatkan nilai yang bagus; masalahnya Ia begitu pemalas untuk belajar.

Tok! Tok! Tok!

Jian berdiri dari kursinya untuk membukakan pintu. “Akhirnya lo dateng juga, gua udah nunggu dari lama nih,” ucapnya sembari tersenyum. “Sorry, tadi sempet ada traffic di jalan,” balas lelaki itu.

“Yaudah, ayo mulai belajar. Keluarin buku matematika lo sama satu buku catatan.” perintah Ale, duduk di sebelah kursi milik Jian.

Jiandra hanya mengangguk nurut dan melakukan apa yang diperintahkan Ale. Lalu Ia duduk di sebelahnya, merasa begitu senang bisa bersebelahan dengan orang yang Ia suka.

Waktu pembelajaran telah dimulai. Ternyata Jian kali ini bisa fokus dan mengerti dengan baik semua yang diajarkan atau dijelaskan oleh Ale.

“Sekarang lo coba kerjain soal-soal ini,”

“Semuanya?”

“Dari nomor satu sampai lima belas aja dulu. Nanti gue cek jawaban lo,”

Alright.

Menunggu Jian mengerjakan latihan soal, Ale tiduran di atas meja—sembari melihat Jian yang memasang wajah serius. Tanpa Ia sadari, kedua sudut bibirnya naik sedikit. “Udah sampai soal nomor berapa?” tanyanya. “Baru sampai nomor sepuluh, dikit lagi,” jawab Jian, lanjut menulis dan menghapus tulisan.

“Le, gua terlalu ganteng ya?” ucap Jian mulai usil. “Maksud lo..?” Ale mulai kebingungan.

“Dari tadi lo liatin gua mulu, mana senyum-senyum sendiri lagi,”

“Ke-geeran.”

“Hahaha, gemes banget sii,”

“Diem lo, cepet selesain dulu,”

“Iya iyaa, cutie.”

Tepat pada pukul tujuh malam, Jian akhirnya berhasil menyelesaikan lima belas soal latihan itu. Jujur saja, Ale hampir tertidur karena merasa bosan menunggu Jian. Fiuh! Untung saja Ia bisa menyelesaikannya dalam 30 menit. Tapi sekarang, waktunya untuk mengecek jawaban-jawaban milik seorang Jiandra. “Udah? Mana sini jawabannya, biar gue bisa cek.”

Hanya butuh sepuluh menit, Ale sudah selesai mengecek semua jawaban. Demi Tuhan, rasa gugup Jian seperti sudah menaiki level teratas!

Congrats! Jawaban lo bener semua,”

“Seriusan Le?” Ia menatapnya tidak percaya.

Ale mengangguk kecil dan tersenyum puas. Akhirnya, Ia berhasil mengajar satu “muridnya” ini. Jian yang mengetahui itu, langsung berseru-seru. Siapa juga yang tidak senang kalau jawabannya benar semua?

“Lo boleh minta apapun ke gue sebagai reward. Tapi jangan yang aneh-aneh, awas aja lo,” ucap Ale.

“Kalau gitu.. can I hug you?

Sure, why not?

“Yaudah, kalau gitu sini.” perintah Jian sembari menepuk pahanya. Awalnya Ale agak ragu, tapi akhirnya Ia menyetujuinya. Lelaki berambut hitam itu pindah untuk duduk di pangkuan Jiandra. Aduh! Perutnya seperti terisi kupu-kupu lagi, sungguh aneh untuk Ale.

Posisi mereka berhadapan—Jian memberi tatapan penuh kasih sayang, yang tidak pernah seorang pun melihatnya seperti itu. Lelaki di pangkuannya tidak tahu harus berbuat apa dan hanya terdiam. “Jangan liatin gue kaya gitu, Jian.” Ia membuka suara.

Jian tertawa kecil, merasa gemas dengan Ale. Lalu tanpa lama lagi, Ia langsung memberi pelukan hangat kepada lelaki itu dan mencoba membuatnya terasa nyaman.

Ale yang awalnya hanya diam, akhirnya membalas pelukan lelaki di hadapannya itu. Ia sedari tadi merasa bahwa seorang Jiandra yang selalu ceria ini, sedang berjuang sendirian. Menghadapi segala rintangan di hidupnya yang tidak mudah. Ale heran, bagaimana Jiandra bisa tetap tersenyum? Namun pertanyaan itu tidak akan terjawab sekarang, jadi biarkan waktu yang menjawab semuanya.

“Ale,”

“Hm?”

Your hug is very warm, gua suka.”

Your's too, Jian.

I really do wish time stops for awhile right now.

