kalacaffe

CW // kissing, slight harsh words.

Cermin itu memantulkan bayangannya. Jas setelan hitam yang begitu rapi—membuat Jian semakin tampan—dan mungkin dapat membuat para tamu yang wanita terpukau dengan tampilannya. Sang MUA pun menepuk-nepukkan sedikit bedak pada wajahnya. Ia juga mengoleskan sedikit pelembap bibir supaya bibir Jian tidak terlihat kering.

Tak lupa dengan rambutnya yang sudah tertata rapi; membuat tampilannya lebih sempurna. Ia bahkan memakai dasi kupu-kupu yang menyempurnakan kerah lehernya. Jiandra terlihat berkali lipat lebih tampan dan tegas. “Oke! Sudah selesai!” seru si Mbak MUA. Bundanya memasuki ruangan Jian dan tersenyum melihat anaknya yang terlihat sudah begitu dewasa.

“Bunda! Jian udah kelihatan keren 'kan?” tanya Jian. Bunda mengangguk. “Anak bunda memang paling keren! Tuh, ada abang kamu juga di sini,” ucap Bunda. Abang Juan—seseorang yang selalu bermain dengan Jian dari kecil—kini tengah berdiri memandangi Jian dengan penuh rasa bangga dan terharu. “Duh, adik gua udah mau nikah aja ... jadi terharu nih gua,” ujar Juan, lalu ia menepuk-nepuk bahu Jian.

Jian tersenyum malu karena ucapan abangnya. “Yaelah, entar lo juga bakal nyusul,” timpal Jian. “Aminnn,” balas Juan. Kemudian keduanya tertawa renyah. “Si Ale gimana? Lo udah lihat dia?” tanya Jian dengan penuh rasa penasaran. “Udah, tadi gua mampir sebentar sekalian salaman sama orangtuanya,” jawab Juan.

“Terus?”

“Yaa ... dia kelihatan bagus? M-maksud gua, pokoknya kelihatan cocok dah sama lo.”

“Asik! Gua jadi nggak sabar ketemu dia tau.”

Di tengah-tengah percakapan, tiba-tiba sudah ada orang yang menyuruh Jian untuk standby di panggung. Ia dengan kedua anggota keluarganya pun pergi ke area acara pernikahan itu dilaksanakan. Jantung Jian berdebar-debar begitu cepat, bahkan nafasnya sampai tidak teratur akibat gugup.

Abangnya mengetahui hal itu, dan ia langsung menghampiri Jian. “Lo bakal baik-baik aja kok, tenang aja Ji,” ucap Juan, berusaha menenangkan adiknya. “Hahaha iya, thank you bang,” balas Jian dengan senyuman tipis. Jian berjalan ke arah tangga panggung dan menunggu di situ sampai ia mendapatkan kode untuk naik ke atas.

Di sisi lain, Ale masih berada di dalam ruang tunggunya. Jas setelah hitam dengan rambut yang sengaja dibuat tampak keriting—membuatnya lebih menggemaskan—dan pastinya Jian akan tambah jatuh cinta dengannya. MUA yang sedang melakukan touch up terakhir pada Ale pun menahan rasa ingin teriak karena Ale terlalu menggemaskan.

“Akhirnya udah selesai aja nih! Coba dilihat,” ucap MUA itu. Ale melihat dirinya di pantulan cermin. “Woah ... ini aku?” Ale sampai tidak percaya kalau itu adalah dirinya sendiri. Ia terlihat berbeda dari hari-hari sebelumnya. “Iya dong sayyy, masa badarawuruhi, nanti yang dateng pada kabur dong,” candanya, membuat Ale tertawa. “Ahahaha, bener juga. Makasih ya Kak,” ucap Ale sembari tersenyum ramah.

Mama dan Papanya Ale pun kembali memasuki ruangan itu. Mereka berdua langsung tersenyum begitu melihat paras anaknya yang terlihat jauh berbeda. “Ale sayang ... you look so cool!” puji Mamanya. “I agree with your mom,” timpal Papanya. Tanpa lama lagi, Ale langsung memeluk keduanya sebagai tanda terima kasih karena sudah selalu ada di sisinya hingga dewasa kini.

“Jangan nangis dong sayang,” ucap Mamanya sembari mengusap-usap pipi Ale. “Kasihan loh Kakak MUA-nya tuh,” lanjutnya. Ale tersenyum dan berusaha menarik dirinya kembali. “Iya Mama, thank you,” ucap Ale.


Pemandangan sore ini terlihat indah. Ada pantai di seberang sana dan juga terlihat sebuah sunset yang melengkapi semuanya. Berbagai macam lampu-lampu lucu digantung pada tiang-tiang sekitar situ. Para tamu-tamu pun sudah datang semuanya dan menunggu acara pernikahan ini untuk mulai.

Semuanya membuat Jian merasa campur aduk. Hingga teman-teman jahilnya menghampiri Jian. “Oy bontot!” seru Haidan. Satu persatu teman-temannya mendekati dirinya. Tanpa sadar, kedua sudut bibir Jian perlahan terangkat. “Widihh, udah mau jadi suami orang aja lo,” ledek Jendra. “Yaelah, lagian nanti lo nyusul sama Alen hahaha,” balas Jian, membuat Alen menunduk malu dan terkekeh kecil.

“Si Ale di mana Ji?” tanya Arjuna. “Nanti jalan lewat tengah situ,” jawab Jian sembari menunjukkan jalannya. Arjuna mengangguk paham dan kemudian meminum coke yang ia bawa bersamanya. “Eh bang Mahesa di mana dah? Gua kagak lihat dari tadi,” tanya Jian. Mereka semua celingak-celinguk untuk mencari keberadaan Mahesa. “Nggak tau, Ji. Palingan nanti muncul,” ucap Alen.

Waktu terus bergerak maju ketika mereka berbincang-bincang, hingga memakan waktu yang menghantarkan Jiandra pada mulainya acara pernikahannya dengan Ale. Teman-temannya kembali pada tempat duduk masing-masing dan meninggalkan Jian yang sudah siap untuk naik ke atas panggung. Namun sebelum itu, ada sebuah projector yang menyala dan menampilkan foto-foto serta videonya dengan Ale pada masa SMA dahulu.

Ada beberapa yang diambil oleh teman-temannya.

Lagu “Kiss You” oleh One Direction akhirnya selesai. Namun ternyata, masih ada penampilan tambahan dari salah satu anggota mereka. Yaitu.. Jiandra. Semua lampu tiba-tiba mati, membuat para penonton bingung.

Lalu, saat menyala kembali, hanya terlihat Jiandra di tengah-tengah panggung sembari membawa gitar akustik. “Gua disini mau menyatakan perasaan gua ke seseorang melalui lagu ini, semoga kalian suka! Terutama ke orang yang gua cinta dari dulu.”

Jian tertawa kecil saat menonton dirinya itu. Ia merasa seperti sedang mengalami flashback yang sedikit memalukan baginya.

Setelah selesai bernyanyi, Jian memegang mikrofonnya dan berkata, “Gua nyanyi lagu ini untuk seseorang yang bernama Kalileo Mahreja Putra. Dan Ale, nggak usah lama lagi... will you be mine?” Boom! Momen yang telah ditunggu-tunggu akhirnya datang.

Air mata mengalir terus-menerus dari mata Ale. Ia tidak pernah merasa sebahagia ini dalam seumur hidupnya. “YES!” teriak Ale sebagai jawaban. Semua penonton bersorak-sorak untuk pasangan baru di sekolah ini. Jian tersenyum sangat lebar. Ia sesaat melihat teman-temannya yang ikut berbahagia juga.

Video itu pun selesai dan seorang MC menaiki panggung. “Kita sudah melihat sedikit kilasan memori Jian dan Ale saat mereka masih sekolah dulu. Perjuangan Jian yang keras itu akhirnya membuahkan sebuah hasil. Dia berhasil meluluhkan hati Ale dan menjadikannya sebagai miliknya. Sekarang, kita akan menyaksikan pernikahan mereka. Mari saudara Jian menaiki panggung,” ucap sang MC.

Jian menaiki panggung—yang tidak terlalu tinggi itu—dengan jantung yang berlipat kali berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia berusaha untuk tetap tenang walaupun ada ratusan tamu yang sedang melihat dirinya. “Dan ini dia ... Kalileo Mahreja Putra!” seru sang MC. Pemain piano yang berada di belakang, langsung memainkan lagu 'A Thousand Years' oleh Christina Perri dengan pianonya.

Pintu besar dan tinggi itu pun terbuka lebar. Kalileo, berjalan perlahan dengan sang Mama yang berada di sisinya. Jangan lupakan anak-anak yang menaburi kelopak-kelopak bunga di depannya. Semua tamu bertepuk tangan begitu melihat Kalileo. Jian, yang berada di atas panggung itu tersenyum lebar. Ia sangat terpesona dengan paras Kalileo yang begitu indah di matanya. Selalu indah.

Ale pun menaiki panggung dari sisi kiri karena Jian melalui sisi kanan. Ia kini berhadapan dengan Jian. “Cantik,” puji Jian dengan bisikan. Ale tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa ia sangat bahagia hari ini. Senyumannya juga tidak bisa pudar begitu melihat Jian.

Ale mengambil satu cincin itu dan memakaikannya pada Jian. Sebaliknya pun juga. Hingga keduanya menyatakan bahwa mereka berjanji untuk saling menjagai dan mencintai seumur hidup.

“CIUMAN WOY CIUMAN!”

“WOOHOOOO! AYO CIUMAN!”

“ANJAY JIANDRA KALE NIKAHAN COYYY!”

“PIPIPIP JADI SUAMI! AZEK AZEK JOS!”

Keduanya tertawa mendengar seruan teman-teman Jian yang sangat heboh. Namun tanpa memakan waktu lagi, Jian mendekatkan Ale kepada dirinya dan mempertemukan kedua belah bibir mereka. Ciuman itu sangat lembut. Ale sangat menyukainya. Sampai pada suatu saat, Ale menepuk-nepuk dada Jian karena ia kehabisan nafas.

Jian pun melepaskan tautan mereka dan terkekeh kecil. Ia juga memberikan ciuman pada kening Ale, yang membuat teman-temannya lebih berisik dan heboh sampai disuruh tenang oleh petugasnya. Terutama Haidan, paling rusuh di antara mereka.

Kalileo, I love you so much.

I love you more, Jiandra. And I'll always do.

Lalu, ada sebuah kembang api yang dinyalakan dan membuat suasana menjadi menyenangkan. Kedua mempelai itu melihat ke atas langit yang diwarnai oleh kembang-kembang api tersebut. “Indah banget ya? Tapi nggak se-indah kamu,” puji Jian yang membuat Ale bergidik geli. “Baru nikah aja udah gombal, hadeh ...” balas Ale.


“SATU! DUA! TUAGAPAT!”

Band Revaleaz—tanpa Jian—memainkan lagu 'Tujuh Belas' oleh Tulus. Mereka memilih lagu ini sebagai tanda bahwa mereka menikmati masa-masa mereka muda dan sekolah dulu. Jian tersenyum melihat teman-temannya tampil untuk acara pernikahannya ini. Ale juga ikut tersenyum, dengan tangannya yang masih digenggam oleh Jian.

Tamu yang tadi dicari-cari oleh Jian pun akhirnya muncul. Mahesa, seseorang dulu sempat menjadi musuhnya dan kini mereka menjadi teman yang dekat. Tak jauh beda status pertemanannya dengan Revaleaz. “Jian, Ale!” panggilnya. Kemudian ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman. “Congrats ya untuk kalian berdua!” seru Mahesa. “Hahaha iya bang, makasih. By the way, lo baru dateng ya?”