— KALACAFFE

TW // harsh words.

Jam dinding sudah menunjukkan jam 15:30, yang berarti waktunya untuk melaksanakan latihan band. Begitu pun bel berbunyi, Jian dan kawan-kawan bandnya bergegas keluar dari kelas untuk ke ruang musik.

Jian membawa gitar elektrik, Jendra membawa gitar bass, Haidan membawa stik drum kesayangannya, dan terakhir.. Arjuna membawa dirinya—karena tidak mungkin Ia membawa keyboard seberat itu.

Ceklek!

Begitu Jendra membuka pintu, lampu-lampu langsung menyala secara otomatis. “Wah, gila! Udah otomatis nih nyalanya?” ucap Haidan terkejut.

“Iya lah, dari dulu goblog. Lo nya aja kali yang kaga peka,” balas Jian. Mereka bertiga tertawa karena Haidan dengan tingkah bodohnya.

Mereka langsung bersiap-siap dengan alat musik masing-masing. “Kumpul dulu sini bentar,” perintah Jendra. “Kemarin, katanya udah ada yang dapat ide nama band?”

Seseorang mengangkat tangan, “Gimana kalau namanya 'Google Band'?” usul Haidan. Tiga laki-laki tersebut menatapnya bingung. “Itu tuh singkatan dari 'Golongan Orang Single' , keren kan?”

Semua orang di ruang itu tertawa berbahak-bahak karena ide konyol Haidan. “ENAK AJE LU, TOLOL BENER!” seru Arjuna. “Bercanda Jun, hehehe.” ucap Haidan sembari mengusap tengkuk.

“Gua ada ide. Gimana kalau namanya 'Revaleaz Band' ?” ujar Jian dengan rasa sedikit gugup. Mereka langsung mengajukan jempol—yang berarti setuju dengan ide Jian.

Sesi memikirkan nama untuk band pun selesai. Waktunya untuk latihan bersama!

“One.. two.. three!”

I figured it out I figured it out from black and white Second and hours Maybe they had to make some time

I know how it goes I know how it goes from wrong and right Silence and sound Did they ever hold each other tight like us? Did they ever fight like us?

Seseorang mengintip ruangan musik itu, lalu tersenyum kecil. “Semangat latihannya, Jian. I'm sorry I can't watch you practicing for long.” bisik lelaki itu pada dirinya sendiri—sembari melihat Jiandra, dan Ia pergi dengan rasa berat hati.

You and I, we don't wanna be like this We can make it 'til the end Nothing can come between you and I Not even the Gods above Can separate the two of us No, nothing can come between you and I Oh, you and I.

Jian melihat kesana-kemari mencari seseorang yang Ia tunggu-tunggu. Sayangnya.. harapan itu tidak tercapai.

“Apa gua bilang, Ale ngga bakal bisa nonton gua ngeband kan?”

— KALACAFFE

TW // mention of kiss

Ale sedang berada di kamarnya, menunggu seseorang yang Ia tunggu-tunggu dari tadi.

Tok! Tok! Tok!

“Masuk aja!” perintah Ale. Lelaki berkacamata itu pun masuk ke dalam kamar Ale, dan menarik sebuah kursi untuk duduk di dekatnya.

Mereka terdiam sejenak, menunggu siapapun untuk memulai pembicaraan. “Ale,” panggil lelaki itu. Ale mengangkat kepalanya dan menatap lawan bicaranya.

“Lo.. lagi ada masalah kah?”

“Nggak tau, kak. dibilang masalah juga bukan, nggak ada masalah juga bukan.” akhirnya Ia bersuara.

Suasana kembali sunyi. Tidak ada yang bersuara satupun, hanya terdengar udara AC. Seketika Ale mulai berbicara lagi,

“Gue bingung,”

“Kenapa?”

“Ada yang ngedeketin gue, namanya Jiandra. Tadi sebelum pulang sekolah, gue barusan dapet first kiss dari dia.. sekarang gue bingung, sebenarnya kita statusnya teman atau gimana? Gue bingung, kak Mahesa.”

Orang yang Ia sebut 'kak Mahesa' tersenyum kecil, lalu menepuk bahu Ale. “Itu namanya hubungan tanpa status, Ale. Lo sendiri pasti masih bingung kan sama perasaan lo? Campur aduk?”

Ale mengangguk. “Iya, kak. Kok lo bisa tau? Kursus dukun ya, lo?”

Ia tertawa kecil, “Nggak lah, mana mungkin. Gue bisa tau karena gue juga pernah ngalamin, dulu pas SMA.”

“Terus, gimana?”