“Iya, tadi gua ketinggalan pesawat. Untungnya masih ada jam berikutnya.”

“Syukur dah kalau gitu.”

“Hahaha bener Ji. Oh iya, gua mau ngambil es krim dulu ya di sana.”

“Yoi, makasih udah dateng bang.”

“Sama-sama Ji. See you guys in a bit!

Ale melihat-lihat sekitarnya karena ia bingung ingin berbuat apa lagi. Jian menoleh dan menatap Ale. “Kamu capek ya?” tanya Jian dengan rasa khawatir. “Nggak kok, aku cuman bingung aja mau ngapain lagi. Lagian aku nggak terlalu kenal sama orang-orang yang ada di sini, hehehe,” jawab Ale. “Aku juga sih, hahaha. Yaudah kita ketemuan sama Bunda dulu aja, baru habis itu ketemuan sama Mama Papa kamu. Gimana?” Lalu dibalas oleh anggukan Ale.

Keduanya pun saling berbincang dengan orangtua masing-masing. Tak hanya anaknya yang bahagia hari ini, orangtuanya juga sama. Mereka bahagia ketika melihat anak-anak mereka bahagia. Sesuatu yang sederhana, namun tidak semua orang mendapatkan orangtua yang seperti itu.

Dan akhirnya, Jiandra dan Kalileo hidup dengan bahagia.


Hidup kita memang seperti roller-coaster yang selalu naik dan turun. Banyak hal yang tidak bisa kita prediksi. Dan tentunya, hidup itu bukan seperti cerita-cerita dongeng yang selalu berjalan mulus atau sesuai ekspetasi kita. Terkadang, kita perlu berjuang dan bersabar supaya kita dapat mendapatkan apa yang kita inginkan.

Jian, yang selalu berjuang untuk mendapatkan Ale seutuhnya. Ia tidak pernah menyerah sampai ia dapat. Lalu Ale, seseorang yang sangat kuat menghadapi segala rintangan yang datang ke dalam kehidupannya. Keduanya bertemu di satu titik, di mana mereka tidak tahu bahwa mereka saling jatuh cinta. Jian jatuh terlebih dulu, namun Ale jatuh lebih dalam. Inilah akhir dari cerita mereka. Happy wedding, Jiandra and Kalileo.

Selesai.


written by kalacaffe.

— H-1 before the wedding.

Pada pagi hari yang cerah ini—satu hari sebelum hari pernikahan mereka—Ale mengajak Jian untuk mengunjungi suatu tempat yang sudah ia ingin kunjungi sejak dulu. “Ayo ke sanaaa! Kamu mau 'kan?” ajak Ale, menunjuk layar laptopnya yang memperlihatkan website tempat tersebut. Ale menatap Jian dengan mata yang berbinar, mengharapkan pemuda itu untuk luluh dengan tatapannya.

Jian sekarang di tengah-tengah perasaan khawatir dan stress untuk besok. Padahal semuanya sudah tertata dengan rapi. Ia menatap Ale sejenak, melihat sosok menggemaskan itu yang menatapnya dengan penuh berharap untuk mengunjungi tempat tersebut. “Yaudah, ayo ke situ,” ucap Jian. Akhirnya ia luluh juga.

Tangan Ale meraih tangan Jian, lalu kedua netranya menatap Jian dengan lembut. “Kamu nggak perlu khawatir buat besok. Aku yakin, besok bakal berjalan lancar. Sekarang kita santai dulu aja ya? Biar kamu nggak terlalu stress juga,” ungkapnya. Kini Jian merasa lebih tenang karena mendengar ucapan Ale. Ia mengelus surai pemuda itu; tak lupa mengecup keningnya sebagai tanda terima kasih.


We're finally here!” seru Ale dengan semangat 45. Ia menarik lengan Jian untuk mencari spot duduk yang nyaman. Di tempat ini, udaranya terasa segar, banyak sekali pohon dan tanaman lainnya, burung-burung berkicau dan sinar matahari yang tidak terlalu terik. Yap! Mereka sedang berada di taman yang sangat luas. Bahkan di taman ini ada ladang bunganya yang berwarna-warni. Sangat indah untuk dilihat.

Jian terkekeh saat melihat Ale melompat-lompat kecil karena bahagia. Sungguh terlihat seperti anak kecil. “Jangan lompat-lompat mulu, Le. Nanti kamu jatuh, gimana?” tegur Jian. “Nggak bakal kok, 'kan aku lompatnya kecil, nggak mungkin jatuh gitu,” balas Ale yang hanya dianggukan oleh Jian.

“Duduk di bangku itu, mau nggak?” tanya Jian sembari menunjuknya. “Sure! Kaki aku agak pegel juga hehehe,” jawab Ale. Akhirnya mereka berdua duduk di bangku taman itu. Lalu, Jian tiba-tiba mendapatkan ide untuk membuat sesuatu. Ia berdiri dan mencari bunga-bunga. Aksinya membuat Ale bingung. “Aku mau bikinin kamu sesuatu,” ucap Jian.

Setelah beberapa menit, Jian akhirnya selesai. Ia membuat sebuah flower crown untuk Ale. Bunga-bunga itu berwarna-warni dan semuanya cocok dengan Ale. Kemudian ia memakaikan hiasan tersebut di atas kepala Ale.

“Cantik. Tapi sayangnya, bunga-bunga yang ada di kepala kamu itu kalah cantiknya sama kamu.”

“Sumpah, aku nggak akan pernah bisa berhenti muji kamu cantik, Le.”

“Karena itu faktanya. Dan semua orang harus tau kalau Ale yang tercantik-gemes-lucu-ganteng-pinter itu cuman milik Jian.”

Setelah mendengar semua omongan Jian, kedua pipinya terasa hangat. “Cie, salting yaa?” ledek Jian. Ia menoel-noel pipi gembul milik Ale. “Diem Jian. Aku malu,” ujar Ale. Jian tidak bisa berhenti tersenyum melihat Ale yang tersipu seperti itu. Kalau saja di taman ini tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua, Jian mungkin sudah memberinya banyak ciuman ringan pada pipi Ale.

Tiba-tiba di tengah-tengah percakapan mereka, ada orang yang berjualan es krim menggunakan gerobak. Jian langsung menghampiri gerobak itu dan membeli dua batang es krim. “Mbak, saya mau yang ini sama ini. Jadinya berapa?” kata Jian. Sejujurnya, mbak-mbak yang menjual es krim itu ketar-ketir karena melihat ketampanan Jian.

Awalnya sih, saya mau nanyain nomernya berapa. Ehh tapi di belakang udah ada yang ngawasin, mana lebih cantik lagi. Jadinya gagal deh, saya juga takut diamuk. Masih sayang sama nyawa,” batin Mbaknya sembari memberi uang kembalian. “Makasih Mbak,” ucap Jian sembari tersenyum ramah. Kemudian dirinya berjalan kembali ke arah Ale dengan dua batang es krim yang berada di pegangannya.

Ale tersenyum lebar saat melihat Jian membelikan es krim kesukaannya. Es krim yang bercampur dengan oreo! Sungguh menyegarkan dan manis. “Thank you Jian,” ucap Ale. Ia langsung melahap es krim itu dengan senang hati. “Hahaha, my pleasure. Makannya pelan-pelan dong, tuh es krimnya jadi kemana-mana,” timpal Jian. Dirinya mengeluarkan sebuah tisu dan menyeka sekitar bibir Ale yang kotor.

Gemes. Dari dulu sampe sekarang, nggak ada bedanya. Tetep aja gemes, cuman sekarang kadar gemesnya makin naik,” batin Jian. Tanpa sadar, kedua sudut bibirnya terangkat hanya karena melihat Ale. “Jangan ngeliatin aku terus, es krimnya habisin,” ujar Ale. Jian hanya mengangguk dan terkekeh karena pemuda di depannya itu semakin hari semakin menggemaskan.


Setelah kegiatan memakan es krim dan bercandaan, keduanya kini terdiam menikmati langit malam ini. Jian berdiri terlebih dahulu, yang kemudian diikuti oleh Ale. Ia mengulurkan tangannya dan digenggamnya tangan Ale dengan lembut. Jian dan Ale berjalan-jalan di sekitar taman sembari bercakap-cakap ringan. Untungnya, udara malam ini terasa sejuk.

Babe.

“Ya?”

“Lihat langit coba.”

Ale mendongakkan kepalanya ke atas. Ia melihat bulan sabit yang terlihat indah. Lalu tidak lupa bintang-bintang kecil yang bersinar itu—menghiasi seluruh langit—tetapi kalah dengan mata Ale yang lebih indah dan seperti memiliki bintang-bintang di dalamnya. Jian mengalihkan pandangannya ke Ale dan tersenyum. Ia mengusap-usap rambut Ale.

So, what do you think?

It's beautiful. Aku udah lama nggak perhatiin langit gara-gara selalu sibuk sama semua hal.”

“Gapapa. Tapi kamu tau sesuatu nggak?”

“Apa?”

“Mata kamu ... kaya ada bintangnya. Seolah-olah ada universe yang luas dan indah di situ. Tapi nggak cuman matanya kok. Menurut aku, semuanya yang ada di kamu itu indah, Le.”

“Heh! Udahan ih gombalnya!”

“Hahahaha, malu yaa? Cie Ale malu, utututu.”

“Jian berisik ah!”

Lalu Jian berhenti meledek Ale dan beralih merangkul kekasihnya itu. Tiap hari, tiap jam, tiap menit dan tiap detik, semuanya begitu berharga bagi Jian. Mengingat dirinya dulu yang mengejar Ale setengah mati membuatnya tertawa sedikit. Tetapi usaha tidak mengkhianati hasilnya. Buktinya, besok ia menjadi suami dari seseorang yang ia selalu cintai dari awal.

Cup!

Ale mengecup pipi Jian, lalu berlari karena malu. “Ale! Awas aja kamu ya! Aku kejar kamu sampe dapet!” seru Jian sembari berlari-lari mengejar Ale. Tak peduli jika ada yang melihatnya dan berpikir bahwa mereka aneh.

Namun karena Jian lebih kuat dan cepat, Ale kalah dan ia tertangkap oleh Jian. Mereka berdua pun tertawa lepas. “Hahaha, aku berhasil nangkep kamu!” seru Jian. “Iya deh iya, kamu menang,” ucap Ale dengan pasrah. Keduanya kembali berjalan lagi untuk mengimbangi nafas mereka. “Ale,” panggil Jian. “Hm?”

Jian menghentikan langkahnya dan Ale juga sama.

Cup!

“Sebagai balasan dari aku.” Jian mengecup bibir Ale, kemudian ia tersenyum meledek. Ale memukul lengan Jian karena ia malu jika tadi dilihat oleh orang-orang. Jian tidak berkata apa-apa lagi dan ia kembali merangkul Ale sembari berjalan-jalan menikmati angin semilir malam ini.

Mari kita berharap, semoga pernikahan mereka besok dapat berjalan dengan lancar.

written by kalacaffe.

CW // kissing, harsh words.

Jiandra, seorang pemuda yang sedang dalam keadaan stress—ya, untuk saat ini. Sepanjang waktu, ia berjalan kesana-kemari sembari berpikir keras. Sudah saatnya ia melamar pujaan hatinya, si Ale.

“Gua harus apa ini?! ARGHH!” keluh Jian. Rambutnya sudah sangat berantakan sekali, karena ulahnya sendiri—sebuah tanda bahwa ia sudah sangat frustasi. “Gua harus cari ide yang bikin hati dia meleleh dan nggak terlalu berlebihan buat ngelamar Ale. Tapi masalahnya gua lagi nggak ada ide,” lanjutnya.

Kemudian, Jian mengambil gelas berisi air putih dan meneguknya hingga habis. Ia pun duduk sejenak supaya dapat berpikir lebih jernih. “Oke ... pertama, Ale sukanya matematika. Apa gua lamar pake kode-kode matematika gitu aja ya?” tanyanya, pada pantulan cermin. Lalu ia langsung menggeleng hebat. “Jangan deh, nilai matematika gua pas dulu aja selalu di bawah KKM, yakali gua ngelamar pake itu.”

Jian berdiam lagi untuk berpikir. “Hmm ...” Tak lama kemudian, sebuah ide muncul di benaknya. “Oh! Ale suka donat pake gula salju! Eh tapi, masa gua masukin cincinnya ke dalam donatnya? Nanti kalau dia ketelen gimana goblok?” Yah ... ide yang buruk lagi, kandas. Lalu pemuda itu melihat ke sekelilingnya dan kedua netranya terhenti pada suatu bingkai foto.

Foto itu memperlihatkan Ale yang sedang memeluk anjingnya, Regal. Sangat amat menggemaskan, hingga tanpa sadar membuat kedua sudut bibir Jian terangkat.

Jian menatap foto itu sangat lama, sampai ia mendapatkan sebuah ide yang cemerlang. “Akhirnya ketemu ide yang sempurna. Sekarang tinggal nyiapin aja. Haduh, semoga gua bisa.”


3 jam telah berlalu dan kini jam dinding menunjukkan jam 7 malam. Jian sedang memastikan semuanya sudah berada di tempat. Ia pun juga tak lupa memberi makan anjing peliharaannya Ale; yang sempat dititipkan padanya beberapa hari yang lalu. Setelah semuanya selesai, Jian mendudukan dirinya di atas sofa. “Gua telpon Ale sekarang kali ya?” batinnya.

Namun sebelum itu, ia mencium bau tak sedap pada tubuhnya. “Ya ampun, gua lupa mandi anjir! Bisa-bisanya gua lupa, untung sekarang gua inget. Gimana kalau gua nggak inget? Kayanya gua bisa-bisa ditolak Ale ini mah,” racau Jian. Dan pun ia langsung pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Masa ia mau melamar Ale dengan paras seperti itu?

Beberapa menit kemudian, Jian akhirnya selesai membuat dirinya semakin tampan dan juga wangi. Ia pun langsung mengambil ponselnya dan menghubungi kekasihnya.

Halo Jiannn!

“Hahaha, halo sayang. Kamu bisa ke sini nggak?”

Bisa. Tapi aku harus revisi beberapa hal dulu, bentar lagi kelar kok.

“Sip! Nanti kabarin aja kalau udah kelar ya?”

Okay Jian. Aku tutup yaa, see you later!

See you soon, babe. Semangat.”

Tut!

Sambungan tersebut pun dimatikan oleh Ale yang sedang sibuk. Eitss, tapi kalian jangan salah paham. Jian tidak dalam masa pengangguran atau tidak mempunyai kerjaan. Ia justru bekerja di bawah perusahaan Papanya Ale sebagai manajer dan Ale sendiri sebagai direktur keuangan. Jadi, bisa dikatakan mereka lumayan beruntung dan tentu bersyukur mendapatkan posisi tersebut.

Hari ini Jian mengambil cuti dengan alasan sakit. Padahal nyatanya, ia sedang mempersiapkan sebuah kejutan yang spesial untuk Ale. Sedikit kurang ajar, tapi tidak apa-apa. Hanya sekali ini saja.

“Duh, lama banget rasanya,” keluh Jian—yang langsung menghembuskan nafas panjang. “Apa gua telpon Bunda aja ya?” pikirnya. Pemuda itu membuka ponselnya lagi dan menghubungi Bundanya. Sudah sangat lama mereka bertukar kabar lagi semenjak Jian mendapatkan pekerjaan dan harus berpindah rumah. Jian merindukan Bundanya.

“Halo Bunda?”

Ini Jian ya?

“Iya Bunda, ini Jian. Jangan-jangan Bunda udah ngelupain Jian nih?”

Hahahaha, nggak kok sayang. Bunda nggak mungkin ngelupain anak Bunda yang bungsu. Kabarmu gimana nak? Baik? Nggak ada masalah apa-apa 'kan?

“Nggak, Bunda. Jian cuman mau denger suara Bunda lagi, udah lama nggak denger soalnya.”

Bisa aja deh kamu. Oh iya, kabar Ale gimana nak? Baik juga?

“Baik kok. Jian selalu ngejagain Ale juga, jadi Bunda nggak usah khawatir.”

Syukur kalau gitu. Kamu udah makan nak?

“Belum Bun. Bentar lagi Jian makan kok, bareng Ale malah.”

Wihhh, asik dong? Jangan lupa makan yang banyak ya, biar ada tenaga buat kerja. Jangan sampai kecapean juga, istirahat yang cukup.

“Siap Bunda! Yaudah, sekarang Jian tutup dulu ya? Ale bentar lagi pulang nih, mau siap-siap dulu.”

Iya iya, sana gih. Dadah sayang! Jaga diri baik-baik di sana!

“Iyaa, dah Bunda!”

Tut!

Setelah sambungan telepon itu dimatikan, Jian bercermin lagi—untuk memastikan penampilannya terlihat sempurna di hadapan Ale. Begitu Jian selesai merapikan dirinya, ia mendengar suara ketukan pintu dari depan rumahnya. Jantungnya langsung berdebar begitu cepat, karena ia tahu bahwa Ale akhirnya pulang.

Langkah demi langkah, Jian pun sampai di belakang pintu rumahnya. Tangannya menarik gagang pintu itu, membuka pintunya dan memperlihatkan sosok pemuda yang sangat menggemaskan dan indah. Iya, pemuda itu adalah Kalileo Mahreja Putra. Seseorang yang sangat Jian cintai.

“Kamu mau aku berdiri di luar terus nih?” tanya Ale, terkekeh kecil. “E-eh iya hahaha, ayo masuk. Maaf, tadi aku rada kaget lihat kamu,” jelas Jian. Ale pun memasuki rumahnya dan melepaskan sepasang sepatunya; tak lupa menatanya dengan rapi juga.

Kemudian Ale menatap Jian. “Kenapa natap aku begitu?” tanya Jian dengan heran. Tiba-tiba Ale berjinjit dan mengecup bibir sang kekasih. “I've been missing you a lot,” ucap Ale, lalu ia tersenyum kecil. Jian masih sedikit terkejut dengan aksi Ale yang tanpa aba-aba.

Lalu, kedua tangan gagah Jian mengangkat tubuh Ale seperti anak kecil dan membawanya ke sofa. Ia mendudukan Ale di sebelahnya. “Kenapa aku harus digendong coba?” tanya Ale, mengerutkan keningnya. “Gapapa sih, pengen aja. Lagian kamu juga enteng banget, jadi aku bisa gendong kamu kaya bayi koala,” jawab Jian. “Dasar kamu,” ketus Ale.

Netra Jian mencuri-curi panjang terhadap Ale. “Hmm, kamu nggak mau peluk aku? Tadi katanya kangen,” ledek Jian. “Ih! Aku mau, siapa bilang aku nggak mau?” cibir Ale, yang kemudian mendekatkan dirinya pada Jian. Kekasihnya itu pun langsung memeluk Ale dengan erat dan tak lupa juga mencium keningnya. “By the way, mau nonton film nggak?” tanya Jian. “Boleh, tapi kamu aja yang pilih,” ucap Ale. Dan Jian mengangguk 'iya.'


Saat film itu masih diputar, Jian tiba-tiba teringat akan rencana kejutannya untuk Ale. “Cutie,” panggil Jian. “Ya?” balas Ale, tanpa melepaskan pandangannya dari televisi. “Aku mau ke dapur dulu ya? Haus soalnya,” ucap Jian. Kemudian Ale mengangguk sebagai jawaban.

Jian pun berdiri dan berjalan ke arah belakang menuju dapur. Ia melihat anjingnya Ale; alias Regal yang memakai kostum lucu seperti pengantin. Tidak lupa juga, ia membawa kotak berisi cincin. Lalu pemuda itu mengalungkan sebuah kertas yang sudah ada tulisannya—kepada Regal. “Kita harus bisa, oke?” bisik Jian kepada anjing itu.

Setelah itu, Jian menyuruh Regal untuk berlari ke arah tuannya. Tentu, Jian mengikutinya dari belakang. Berjalan selangkah demi selangkah, hingga sampai tepat di depan hadapan kekasihnya.

What's going on, Jian?

“Coba kamu lihat yang ada di lehernya Regal.”

“H-huh?”

Ale mengangkat anjingnya ke hadapannya, lalu ... dirinya tertegun saat membaca tulisan itu. Ale berdiri; dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca. Kemudian Jian meletakan satu lututnya di lantai, dan berkata demikian,

“Aku udah nungguin momen ini selama bertahun-tahun semenjak kita pacaran. Bahkan sampai aku cerita ke Bunda tentang ini. So Ale ... Instead of “you” and “I,” let's become “we.” I'm asking you to share my life, will you marry me?

Jian pun membuka kotak berisi cincin tersebut di hadapan Ale. “... Kamu mau 'kan?” tanyanya lagi dengan ragu. Ale mengangguk. “Of course Jian,” jawab Ale dengan penuh keyakinan. Tanpa lama lagi, Jian memasang cincin itu pada jari manis Ale dan mengecupnya dengan lembut—layaknya seperti pangeran dari kerajaan.

Ia berdiri dan mempertemukan kedua kening mereka—hingga kedua hidung mereka ikut bersentuhan. Jian dan Ale memejamkan mata sejenak untuk menikmati momen ini.

I love you, Ale.

I love you more, Jian.

Kedua tangan Jian menarik pinggang Ale, yang dapat menghapuskan jarak di antara mereka. Ia mencium bibir Ale dengan lembut dan penuh cinta. Tanpa paksaan, halangan atau apapun itu. Serasa dunia ini hanya milik mereka berdua.

Malam ini sangat amat indah. Bulan yang menyinari langit dan bintang-bintang yang menghiasinya. Saling melengkapi; seperti Jiandra dan Kalileo.

Babe.

“Hm?”

Right now, I feel like the luckiest person in the world.

“Kenapa gitu?”

“Karena aku ... aku doang yang bisa mendapatkan kamu seutuhnya. Dan mendapatkan cinta kamu juga, hahaha.”

“Dasar gombal.”

“Dih? Aku lagi serius tau.”

“Iya iya, jangan ngambek dong Jian.”

“Cium dulu.”

“Jian banyak mau!”

Cup!

Ale mendaratkan sebuah kecupan pada bibir Jian. Hal itu membuat Jian langsung tersenyum. “Jian,” panggilnya. “Iya sayang?” tanya Jian. “Nggak cuman kamu doang, kok. I'm also the luckiest person in this world too.

Kemudian tangan Jian mengangkat dagu Ale dengan perlahan. “What's the reason, sweetheart?” tanya Jian, sedikit menaikkan satu alis. “Dulu pas SMA, kamu juga salah satu inceran perempuan di sekolah 'kan? Dan kamu nggak tertarik sama mereka sedikit pun, malah tertariknya sama aku,” jelas Ale, dengan jantung yang berdebar.