“Yaudah, gue udah lost contact sama dia. Masa putih abu-abu memang asik, bikin baper— sampai senyum-senyum sendiri kaya orang gila. Tapi nggak semuanya bisa berjalan dengan baik kan?”

Lelaki pendek itu mengangguk pelan dan menunduk. Entah mengapa, kata-kata Mahesa membuat dada Ale terasa sedikit sesak. Ale tidak mengerti apa yang Ia alami sekarang.

“Tapi, gue yakin lo bisa bikin kisah cinta lo sendiri sampai happy ending. Good luck, dek.” **ucap Mahesa sembari mengusap-usap tengkuk milik Ale.

Kalimat terakhir yang Ia barusan dengar membuatnya merasa aneh— kupu-kupu itu datang kembali.

cerita kita memiliki akhir yang bahagia, walaupun itu terlihat susah. bisa kan?

written by kalacaffe.

TW // kissing, mention of cigarette

Jujur saja, Kale seharian di sekolah merasa sangat gugup, karena harus memenuhi deal yang diminta oleh Jian. Kalian tahu? Ini akan menjadi first kiss seorang Kalileo Mahreja Putra. Tentu saja, tidak akan dilupakan.

Bel sekolah telah berbunyi, menandakan bahwa sekolah telah selesai. Kale langsung membereskan mejanya dan pergi ke toilet sementara untuk merapikan tampilan dirinya.

Ia mengeluarkan sebuah benda yang bertulisan “Vaseline Lip balm” dan mengaplikasikannya pada bibir miliknya.

“Gue nggak tau kenapa gue begini, I think I'm getting crazier and crazier these days.” ucapnya pada diri sendiri, sembari melihat ke kaca.

Melihat jam tangannya, jarum panjang sudah menunjuk angka tiga. Kale bergegas pergi mencari ruang musik, dan disinilah Ia menemui lelaki yang bernama Jiandra.

Sebelumnya, Jian sudah meminta salah satu anak OSIS untuk mematikan cctv ruang musik—dengan alasan untuk menghemat listrik. Tapi, AC sudah Ia nyalakan serta gorden-gorden Ia tutup dengan rapat. Katakan Jian gila, tapi dia sudah menantikan ini dari lama.

“Sini,” perintah Jian. Suaranya menjadi sangat lembut, membuat Kale merasakan kupu-kupu aneh itu di dalam perutnya lagi.

Ia perlahan mendekat ke arah Jian, satu demi satu langkah dipenuhi dengan rasa gugup.

Tanpa aba-aba, Jian menarik pinggang mungil Kale dengan kedua tangannya, membuat Kale terkejut serta dengan pipi yang sekarang berubah merah seperti tomat. “L-lo ngapain?” tanya Ale. Jian hanya tersenyum, dengan senyuman tampan ciri khasnya.

Jarak mereka sekarang sangat dekat! Dengan situasi seperti ini, hati Kale sudah tidak karuan—rasanya ingin keluar, sekarang juga.

Have you ever kissed someone before?

Kale menggeleng sebagai jawaban. Yes! Ciuman pertamanya sekarang hanya dimiliki seorang Jiandra Pradipta Bumi.

Then..” Jian memajukan wajahnya sampai Ia dapat merasakan nafas gugup lelaki pendek di depannya itu. “Why won't you give it a try?” lanjutnya.

Sudah sepuluh detik Jian tak merasakan apapun di bibir keringnya.

Just chill, okay?” ucap Jian, mencoba membuat Ale nyaman sebelum melakukan 'deal' mereka itu.

Kale bersumpah, ini adalah situasi yang lebih menegangkan dari pada situasi saat ujian tengah semester!

Setelah itu, Ia mencoba menarik dan membuang nafas untuk menenangkan dirinya supaya tidak merasa terlalu gugup. Memang tidak terlalu membantu, tetapi alangkah baiknya mencoba.

Akhirnya Ale memberanikan diri untuk menempelkan bibir lembut nya ke milik Jian yang terasa kering, namun anehnya.. manis. Ia hanya terdiam, menunggu Jian mendominasikannya.

Perlahan, Jian menggigit bibir bawah milik Ale sebagai izin untuk melakukan ciuman lembut, lalu alhasil Kale mengizinkan lidah Jian mengeksplorasi mulutnya sembari mengalungkan kedua tangan di leher Jian.

Demi Newton, ini akan menjadi pengalaman yang paling tak terlupakan bagi seorang Jiandra—dan juga pengalaman yang paling membekas di hatinya.

Sesi tersebut pun selesai, keduanya langsung di selimuti oleh rasa malu. Namun perasaan senang juga tidak bisa mereka sembunyikan. Tangan Jian mengusap-usap rambut Ale, “Suka?” Sebagai jawaban, Ale hanya mengangguk pelan. Jian terkekeh melihat kedua pipi Ale yang merah merona. Lucu, pikirnya.

Your lips tastes like strawberries, Ale. Better than those cigarettes or candies that I have tasted before.

KALACAFFE

TW // violance

Ketika Jian menerima pesan dari Abangnya, Ia langsung berburu-buru keluar dari sekolah dan menaiki motor miliknya. Hanya membutuhkan 10-15 menit, sampailah di rumah.

Jian langsung bergegas masuk ke rumahnya, melihat bahwa apa yang dikatakan Abangnya itu benar— rumahnya berantakan sekali. Piring-piring pecah, botol miras milik Ayahnya pun berserakan dimana-mana, serta barang-barang lainnya yang dirusak oleh Ayahnya sendiri. Benar, ini adalah hal yang sudah biasa terjadi dalam keluarga Jiandra.

Not so happy as you think, right?

“AYAH, SADAR DONG AYAH!” teriak Jian, mencoba menyadarkan Ayahnya kembali yang sudah mabuk berat. “Biar Abang yang ngurusin Ayah. Kamu obati Bunda aja, oke?” perintah Abangnya.

Jian mengangguk nurut dan langsung menuntun perlahan Bundanya ke kamar. Ia mengambil sebuah kotak P3K dan bertanya, “Bunda, mau sampai kapan Ayah begini?”

“Nggak tau, Jian. Bunda nggak tau, cuman Tuhan yang tau. Maafin Bunda, ya?” balas Bunda dengan suara yang bergetar.

Anak bungsunya hanya terdiam, mencoba menahan dirinya supaya tidak terlihat “lemah” di hadapan Bundanya. Prinsip yang dipegang oleh Jian; seorang putra harus bisa menjadi perisai bagi Bundanya, kan? Tidak boleh lemah, sama sekali.

Ia mengambil sebuntal kapas dan betadine, mulai **mengobati setiap bagian tubuh Bundanya yang terluka akibat perkelahian tadi dengan Ayahnya yang mabok berat.

Jujur saja, jika saat ini Jian dapat meminta sesuatu kepada Tuhan, Ia ingin Bundanya bahagia. Ia tidak ingin melihat Bunda kesayangannya terluka ataupun menangis lagi. Tapi apa boleh buat?

Tuhan sudah merencanakan semuanya, kita hanya bisa menjalaninya.

“Bunda.”

“Iya, Jian?”

“Sebenarnya di rumah ini.. keluarga atau bukan, Bun?”

written by kalacaffe.

Sebelum Kale keluar dari perpustakaan, Ia menulis sebuah pesan di atas sticky note untuk Jian—supaya tidak bingung.

Ia langsung bergegas keluar dari perpustakaan, tidak ingin membuat Mama-nya menunggu terlalu lama. Melewati tembok-tembok tinggi berwarna putih, hingga sampai di depan gerbang sekolah yang besar itu.

Wanita yang Ia panggil 'Mama' tersenyum saat melihat anaknya berlari ke arahnya. “Kenapa Ma? Ada masalah di rumah kah?” Tanya putranya.

Ia menggeleng dan tertawa kecil melihat putranya sedikit panik, karena Ia tahu kalau anak satu-satunya itu sangat tidak tega jika anggota keluarganya kesusahan.

“Gapapa Ale, Mama cuman mau kasih kamu ini. Semoga suka ya?” ucapnya tersenyum sambil mengusap rambut anaknya.

Disitulah Kale merasa dirinya sangat bersyukur karena memiliki seorang Ibu yang begitu baik hati; mirip seperti malaikat yang diutus oleh Tuhan.

“I-ini buku novel J.K. Rowling? HAH? ADA TANDA TANGANNYA JUGA?” saking senengnya, Kale melompat-lompat bahagia seperti anak kecil di depan Mamanya.

“Kamu suka, le?” tanya Mamanya, usil. “Suka? YA IYALAH SUKA BANGET MA!” Ia langsung memeluk erat wanita di depannya itu dan berterima kasih berkali-kali.

Namun, sudah saatnya wanita itu kembali ke kantor. Bercampur antara senang dan sedih, karena tidak bisa menghabiskan waktu yang lama bersama Mamanya.

Mereka berpelukan sekali lagi, lalu saling pamit untuk kembali pada kesibukan masing-masing.