And your point is?” tanya Jian lagi, sengaja meledeknya. “My point is ... I'm the winner of your heart, Jian,” jawab Ale. Kedua pipinya mulai memerah karena malu. Lalu tangan Jian mengacak-acak rambutnya dengan gemas. “Kamu kenapa gemes banget sih?”

Ale langsung menangkis tangan Jian dan bersikap seperti ia sedang merajuk. “Tuh 'kan,” ucap Jian.

“Kenapa?”

“Kamu beneran gemes banget, kaya bayi.”

“Jian, jangan mulai.”

Hahaha, alright-alright. Sorry love.

Dan pada akhirnya, mereka memutuskan untuk tidur bersama karena sudah sangat larut. Kini mereka tak lagi harus berpisah, karena dalam waktu dekat ... mereka akan tinggal di bawah atap yang sama.

— written by kalacaffe.

haidan & arjuna: one-shot au. | pair: hyuckren. part of 'love formula' universe.

CW // harsh words, slight kissing.

Pada malam hari, jam 19.20 Arjuna sedang berada di kamarnya dengan salah satu sahabatnya, Jendra. Mereka mengerjakan tugas kelompok dari siang hari sampai sekarang. Arjuna yang fokus ke laptopnya dan Jendra yang mencari-cari informasi melalui ponselnya. Kedua laki-laki itu sangat sibuk hari ini.

“Argh! Pusing anjing!” gerutu Arjuna. Suara frustasi dari Arjuna membuat Jendra terkejut hebat. “Bangsat, gua kaget!” pekik Jendra, sembari mengusap-usap dadanya. “Ya maap Jen ...” ucap Arjuna. “Oh iya, gue bingung tau sama pacar gue sendiri,” lanjutnya tiba-tiba.

Jendra menutup ponselnya, lalu menatap Arjuna dengan tatapan bingung. “Haidan?” tanya Jendra. Arjuna mengangguk dan menjawab, “Ho'oh, si Haidan.” Kemudian Jendra memposisikan dirinya di samping Arjuna dan menatapnya heran. “Apa yang lo bingungin?” tanya Jendra.

“Gue lebih ke heran sih. Haidan kok nggak pernah cemburu gitu dah? I mean—gue jalan sama siapa aja juga dia nggak peduli anjir,” sungut Arjuna. “Ngerti nggak sih maksud gue?” tanyanya untuk memastikan. “Hmm ... gua ngerti point lo,” jawab Jendra dengan yakin. “Terus lo mau coba bikin dia cemburu gitu?” tanya Jendra.

Sebuah senyuman langsung mengembang di bibir Arjuna. Ia mengangguk hebat. “Tapi ... gue nggak tau caranya gimana,” ucap Arjuna. “Gua tau,” ucap Jendra, yang langsung membuat Arjuna mendekat kepadanya—karena ia ingin tahu. “Gimana?” tanya Arjuna. “Dia belum tau kalau gua udah jadian sama Alen 'kan?”

“Belum. Gue lupa ngasih tau dia.”

“Oke, good. Jadi gini Jun ... lo post foto kita berdua lagi kerja kelompok aja, tapi pake ekspresi yang kelihatan seneng atau enjoy gitu.”

“Lo serius pake cara itu bakal berhasil?”

“Menurut gua sih, iya. Soalnya kalau Alen yang giniin gua, udah emosi gua gara-gara cemburu, hahaha.”

“Hahaha, oke oke. Yok coba sekarang.”


Arjuna menutup ponselnya lagi setelah memposting fotonya dengan Jendra. “Lo yakin ini bakal berhasil?” tanya Arjuna. “Yakin, lihat aja nanti,” jawab Jendra dengan percaya diri. “If you say so.” Beberapa menit kemudian, Arjuna masih mencuri-curi pandang pada ponselnya seraya mengerjakan tugas kelompok. Ia menunggu notifikasi dari kekasihnya, Haidan—untuk muncul di layar depan.

“Nggak usah kelihatan putus asa gitu kali Jun, sabar dikit lagi,” ucap Jendra yang melihat Arjuna menghela nafas dan terlihat putus asa. “Iya, masih gue pantengin nih hape,” balas Arjuna. Ia sungguh-sungguh berharap Haidan akan melakukan yang sesuai dengan ekspetasinya.

Ting!

Begitu mendengar suara notifikasi tersebut, tangan Arjuna bergerak sangat cepat untuk membuka ponselnya. Haidan mengomentari postingannya. Itu membuat Arjuna langsung tersenyum lebar. Jendra yang melihatnya hanya bisa menggeleng-geleng. “Manusia aneh,” gumam Jendra.

Beberapa menit kemudian, Arjuna menutup ponselnya lagi. Kini ia menatap Jendra dengan senyuman yang belum luntur dari tadi. “Mau apa lo?!” tanya Jendra dengan sedikit ketakutan. “Kita lanjut kerkom-nya besok aja ya?” pinta Arjuna. “Emang kenapa dah?” tanya Jendra. “Haidan mau ke sini bentar lagi,” jawab Arjuna.

Tanpa dipaksa pun Jendra langsung berdiri. Ia sama sekali tidak mau berurusan dengan pasangan aneh itu. “Bye, gua pamit,” ucap Jendra terakhir, sebelum pergi keluar dari kamar Arjuna. “Yaa, sana-sana,” usir Arjuna. Kini Arjuna berguling-guling di atas kasurnya akibat terlalu senang dan antusias menunggu kedatangan kekasihnya.

Haidan dan Arjuna memang unik, mereka memiliki gengsi yang sangat tinggi. Tetapi begitu suatu saat luluh, bisa-bisa mereka menjadi bucin akut. Hubungan mereka kadang membuat sahabat mereka lainnya menggeleng-geleng dan hanya menghela nafas pasrah. Namun tidak apa-apa, yang penting Haidan dan Arjuna saling mencintai dengan tulus.

Arjuna langsung bergerak membereskan kamarnya, supaya nyaman untuk ditempati dirinya dengan kekasihnya nanti. Ia sungguh rajin kalau soal kebersihan dan kerapihan. “Oke, bersih semua ... tinggal nunggu Haidan.”

Tok! Tok! Tok!

Tiba-tiba, sebuah bunyi ketukan pintu pada kamar Arjuna terdengar. Ia langsung berjalan ke arah pintu tersebut dan membukanya perlahan. Menampakkan seorang lelaki yang lebih tinggi darinya, memasang raut wajah masam. “Cie, cemburu ya?” goda Arjuna.

Tidak ada balasan dari Haidan. Sial, Arjuna mulai merasa sedikit panik dan khawatir. “Seneng lo begitu?” tanya Haidan, dengan suara rendahnya. Arjuna tahu, kalau kekasihnya sedang marah. “Maafin aku ...” ucap Arjuna, ia mulai merasa bersalah dan menunduk.

“M-maaf,” ucap Arjuna tanpa suara lagi. Ia benar-benar merasa bersalah melakukan hal seperti tadi. Seharusnya ia tidak begini. Seharusnya ia percaya saja kepada kekasihnya. Seharusnya ia tidak meragukan perasaan orang yang mencintainya dengan tulus.

Entah mengapa, kemudian Arjuna mulai menangis. Haidan pertamanya tidak sadar, tapi setelah ia sadar dirinya membuat Arjuna menangis di hadapannya, ia langsung menariknya ke dalam pelukannya. “Nggak usah nangis, cengeng lo,” ucap Haidan. “B-berisik lo!” balas Arjuna, masih terisak-isak. “Lo kangen gue 'kan?” tanya Haidan.

Arjuna mengangguk. “Banget,” jawabnya. Lalu, Haidan menatap kedua netra kekasihnya dan mulai mengusap-usap pipinya yang basah. “Asal kamu tau, aku aslinya cemburuan orangnya. Cuman aku nggak pandai memperlihatkan perasaan aku. Maaf kalau kamu ngerasa aku marah-marah atau ngajak kamu gelut nggak jelas mulu, babe.

Kata-kata Haidan barusan membuat Arjuna tersenyum. “Aku juga mau minta maaf udah ngeraguin perasaan kamu. Aku sayang kamu, oke?” ucap Arjuna dengan suaranya yang lembut. Cukup membuat Haidan ikut tersenyum kembali kepadanya. “Aku sayang kamu juga, walaupun kadang kamu nggak jelas,” goda Haidan. “Bodo amat!”


Sekarang, kedua insan itu sedang berpelukan nyaman di atas kasur. Sangat sunyi, hingga yang terdengar hanya suara AC. Lalu, tiba-tiba Haidan mengangkat Arjuna ke atas pangkuannya. Aksinya membuat Arjuna tersontak. Kemudian Haidan memeluk kekasihnya dari belakang dan menaruh dagunya di atas pundak kekasihnya.

Ia mulai menghirup wangi khas Arjuna. Berbau vanilla yang manis; seperti Arjuna. “Kamu ngapain?” tanyanya. “Nyari darah seger biar kaya Tristan,” jawab Haidan. Arjuna tertawa kecil dan menggeleng-geleng mendengar jawaban itu dari mulut kekasihnya.

Cup!

Haidan mengecup belakang leher milik Arjuna. “Geli anjing,” umpat Arjuna, yang langsung memberi tatapan sinis kepada Haidan. “Hahaha, yaudah kalau gitu di bibir kamu aja,” ucap Haidan. “Banyak mau lo,” ketus Arjuna. “Nggak kok, 'kan aku maunya cuman kamu aja,” goda Haidan.

Cup! Cup!

Dua kecupan ringan mendarat di bibir lembut milik Arjuna. “Manis ya,” puji Haidan. Mendengar pujian itu, Arjuna justru mendapatkan rasa kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya.

“Cie bocil salting, cie.”

“Gue bukan bocil ya, jamet.”

“Gue bukan jamet, gue pacar lo.”

“Serah.”

Lalu, Haidan menarik Arjuna lagi ke dalam pelukannya yang erat. “Udah, nggak usah banyak omong, nanti kemasukan lalat loh,” ledek Haidan. “Lo juga, diem,” celetuk Arjuna. “Iya sayang, ini aku diem ... diem-diem mencintaimu, jiakhhh.” Sepertinya Arjuna harus berdoa meminta kesabaran lebih untuk menghadapi kekasihnya ini.

written by kalacaffe.

jiandra & kale: one-shot au. | pair: jichen. part of 'love formula' universe.

CW // kissing.

“Halo? Kenapa sayang?”

J-jian ... aku takut.

“Having nightmares?”

Hu'um.

“Aku ke sana ya?”

Iya, cepetan. I'm scared.

“Aku berangkat sekarang.”

Begitu Jian mematikan telepon dari Ale, dirinya langsung bersiap-siap untuk pergi ke rumah kekasihnya itu. Hanya memakai kaos dengan hoodie dan celana pendek se-lutut itu sudah cukup untuknya. Tanpa lama lagi, Jian langsung menggunakan motornya untuk pergi ke rumah Ale.

Perasaan yang ia rasakan saat ini adalah khawatir. Ia khawatir jika terjadi apa-apa terhadap kekasihnya. Bahkan dirinya sangat menjaga Ale, berhati-hati dengannya seperti memegang sebuah kaca. Ia se-sayang itu terhadap Ale. Cintanya tulus sekali.

Sesampainya di depan rumah Ale, ia memarkirkan motornya terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam bangunan yang besar itu. Keluarga Ale sudah terbiasa dengan kehadiran Jian dan mereka tidak merasa keberatan sama sekali. Justru mereka sudah menyetujui hubungan anaknya dengan lelaki tinggi tersebut. Karena mereka tau, Jian adalah orang yang bertanggung jawab dan tulus mencintai Ale.


Tok! Tok! Tok!

Tiga ketukan pintu yang Jian lakukan, menghasilkan suara dari dalam kamar kekasihnya. “Masuk aja!” teriak Ale dari dalam. Jian terkekeh mendengar hal itu. Kemudian ia membuka pintu tersebut dan kedua netranya melihat penampakkan Ale yang sedang mengumpat di bawah selimut tebal. Perlahan-lahan, Ale membuka sedikit selimutnya untuk mengintip keberadaan Jian.

It's me, sayang. Nggak usah takut, aku sekarang ada di sini,” ucap Jian dengan suara yang lembut. Seperti seolah-olah ia berbicara dengan anak kecil yang sedang ketakutan untuk menenangkannya. “Aku takut,” ucap Ale, yang langsung keluar dari bawah selimutnya dan memeluk tubuh kekasihnya.

Jian tersenyum kecil, lalu ia gunakan tangannya untuk menepuk-nepuk punggung Ale dengan lembut. “Please don't go anywhere,” pinta Ale. “Aku nggak bakal kemana-mana,” balas Jian. Beberapa menit mereka berpelukan dan Jian tetap mencoba menenangkan hati kekasihnya.

“Aku tadi mimpi semua orang yang aku sayang ninggalin aku,” jelas Ale. “Terus kamu juga ninggalin aku ...” lanjutnya. Jian menggelengkan kepalanya, “Hey, that's only a nightmare. Okay? Inget, aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Kalau misalnya suatu saat aku ninggalin kamu, santet aja,” ucap Jian. Kemudian Ale tertawa kecil mendengar kalimat akhirnya.

Jian melepas pelukan itu, dan menatap kedua netra coklat milik Ale. Lalu ia memberikan senyuman yang hangat. “Boleh cium?” tanya Jian. Pipi Ale kemudian memerah karena mendengar hal itu dari mulut Jian. Sangat tidak biasa. “Ngapain nanya?”

“Biar bikin kamu malu aja.”

“Nggak jelas.”

Tanpa lama lagi, Jian menyatukan kedua belah bibir mereka dengan lembut. Sebuah ciuman yang penuh dengan cinta. Tangan Ale memegang kedua pipi milik Jian supaya dapat memperdalam ciuman tersebut. Dan tangan Jian digunakan untuk mengusap-usap leher Ale. Namun ciuman itu berakhir ketika Ale memukul dada Jian karena kehabisan oksigen.

Jian tertawa kecil melihat bibir kekasihnya yang sudah sedikit bengkak karenanya. “Kamu gemes banget bay,” puji Jian. Lalu ia mencubit pipi Ale dengan gemas. “Jangan cubit-cubit pipi aku,” ucap Ale. “Ini harta milik aku yang berharga banget tau,” lanjutnya.

Entah apa yang sedang dirasuki Ale hingga membuatnya tambah menggemaskan. Tapi tidak masalah, Jian justru makin jatuh cinta terhadapnya. “Mendingan kita pelukan terus bobo,” saran Jian. “Nggak mau bobo, mau ngobrol dulu,” pinta Ale sambil memajukan bibirnya.

“Yaudah. Mau ngobrolin tentang apa bay?”

“Bay bay ... kamu kira aku bayam?”

“Maksud aku bayi, sayang. Hih! Cium lagi nih.”

“Bodo.”

Kemudian Jian menarik selimut yang tebal itu untuk menyelimuti mereka berdua. Suasana kembali tenang, hangat dan sunyi. Tidak seperti sebelumnya, saat Ale merasa cemas dan ketakutan akibat bermimpi buruk. Tangan Ale tiba-tiba memegang tangannya Jian. “Kenapa?” tanya Jian.”

“Gapapa, mau liat tangan kamu aja. Soalnya besar banget,” ucap Ale. “Nggak kok, cuman kamu nya aja yang kekecilan kaya bayi,” goda Jian. Ia suka sekali menggoda dan meledek kekasihnya itu. Hiburan gratis, katanya. “Ngejek terus,” ketus Ale. “Biarin, soalnya kamu kalau ngambek jadi tambah gemes.”

“Udah ah! Bahas yang lain,” ucap Ale. Jian tertawa melihat raut wajah kekasihnya yang terlihat masam. “Nggak usah ketawa.” Ale mengangkat dagunya untuk memberikan tatapan sinis kepada Jian. Posisi mereka sekarang adalah Jian bersandar pada head board kasur dan Ale yang tiduran di atas perut Jian. “Iya iya, maaf sayang.”

Ale memperhatikan wajah tampan milik kekasihnya itu. Dari mata, hidung, bibir, hingga ke garis rahang yang tajam. Semuanya tampak sempurna di mata Ale. “Cie merhatiin,” goda Jian. Ale langsung membuang muka karena malu. “Biasa aja kali, sama calon suami kamu ini,” ucap Jian, makin membuat Ale tambah malu. “Berisik kamu.”

Tangan Jian mengusap-usap rambut Ale dengan lembut, lalu tersenyum sembari memandangi wajahnya. “Ale,” panggil Jian. “Kenapa?” tanya Ale dengan heran. “Kamu tau nggak? Aku nggak pernah nyangka bisa dapetin kamu,” ucap Jian. “Karena?” tanyanya lagi.

“Kamu cuek banget sama aku. Bahkan kenal aku dulu aja nggak, sampe aku bingung banget nyari cara buat deketin kamu lebih lagi. Aku sering nyapa kamu, tapi kamu nggak bales. Aku mau nyoba ngobrol sama kamu, eh ... keburu kamu balik ke kelas terus sibuk belajar lagi.”

“Terus terus?”

“Terus, yaa ... kita pas SMA kelas dua ketemu lagi. Bahkan sekelas, aku sampe semangat banget, hahaha. Tanya aja sama temen-temen aku, pasti mereka tau gimana aku saking senengnya pas tau aku sekelas sama kamu. Ada kesempatan lagi buat deketin kamu, sama ngenal kamu lebih dalam lagi.”

“Aku nggak nyangka kamu bisa kaya gitu ... karena aku.”

“Masa sih? Hahaha, intinya aku ngerasa bersyukur sama beruntung banget dah, bisa berhasil bikin kamu jadi pasangan hidup aku.”

“Bucin akut.”

“Kan sama kamu doang, gapapa 'kan berarti?”

“Iya deh.”

Setelah percakapan itu berakhir, Jian melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul jam 12.00 tengah malam. Ia memposisikan dirinya di samping Ale, lalu menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. “Ngapain kaya gini?” tanya Ale, menatap Jian. “Biar kamu nggak takut lagi,” jawab Jian, menunduk untuk membalas tatapan Ale. Lalu Ale memberikan sebuah senyuman yang kecil. Ia terharu sekaligus lega dan tenang.

“Jian.”

“Kenapa sayang?”

“Aku sayang kamu, tau.”

“Iya tau kok, tapi aku sayang kamu lebih.”

“Curang.”

“Udah, suttt! Bobo aja. Good night cutie.

written by kalacaffe.

CW // harsh words, toxic positivity.

Ketika hari sudah mulai gelap, Hezaro menawari tumpangan ke Aresta. “Babe, mau aku anterin nggak?” tanyanya. “Mau! Tapi agak cepetan ya, soalnya Mama ... kamu tau sendiri Mama gimana,” jawab Aresta.

“Oke deh, shall we go then?

We shall.

Aresta menumpangi motor milik Hezaro, dengan perasaan yang gelisah—takut apabila Mamanya marah kepadanya—saat ia sampai di rumah nanti. Namun, angin semilir malam ini begitu sejuk. Setidaknya sedikit menenangkan hati Aresta dari kegelisahannya.

Sesampainya di depan rumah, Aresta langsung turun dari motor milik sang kekasih. “Makasih Roro! Maaf kalau ngerepotin mulu,” ucap Aresta. Hezaro menggelengkan kepalanya dan tersenyum, “Nggak kok, nggak ngerepotin sama sekali. Udah sana masuk, tapi jangan lupa kabarin aku nanti ya?”

“Siap. Bye bye Roro!” ucap Aresta sembari melambaikan tangannya. “Bye gemesku!” balas Hezaro sebelum pergi. Setelah itu, Aresta memasuki rumahnya dengan rasa gugup—karena harus membicarakan sesuatu dengan Mamanya. Perlahan-lahan, ia berjalan ke arah ruang tengah.

“Aresta.” Sebuah suara yang sama sekali tidak asing terdengar di telinganya. Lalu ia menoleh ke belakang dan kedua netranya melihat wajah sang wanita paruh baya—itu adalah Mamanya. “I-iya Ma? Ada apa?” tanya Aresta. “Ini. Kenapa nilai ujian kimia kamu turun?” tanya Mama, menunjukkan kertas ujian milik anak sulungnya.

Jantung Aresta mulai berdetak dengan sangat cepat, keringat dingin juga mulai bercucuran di keningnya dan kedua tangannya memainkan ujung seragamnya dengan rasa gugup. “Jawab, Aresta.” Nada suara Mamanya mulai meninggi, menandakan bahwa wanita itu mulai marah. “Maaf Ma ... aku udah berusaha sebaik mungkin, tapi habis ini aku bakal belajar lagi kok,” jawab Aresta.

“Oke. Jangan lupa mandi dulu, terus makan malam.”

“Oke Ma, sorry sekali lagi.”

“Hm.”

Begitu percakapan dengan Mamanya berakhir, Aresta langsung memasuki kamarnya dan membersihkan dirinya terlebih dahulu. Sebenarnya ia sempat berprasangka buruk; kalau Mamanya akan memukulnya karena mendapatkan nilai yang tidak sesuai standar Mamanya.

Ah iya, ia mendapatkan 70 di ujian harian kimia. Minimal harus mendapatkan 90 ke-atas, kalau kata Mama. Sudah dari kecil Aresta di didik seperti itu, jadi ia mulai terbiasa—walaupun seiring waktu berjalan, Aresta merasa dirinya semakin tertekan.

“Mending makan dulu atau belajar? Hmm ... makan dulu dah, takutnya maag nanti,” monolognya. Ia keluar dari kamarnya dan mengambil sebuah roti serta susu, lalu ia bawa bersamanya hingga masuk lagi ke dalam kamar.

Omong-omong, Aresta memiliki sang adik laki-laki. Namanya Adjie. Mereka memiliki perbedaan umur yang tidak terlalu jauh, tetapi kedua orang-tuanya masih memanjakan adiknya itu. Kadang Aresta merasa iri dengan perhatian yang adiknya dapatkan, dibandingkan dengan dirinya sekarang.

Itu karena orang-tuanya berkata, “Koko sekarang udah gede, kamu harus ngalah sama Adikmu. Kamu nggak boleh manja jadi Koko.

Kalian para anak sulung juga pasti pernah mengalami hal yang sama 'kan? Rasanya tidak enak, sama sekali. Kerap kali Aresta ingin kembali ke masa-masa dirinya masih seorang anak kecil. Tidak peduli dengan dunia luar, hanya mengandalkan Mama dan Papa.

Semenjak mempunyai Adik, harapan orang-tuanya untuk Aresta semakin tinggi. Sungguh membuat Aresta ingin berteriak dan menangis sepuasnya.

Menjadi anak sulung bukan berarti ia tidak tergolong sebagai manusia lagi, benar? Ia bisa merasakan kelelahan.