Kale langsung berjalan kembali ke dalam gedung sekolah, menyusuri tanaman-tanaman hiasan serta tembok-tembok yang tinggi berwarna putih itu. Lalu disinilah dia, di perpustakaan kesayangannya dan duduk disebelah lelaki bernama Jiandra.

Ia menundukkan kepalanya sedikit untuk mengecek apakah Jian masih tertidur. “Kayanya masih tidur si Jian,” pikirnya.

Kalau dilihat-lihat, ternyata lelaki yang di depannya sekarang itu, lumayan cakep juga—eh, hehehe.

Karena merasa dirinya kurang fokus, Ia berpikir untuk mengambil air putih yang letaknya berada di dekat pintu perpustakaan. Saat Ia ingin berdiri—seketika tangan kanan Kale ditahan oleh Jian.

“Stay here with me, Ale. Only for a minute, please?”

written by kalacaffe.

Beberapa tahun kemudian...

Langit hari ini sangat cerah, banyak pohon-pohon beringin dan burung-burung yang terbang kesana-kemari. Tepat pada tanggal 2 Agustus, Jehano dengan seseorang; mengunjungi makam Mahendra.

Sudah bertahun-tahun sejak Mahendra mendonorkan jantungnya kepada adiknya dan meninggalkan Bumi ini.

Jehano menghampiri sebuah batu nisan yang bertulisan nama “Mahendra Algantara”. Ia mengusap ujung batu nisan itu sembari tersenyum kecil.

“Halo, bang? Ini Jehano, adik abang. Di sini Jehan bawa seseorang yang spesial, Langit. Inget dia kan? Sekarang kita udah pacaran selama beberapa bulan..

Oh iya, bang. Jehan mau bilang makasih banyak buat semuanya. Maaf Jehan selama ini dendam ke abang, padahal Abang nggak salah apa-apa. Kalau Abang nggak mau maafin Jehan, gapapa kok! Semoga abang bisa denger suara Jehan sekarang.

Bang, Jehan kalau dikasih kesempatan sekali lagi buat ketemu abang, Jehan bakal ajak abang jalan-jalan deh! Terserah, kemana aja. Tapi.. sayangnya udah telat, maaf ya bang? Jehan mau di kehidupan selanjutnya bisa jadi Adiknya bang Mahen lagi.

Eh, ini Langit mau nyapa abang juga,” ucap Jehano panjang lebar. Ia mundur sedikit, mempersilakan kekasihnya untuk berbicara sepatah kata ke Abangnya.

Langit berlutut di samping batu nisan Mahendra. “Halo, bang! Pasti masih inget Langit kan? Hehe.. kita emang nggak terlalu deket, tapi Langit bisa merasakan kehilangan bang Mahen. Langit di sini sekarang jadi pacarnya Adik bang Mahen. Langit janji, kalau Langit bakal selalu ada buat Adiknya bang Mahen. Suer deh!

Semoga kita bisa ketemu lagi di kehidupan selanjutnya ya, bang? Bahagia terus di sana.” Langit akhirnya selesai mengatakan beberapa kata-kata untuk Mahendra.

Jehano menunduk, menaruh sebuah bunga Anyelir di depan batu nisan Abangnya. “Jehano janji nggak bakal lupain Abang.”


Hari berganti menjadi begitu gelap. Jam tangan sudah menunjukkan pukul 9 malam. Jehano memasuki rumah itu dan melihat Mamanya yang sedang memasak untuk makan malam mereka.

“Ma?”

“Eh, Jeje! Ayo bersih-bersih dulu, abis itu makan malam sini bareng Mama,”

“Siap bu bos!”

Setelah selesai membersihkan diri, Jehano menarik kursi dan duduk di dekat meja makan. “Awas tangannya,” peringat Mamanya sembari membawa panci berisi ramen.

Jehano tertawa ringan, “Hari ini tumben bener makan ramen,” Ia melahap makanan itu setelah meniupnya berkali-kali. “Iya nak, udah lama soalnya. Sekalian ngerayain ulang tahun Abangmu,”

“Oh iya! Jehan hampir lupa ulang tahun Abang, astaga..”

“Padahal yang tua Mama, kok kamu yang udah pikun?” tanya Mamanya, di iringi dengan tawaan.

“Hehe, maaf Ma. Udah ayo dimakan dulu, takutnya keburu dingin.”

Akhirnya, setelah sekian lama, Jehano merasakan kehangatan keluarganya. Ia berjanji akan menjaga Mamanya sampai detik akhir hidupnya dan menjalani hidup ini dengan baik.

Abang, Jehan akhirnya menemukan kebahagiaannya Jehan. Abang bahagia juga ya, di sana?

© kalacaffe; 2021.