Tapi untuk saat ini, itu tidak penting. Aresta harus memenuhi harapan orang-tuanya. Maka, Aresta kini sedang duduk di kursi dari meja belajarnya dan melakukan kegiatan belajar. Seperti biasa.

Namun lebih keras.

Gua harus bisa. Gua nggak boleh nyerah, gua nggak boleh berhenti belajar. Gua nggak berhak buat istirahat sekarang, atau lo nanti bikin Mama sama Papa kecewa. Lo harus bisa, Res.

Tangan Aresta mencatat berbagai macam hal penting dari buku pelajarannya—hingga gemetar hebat. Kedua netranya menahan tangisan, kepalanya terasa berat dan nafasnya terasa sesak.

Aresta sudah terlalu memaksa dirinya; karena demi membanggakan kedua orang-tuanya.

written by kalacaffe.

Setiap hari, Aresta selalu menjadi murid ter-awal yang masuk ke kelasnya. Ia menyapa beberapa guru saat di perjalanan menuju ke ruang kelasnya. “Pagi Miss,” sapa Aresta dengan senyuman. “Pagi juga, Ares.” Lalu mereka berpisah, ke tujuan masing-masing.

Aresta memasuki kelas itu, sedikit terkejut karena melihat dua murid yang sudah berada di dalam. Kedua lelaki itu adalah Jevian dan Naja. Anak kembar yang terlihat mirip, tetapi nama mereka tidak ada letak kemiripannya. Aneh bukan? Aresta pun menyapa mereka dengan senyuman, seperti Ia menyapa guru tadi.

Setelah menyapa sepasang kembar itu, Aresta duduk di bangkunya dan menunggu teman-teman yang lainnya untuk datang. “Oy, Res!” sahut Naja. “Ya? Kenapa Ja?” tanya Aresta, menoleh ke belakang. “Lo jadi ketua kelas buat minggu ini 'kan?” tanya Naja. Sebagai jawaban, Aresta mengangguk. “Selamat ya! Gua sama Ian dukung lo, kok.” Ucapannya membuat Aresta tersenyum, Ia pun mengucapkan 'terima kasih'.

Beberapa menit berlalu, dan seseorang memasuki kelas mereka. Seorang pemuda yang tampan. Yaitu, kekasih dari Aresta. Pemuda itu menaruh tas ransel-nya di dekat meja dan langsung menghampiri kekasihnya. “Mau keluar dulu?” tanya Hezaro. “Mau. Ayo,” jawab Aresta. Keduanya meninggalkan kelas tersebut dan berjalan-jalan berdua di sekitar dalam sekolah.

Babe.

“Ya?”

“Gimana tidurnya tadi malem? Nyenyak?”

“Nggak terlalu ... lagi ada banyak pikiran, biasalah Ro.”

Tangan Hezaro secara reflek mengusap-usap kepala Aresta dengan lembut. Ia memandangnya sedih. Selalu seperti itu; akhir-akhir ini Aresta seringkali kesulitan untuk tidur di bawah jam dua belas. Banyak pikiran dan beban yang harus Aresta bawa. Mungkin tidak terlihat di hadapan orang lain, namun sebagai orang yang dicintai Aresta—pasti lelaki itu berbagi keluh kesah kepadanya—walaupun tidak seluruhnya.

Hezaro mengambil tangan Aresta, lalu mengusapnya perlahan. Lalu Ia menatap kedua netra sang kekasih. “Kalau kamu ada banyak pikiran lagi, telpon aku aja ya? Pasti bakal aku angkat kok. Just remember that I'm here for you, okay?” ucap Hezaro. Aresta mengangguk dan tersenyum kecil. “Iya Roro, makasih banyak,” balasnya. “No problem cutie-pie.

“Tapi serius, jangan begadang terus-terusan ya? Nggak baik buat kesehatan kamu, apalagi kamu sekarang jadi ketua kelas. Belum aja kamu ada kegiatan ini itu—”

“Iya-iya sayang, aku juga lagi coba se-bisa mungkin buat tidur awal. Jangan terlalu khawatir.”

Okay. Aku cuman takut kamu kenapa-napa, makannya aku ngoceh banyak ke kamu ... maaf.”

“Gapapa, I really appreciate it! Maaf selalu bikin kamu khawatir.”

Hezaro mengusap-usap kepalanya lagi. “Yaudah, masuk kelas yuk? Bentar lagi mulai kelasnya,” ajak Hezaro. Mereka berdua akhirnya kembali ke ruang kelas dan duduk di bangku masing-masing. Melihat jam dinding yang menunjukkan 07.25, Aresta menggunakan waktu sisanya untuk merapikan mejanya.

Omong-omong, semua murid telah hadir di kelas ini. Seperti biasa, dengan banyaknya orang di dalam ruangan ini—pasti akan terdengar ramai dan berisik. Jujur saja, Aresta tidak terlalu menyukai keramaian. Namun Ia sudah beradaptasi di dalam kelas ini, bersama dengan teman-teman sekelas lainnya.

Guru mereka pun datang, membuat para murid langsung terdiam dan duduk di bangku masing-masing. “Selamat pagi semuanya!” sapa guru tersebut. “Beri salam!” seru Aresta. Kemudian seisi kelas memberi salam kepada wanita paruh baya itu. “Terima kasih, Ares. Oh iya, selamat karena udah jadi ketua kelas ya.”

“Terima kasih, Ms,” balas Aresta dengan senyuman.

“Oke, buka buku paket bahasa Indonesia kalian di halam 127. Kalian kerjakan latihan soalnya terlebih dahulu ya. Saya mau ambil kacamata saya yang ketinggalan di ruang guru. Aresta, tolong awasi kelas ini.”

“Baik Miss.

Guru tersebut pergi meninggalkan kelas untuk sementara. Dan Aresta, melakukan perintahnya. Ia mengawasi kelasnya sembari mengerjakan latihan soal pada buku paket itu.

Tak lebih dari tiga menit, sudah ada yang mengganggu Aresta. Ada yang melempar penghapus kepada dirinya. Ia mengambil penghapus itu, lalu bertanya, “Siapa yang lempar ini?” Seseorang menjawabnya. “Gue. Sorry nggak sengaja Res,” ucapnya. “Ya. Kerjain latihan soalnya dulu, jangan berisik.”

Hezaro, yang posisi bangkunya berada di paling belakang, Ia memandangi kekasihnya sembari tersenyum bangga. Setidaknya ... pemuda itu mempunyai kepribadian yang tegas dan dapat menegur sesamanya. “Senyum-senyum aja lo,” ledek Jevian. “Gua cuman bangga aja sama pacar gua, keren banget dia,” ucap Hezaro tanpa rasa malu.

“Iya sih, gua kalau di posisi dia bakal diem aja. Takut gua, hahaha.”

“Sama. Makannya gua salut sama dia.”

Percakapan singkat itu pun selesai sampai di situ, karena keduanya lanjut mengerjakan latihan soal mereka. Seisi kelas tiba-tiba kembali sunyi. Tentu, karena gurunya sudah kembali. “Lain kali jangan berisik saat guru kalian meninggalkan kelas ini sebentar ya? Kedengaran sampai luar loh. Aresta juga harus bisa negur teman-teman sekelas kamu ini,” tegur sang guru.

“Maaf Miss ...”

“Ada apa Hezaro?”

“Tadi Aresta sudah menegur dengan baik, kok. Cuman memang ada beberapa teman-teman di sini yang memang nggak mau untuk ditegur, Miss.

“Baik, terima kasih Hezaro dan Aresta. Maaf karena saya sudah berasumsi yang tidak benar.”

Aresta menoleh ke belakang, melihat Hezaro yang baru saja membantunya. “Makasih Roro,” bisiknya. Lalu Hezaro mengangguk dan membalasnya, “Sama-sama sayang.

Awal yang tidak begitu mulus, tapi tidak apa-apa. Masih bisa ditoleransi oleh Aresta. Semoga ... sisa waktu hari ini berjalan dengan baik.

written by kalacaffe.

casts: jaemin as noval & renjun as rean. pair: jaemren. genre: fluff, teen-romance.

CW // harsh words, slight kissing.

“Sial, hari Senin.”

Baru saja matahari terbit, Noval sudah merasa frustasi karena Ia harus melakukan kewajibannya sebagai Kakak. Lelaki itu beranjak dari tempat tidurnya dan langsung bersiap-siap sebelum membangunkan adiknya untuk sekolah—hari pertamanya pula.

Setelah dirinya sudah merasa rapi, Noval berjalan ke arah kamar Adiknya. Perlahan-lahan mendekati gadis kecil tersebut. “Lala, bangun yuk? Takutnya kamu telat buat first day of school loh,” ucap Noval sembari mengusap-usap surai Adiknya.

Cala, sang gadis kecil yang merupakan Adik kandung dari Noval. Berumur 5 tahun dan sudah ditinggal oleh kedua orang-tuanya. Akhirnya, mereka berdua harus hidup berdua tanpa orang-tua di sebuah rumah kecil; punya sang Kakak. Noval juga baru saja lulus SMA dan Ia masih berpikir untuk kuliah di mana. Bahkan mungkin, Ia tidak akan kuliah—karena faktor masalah finansial.

Noval sudah bertekad untuk membiayai adiknya. Yang Ia pedulikan hanya Adiknya seorang. Dirinya sendiri? Mungkin tidak. “Iya Kak... But give me 5 more minutes...” rengek sang Adik. “Nggak. Atau mau Kakak tinggal?” ancam Noval, sambil menahan tawa.

Adiknya pun langsung bangun dari tidurnya setelah mendengar hal itu. Ia sangat tidak ingin ditinggali Kakaknya. Cukup orang-tuanya saja. “Ih, Kakak mah! Jangan gitu, Lala takut tau!” gerutu Cala, yang berburu-buru membereskan kasurnya. Rean tertawa dan berkata, “Bercanda doang. Habis beresin kasurnya langsung pakai seragam kamu ya? Udah Kakak siapin tadi malem, tinggal ambil aja di gantungan pintu kamar mandi.”

“Makasih Kakak!” seru Cala. Sang Kakak keluar dari kamar Adiknya untuk membuat sarapan di dapur. Ia menyiapkan sebuah sereal dan jus jambu, kesukaan Cala. “Oke, sekarang harus bikin makanan siang. Huh...” ucapnya sendiri, lalu diikuti dengan helaan nafas.

Beberapa menit kemudian, seorang gadis kecil keluar dari kamarnya; memakai seragam serta kaos kaki. “Kakak! Lihat Lala coba!” panggilnya. Lalu Noval melihat ke arah adiknya. “Lala udah kelihatan cantik belum?” tanya Cala sembari berputar, yang membuat roknya ikut berputar bak putri kerajaan.

Kakaknya langsung tersenyum dan mengangguk. “Cantik kok. Lala selalu cantik,” puji Noval. Pujiannya membuat Cala tersenyum gembira. “Yuk sini makan dulu, terus nanti Kakak bantu rapihin rambut kamu,” ucap Noval. “Ciaappp!” seru Cala, Ia langsung duduk di kursi meja makan.

Melihat Adiknya memakan sarapannya dengan lahap membuat hatinya merasa tenang. Selama kedua orang-tuanya tidak ada, Noval benar-benar tersiksa. Ia harus bekerja demi adiknya dan dirinya saat masih sekolah. Kini, untungnya Noval punya waktu untuk beristirahat sejenak dan dapat merawat Adik kesayangannya. Finansial mereka juga sudah lumayan stabil jika dibandingkan dengan dulu.

“Udah selesai?” tanya Noval, seraya menutup tas makan siang yang sudah diisi penuh. “Udah, hehehe,” jawab Cala. Sebuah senyuman tertampak jelas di wajah tampan sang Kakak lagi. Ia mengambil mangkuk dan gelas yang sudah kosong, dan ditaruh ke dalam mesin pencuci piring. Lalu, Noval mengambil sebuah sisir dan karet rambut.

Ia berdiri di belakang Adiknya dan mulai menyisir rambut panjang itu. “Harus yang cantik ya! Jangan yang jelek,” perintah Cala. “Hahaha, iya Lala.” Kakaknya hanya menuruti apa kata Adiknya. Noval pun langsung mengikat rambut panjang itu menjadi satu kepangan di tengah. Terlihat sangat rapi dan cantik untuk dilihat.

“Jadi! Gimana? Suka nggak?” tanya Noval, memberikan sebuah cermin. Cala mengamati penampilan barunya, dan tak lama kemudian Ia memberikan senyuman yang lebar. “Lala suka! Makasih Kak, Lala sayang Kakak!” seru Cala, yang setelah itu memeluk erat Noval. Lelaki tinggi tersebut membalas pelukan sang Adik, “Sama-sama. Yaudah, bentar lagi telat nih. Kita berangkat sekarang, oke?”

“Oke!”


Kini, di depan sekolah baru Cala. Tempatnya tidak terlalu besar, terlihat hanya memiliki sekitar dua lantai. Namun tidak apa-apa, kabarnya sekolah itu adalah sekolah yang bagus. Terutama guru-gurunya, karena mereka sangat baik dan ramah terhadap anak-anak.

Adik dan Kakak tersebut pun turun dari mobil. Noval menggenggam tangan kecil Adiknya supaya tidak hilang. Ia berjalan menuju dalam sekolah, hingga ke depan pintu kelasnya. “We're finally here! Udah siap belum?” tanya Noval, menundukkan tubuhnya sedikit. “Kak...” panggilnya.

“Kenapa Dek?”

Lala is scared...

Why? Kamu bisa ketemu temen-temen yang baru loh! Eh, itu gurunya dateng.”

Sang guru menghampiri mereka berdua dengan senyuman ramah. “Halo! Saya Noval, Kakaknya Cala. Dia katanya agak takut buat masuk kelas, bisa tolong?” tanya Noval. “Hai! Saya Rean, gurunya di kelas ini. Bisa, tapi saya ijin ngomong ke Cala dulu ya.”

Demi Tuhan! Jantung Rean mulai berdegup dengan kencang ketika menatap wajah guru itu. Kelihatannya lelaki itu tidak jauh umurnya dari Noval. Masih terlihat sangat muda. Cara Ia berbicara juga sangat menggetarkan hati. Entah apa yang dirasuki Noval, rasanya ingin berbicara lebih dengan Rean.

“Halo Cala! Kamu bisa panggil aku Kak Rean!”

“H-halo Kak Rean...”

I really like your hair! Siapa yang bikin?”

“Kakak Noval.”

“Ah... cantik kok! Mau masuk nggak sama Kak Rean?”

Noval juga mencoba membujuk Adiknya agar Ia dapat masuk ke kelas itu. Sedikit sulit, karena Adiknya adalah penakut dan tidak mudah lepas darinya. Namun, usaha tidak mengkhianati hasil. Setelah berkali-kali mencoba, Cala akhirnya ingin masuk ke dalam kelas barunya itu.

“Maaf kalau merepotkan,” ucap Noval. “Gapapa. Saya permisi dulu ya! Kita bisa ngobrol nanti lagi kalau kamu mau,” balas Rean. “Siap. See you later then,” ucap Noval dengan senyumannya yang membuat dirinya seratus kali lebih tampan. Tampaknya Rean juga ikut tersenyum karenanya.

Sembari menunggu Cala selesai sekolah, Noval membeli dua americano untuk dirinya dan Rean. Namanya juga usaha 'kan? Bisa saja Ia berhasil dalam waktu yang singkat. “Semoga dia suka minum kopi,” batinnya.


4 jam kemudian...

Hampir saja Noval tertidur saat menunggu Adiknya bersekolah. Ia pun langsung berjalan ke arah depan kelas TK-B yang sudah lumayan ramai dengan ibu-ibu para murid. “Eh, kamu ganteng juga,” puji salah satu Ibu di situ. Membuat Noval sedikit terkejut. “Makasih Bu,” ucap Noval dengan senyuman canggung.

“Kamu mau saya jodohin sama anak saya nggak? Anak saya yang perempuan itu cantik banget loh. Dia barusan aja lulus SMA.”

“Erm... Bu? Maaf.”

“Kenapa? Seriusan, anak saya cantik banget! Kayanya cocok deh sama kamu.”

“Bu... Maaf sebelumnya, tapi saya nggak tertarik sama perempuan...”

Ucapannya barusan membuat wanita tersebut terkejut secara maksimal. Sampai-sampai wanita itu memegang dadanya dan mencoba bernafas perlahan-lahan. Noval hanya bisa tersenyum canggung dan kembali menunggu Adik kecilnya; sembari menghiraukan ibu-ibu tadi.

Ketika pintu kelasnya terbuka, sang Adik langsung berlari ke arah Kakaknya. “Hey, gimana sekolahnya? Seru?” tanya Noval. Cala mengangguk secara antusias. “Seru banget! Tadi Kak Rean juga lucu, dia juga baik banget sama Lala. Katanya, Kakak keren,” ucap Cala. “Widih, bagus dong! Emang iya dia bilang gitu?”

“Iyalah! Masa Lala bohong sama Kakak... Nanti tanya aja coba ke Kak Rean sendiri, pasti bener!”

“Hahaha, iya cantik. Sekarang kamu mau main di playground dulu atau langsung pulang nih?”

“Mau main dulu! Lala sekarang punya temen juga tau.”

“Siapa tuh?”

“Namanya Bella, Kak.”

“Terus, sekarang dia di mana?”

“Udah di playground! Makannya Lala sekarang mau ke sana.”

Noval hanya mengangguk dan tersenyum. Ia juga akhirnya mengantarkan Cala ke tempat bermain, yang berada di luar gedung sekolah. Tepat di depannya. Noval mencari sebuah bangku, lalu meminum kopinya lagi. Tak lama kemudian, seseorang menghampiri dirinya dan duduk di sebelahnya.

Orang tersebut adalah Rean. Sang guru dari kelas TK-B, yaitu kelasnya Cala. “Hai! Saya duduk di sini, gapapa 'kan?” tanya Rean. “Oh, gapapa kok! Silakan, duduk aja,” ucap Noval. “Kita pakai selain saya-kamu aja ya? Biar nggak terkesan kaku, hahaha,” lanjutnya. “Boleh. Mau pakai gue-lo atau aku-kamu?” tanya Rean, sembari menatap kedua netra Noval.

“Aku-kamu aja. Gue-lo terkesan terlalu kasar,” jawab Noval, memberikan senyumannya. “Oke kalau begitu,” balas Rean.

Beberapa menit kemudian diisi dengan kesunyian dan kecanggungan. Noval dan bahkan Rean, tidak tahu harus membahas topik apa. Sampai akhirnya Noval membuka suara. “Oh iya, ini kopi untukmu. Masih lumayan hangat,” ucap Noval sembari memberi gelas berisi americano. “Makasih Noval.”

“Erm... Noval?”

“Ya? Kenapa?”

“Adik kamu gemes,”

“Makasih! Tapi Rean...”

“Hm?”

“Menurut aku, kamu lebih gemes,”

Melihat wajah Rean yang berubah sedikit memerah membuat dirinya tertawa kecil. Mengapa bisa ada manusia se-gemas ini? Rasa ingin memiliki Rean menjadi lebih tinggi. Noval menatapnya lagi, tepat di kedua netra indah milik Rean. “Jangan tatap aku kaya gitu,” ucap Rean, lalu membuang wajahnya. Ia merasa tersipu.

“Hahaha, gemesnya.” Padahal, kedua lelaki itu baru saja saling mengenal beberapa jam yang lalu. Mereka sudah terlihat seperti pasangan. Lebih tepatnya, terlihat seperti orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama. “Rean, coba lihat aku,” pinta Noval.

Rean pun menuruti permintaannya. Ia melihat Noval dengan kondisi yang masih... tersipu malu. Jantungnya juga berdetak dengan amat kencang saat ini. “I think I fell for you at first sight,” ucap Noval. “Jadi, do you want to go out with me, Rean?

“Sebentar!”

“Kenapa?”

“Perut aku...”

“Sakit? Mau ke rumah sakit aja?”

“Nggak... Rasanya kaya ada kupu-kupunya gitu.”

Lagi-lagi Noval merasa ingin memeluk lelaki itu dengan erat. Terlalu menggemaskan hingga Ia tidak kuat. “Rean,” panggilnya. “Apa?” tanya Rean. “Boleh peluk kamu?” tanya Noval. Ia perlu ijin terlebih dahulu, supaya tidak membuat Rean tidak nyaman dengannya.

Untungnya, Rean mengangguk. Noval perlahan mendekat, lalu menarik Rean perlahan ke dalam pelukannya. Sampai Rean dapat menghirup harumnya parfum yang digunakan Noval. “Jadi gimana?” tanya Noval. “Apanya?” tanya Rean balik. “Jawaban yang ajakan tadi.”

“Ya, aku mau.”

Begitu mendengar jawaban dari Rean, Noval melepas pelukannya dan memegang kedua bahu Rean. Ia juga memberikan senyumannya yang lebar. “Beneran?” tanya Noval. Rean mengangguk sebagai jawaban. Tak lama kemudian, Noval memeluknya lagi.

Rean tidak bisa menahan senyumannya lagi. Ia ternyata bisa merasakan kebahagiaan dari orang yang hampir se-umuran dengannya—selain dari anak-anak muridnya. Sudah lama juga Ia tidak merasakan pelukan yang erat dan hangat seperti yang diberikan oleh Noval sekarang.


Ketika hari sudah mulai memudar terangnya, Noval menjemput Cala dan mengajaknya pulang. Hingga di depan gerbang sekolah, Ia bertemu dengan Rean lagi. Tidak bisa Ia sembunyikan fakta bahwa dirinya selalu otomatis tersenyum bila melihat Rean.

“Hai, Rean!”

“Hai! Udah mau pulang ya?”

“Iya, kasihan Adik aku kalau pulang kemaleman. Kamu sendiri nggak pulang juga?”

“Belum... masih ada rapat bareng guru-guru lainnya.”

“Ohh, gitu. Yaudah, aku pamit dulu ya!”

Saat Noval ingin berjalan kembali ke arah mobilnya, tangannya ditarik oleh Rean; yang membuat langkahnya berhenti. “Ada apa?” tanya Noval. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Rean. Aneh.

Cup!

Kedua bibir mereka bertemu, walaupun singkat. Tapi sebentar... Rean baru saja mengecupnya? Apakah ini sebuah mimpi? Jika iya, tolong segera bangunkan Noval. Ia bisa menjadi lebih gila nanti.

O-okay, bye Noval! See you tomorrow!

B-bye! Bye Rean! See you!

Dan inilah, kisah awal kedua remaja ini dimulai.

“Ih, Kakak! Lala juga mau cium Kak Rean tau!”


written by kalacaffe.


casts: jeno aka jendra & jaemin aka nalen/alen. pair: nomin. part of 'love formula' universe.

CW // harsh words, slight kissing.

“ANJIR? BESOK TAHUN BARU?” Jendra tersontak. Baru saja Ia bangun dari tidurnya dan melihat kalender dalam ponsel miliknya. Bisa-bisanya Ia tidak menyadari hari ini, hari terakhir tahun ini.

Pemuda itu langsung beranjak dari kasurnya, lalu membersihkan dirinya sebelum melakukan aktivitas kesehariannya.

Di depan cermin, Ia mengamati dirinya sendiri. “Udah mau tahun baru... apa gua harus take a step further?” tanyanya. “Gatau dah, pusing gua.” Jendra sedikit frustasi.

Seusai Ia membersihkan dirinya, Jendra merebahkan dirinya di atas kasur kesayangannya. Tangan kanannya menggapai benda pipih itu, lalu membuka sebuah kontak.

Alen.

Nama kontak itu. Satu-satunya orang yang membuatnya jatuh hati kepadanya pada pandangan pertama.

Kedua ibu jarinya bergerak, memencet alfabet secara satu-persatu. “Apa gua ajak dia jalan lagi aja? Hampir mau tahun baru juga...”

Jendra terdiam sejenak. Nafasnya sedikit tercegat karena berpikir berlebihan. “Hmm... oke. Gua ajak aja,” ujarnya. Belum saja Ia selesai mengetik, sudah ada yang meneleponnya.

Ternyata, itu adalah Alen.

Ia langsung mengangkatnya. “Hai? Kenapa Len?” tanya Jendra, sebagai awal percakapan. “Erm... mau jalan nanti malem?

Demi Tuhan! Jantung Jendra seperti ingin meledak sekarang juga. Ternyata rasanya dimabuk asmara seperti ini.

Halo? Jen? Are you there?

“E-eh, iya Len! Ayo aja gua mah, mau pake mobil gua?”

Mau! Bisa jemput gue di rumah gue nggak?

“Bisa dong! Lo tinggal send alamat aja, gua bakal langsung ke sana—maksud gua, nanti malem ke sana,”

Hahahaha, okay! See you Jen!

See you juga Len!”

Tut!

Sambungan telepon tersebut dimatikan. Percakapan yang sangat singkat, tetapi membuat jantung Jendra berdetak tak karuan. Ia benar-benar harus bisa menjaga image-nya di depan Alen. Tidak boleh dibiarkan seperti ini.


Di sisi lain, Alen yang baru saja mematikan sambungan teleponnya, juga merasakan hal yang sama seperti Jendra. Ia sebenarnya merasa sangat gugup saat menelepon Jendra tadi.

Bahkan saat memegang ponselnya, tangannya bergemetar sedikit. Hatinya juga bergemetar. “Lo udah gila, Len. Seriusan dah.”

Melihat jarum jam pendek yang masih menunjukkan jam 12 siang, Ia berpikir untuk bersikap terlebih dahulu—sebelum bepergian dengan Jendra nanti malam.

Ia membuka aplikasi catatan di dalam ponselnya.

To do list with Jendra:

Kemudian, Alen terdiam. Apa saja yang mereka akan lakukan nanti? Jujur saja, Alen tidak begitu pandai bersosialisasi dengan orang-orang. Justru Ia lebih suka menyendiri.

Tapi, semua ini demi Jendra. Rekan bandnya—atau lebih dari itu?

“Oke, let's see what you got Alen.

To do list with Jendra: – makan sate ayam – makan jagung bakar – nonton kembang api – ....

“Apa lagi ya?” tanyanya. “Hmm...” Ia berdeham, menandakan bahwa dirinya sedang berpikir dengan keras.

– confess.

Deg.

Awalnya, Alen tidak begitu berani untuk menyatakan perasaannya kepada Jendra. Ia takut, jika persahabatan mereka hancur bagaimana?

Tetapi, daripada Ia memendam perasaan itu sendiri, Alen memilih untuk mengeluarkannya saja. Supaya lega. Supaya dirinya tidak merasa tertekan lagi.

“Itu aja deh, semoga aja malam ini berjalan lancar.”

Alen tersenyum samar melihat catatannya itu. Merasa gugup, takut dan antusias secara bersamaan. Yang hanya Ia bisa lakukan adalah berharap, berharap kalau semua ini akan berjalan dengan lancar.

Sekarang, Alen sedang memejamkan matanya sembari tiduran di atas kasurnya. Ia membuka matanya lagi, menatap atap kamarnya.

Persis sekali, seperti Jendra. Ia juga melakukan yang sama. Kedua pemuda itu memang memiliki banyak sekali pikiran di kepala mereka.

Mau bagaimanapun juga, keduanya harus tetap bisa menjalani hari ini.


Malam hari telah datang. Jendra yang kini sudah siap, Ia langsung tancap gas pada mobilnya untuk menjemput Alen. Tenang saja, Alen sudah mengirim alamat rumahnya sebelumnya—ya.. supaya Jendra tidak sesat di jalan.

Ternyata jarak rumah mereka tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan kurang lebih 15 menit.

Jendra pun memberhentikan mobilnya di depan rumah sang pemuda kesukaannya itu. “Alen! Sini cepet masuk!” seru Jendra, dari dalam mobil.

Melihat Alen yang berlari seperti anak kecil, Jendra tertawa gemas hingga matanya tidak terlihat. “Kenapa ketawa?” tanya Alen, saat Ia duduk di jok depan—samping Jendra.

“Lo gemes soalnya.”

Tak dapat respon lagi, karena Alen tersipu—Jendra langsung menjalankan mobilnya lagi. “Udah pake sabuk pengaman 'kan lo?” tanya Jendra untuk memastikan. Alen mengangguk, “Udah kok.”

Good. Sekarang mau ke mana dulu?”

“Erm... makan sate ayam mau?”

“Lo laper ya?”

Alen mengangguk ringan sebagai jawaban. “Alright! Mari kita makan sate ayam!” simpul Jendra dengan senang hati. Keduanya kembali diam saat tidak tahu harus berbicara tentang apa lagi.

Canggung rasanya. Jendra membenci kecanggungan dan kesunyian ini. “Alen,” panggilnya. “E-eh, iya Jen?” balas Alen. “Habis kita makan sate, mau ke mana lagi?” tanya Jendra.

“Uhh... makan jagung bakar?”

“Hahaha, oke-oke. Kita makan yang banyak hari ini.”

“Tapi, lo gapapa?”

“Maksudnya?”

“Lo nggak bosen kah?”

“Nggak kok.”

Jawabannya membuat Alen sedikit tidak yakin. Berbagai macam asumsi muncul di benaknya. Seharusnya Ia tidak begini.

Tanpa Alen sadar, Jendra juga sedang memperhatikannya. Pemuda itu menoleh dan bertanya, “Kenapa Len? Ada yang ganggu di pikiran lo?”

Alen mengangguk. “Mind to tell me about it?” tanya Jendra, dengan nada sedikit khawatir. “Lo serius nggak bosen jalan sama gue terus, Jen? Bahkan hari ini nggak ada hal yang menarik,” ucap Alen, akhirnya Ia membuka suara.

Perlahan-lahan, tangan kiri Jendra menggenggam tangan Alen dan mengusapnya secara lembut. “Mau kemanapun dan ngelakuin apapun itu, asal sama lo... gua nggak mungkin bosen. Well, lo sendiri malah alasan kenapa gua setuju sama ajakan lo tadi,” jelas Jendra.

“Gua suka jalan bareng lo, Alen.”

Seluruh ucapan Jendra tadi membuat Alen langsung terdiam. Entah mengapa, jantungnya mulai berdetak tidak beraturan lagi. Kupu-kupu yang terbang juga dapat Ia rasakan di dalam perutnya.

“Udah jelas?” tanya Jendra. “Iya, u-udah... maaf Jen,” jawab Alen, menundukkan kepalanya sebagai rasa bersalah karena telah berasumsi. “No problem Len. By the way, bentar lagi mau sampe nih.”

Mobil Jendra diparkirkan di tempat parkiran yang tidak terlalu luas itu. Keduanya turun dari mobil Jendra, lalu memesan sate ayam—sesuai dengan keinginan Alen.


“Kenyang?”

“Lumayan. Soalnya masih ada jagung bakar habis ini,

“Gua juga sih, Len. Mau langsung ke sana sekarang?”

“Ayo! Gue udah nggak sabar mau makan jagung bakar!”

“Astaga, gemes banget sih lo.”

Jendra dan Alen mengendarai mobil itu lagi, hingga sampai di sebuah tempat yang menjual jagung bakar. Keduanya langsung memesan dua batang jagung bakar dan menunggunya sembari duduk di sebuah kursi.

Tiba-tiba netra mereka bertemu. Tanpa sadar, Jendra tersenyum kecil terhadapnya. “Kenapa?” tanya Alen. Jendra menggeleng. “Gapapa kok.”

Padahal aslinya... “Lo kenapa bisa gemes banget anjing?

Ketika pesanan mereka sudah jadi, Jendra langsung mengambilnya dan memberikan salah satunya kepada Alen.

Thanks.

My pleasure.

Setelah itu, mereka kembali ke suasana yang hening. Sunyi. Canggung lagi. Ah, sialan sekali. “Jendra,” Alen membuka suara. “Hm? Kenapa?” tanya Jendra, sembari mengunyah.

“Mau nonton kembang api...”

“Boleh. Mau nontonnya di mana?”

“Yaa... mana aja sabi. Gue juga kurang tau spot-spot bagus gitu,”

“Yaudah, lo ikut gua aja. Gua kayanya tau tempat yang bagus biar kita bisa nonton kembang api,”

“Sekarang?”

“Maunya?”

“Sekarang.”

Jendra menyetujui permintaan Alen lagi, dan mereka pun menyelesaikan jagung bakar mereka dengan cepat. Lalu, keduanya kembali melanjutkan perjalanan mereka.

Yaitu, ke rumah Jendra.

Kebetulan... Jendra memiliki balkon kecil, yang pas untuk kedua insan itu. Untungnya, rumah Jendra juga ternyata merupakan spot yang bagus untuk menonton kembang api.

Di dalam perjalanan, Jendra menyalakan radio supaya tidak sunyi lagi. Rasanya tidak nyaman kalau terlalu sunyi.

Sesampainya di rumah Jendra, Ia melihat ke arah Alen yang terlihat sedikit bingung. “Ini... rumah lo?” tanya Alen. “Iya, ini rumah gua. Harusnya ada Bunda gua juga di sini, tapi Bunda lagi di rumah sakit. Jadi... yaudah, gua sendirian di sini,” jawab Jendra.

“Ohh... oke. Semoga Bunda lo cepet sembuh ya,”

“Makasih Len, Amin. Yaudah, yuk masuk? Takutnya lo kedinginan di luar gini,”

Begitu Alen memasuki rumahnya Jendra, Ia terkejut melihat betapa kosongnya di area tengah ruangan. “Maaf Jen, tapi itu kenapa ruang tengah kosong banget?” tanya Alen. “Oh, itu? Gapapa kok, gua lagi ngumpulin uang aja buat ngedekor ini rumah. Hahaha,” jawab Jendra, lagi.

“Ke kamar gua yuk? Kita bisa nonton kembang api lewat balkon,”

Alen mengangguk. Jendra menggenggam tangannya dengan lembut, dan menariknya hingga ke kamarnya—yang berada di lantai dua.

Kini, kedua pemuda itu sudah berada di balkon kamar Jendra. Udaranya terasa sejuk, bulan juga terlihat jelas sekali malam ini.

Tak lama kemudian, suara-suara kembang api terdengar keras; berwarna-warni, menghiasi langit gelap itu. Alen menatap lelaki di sebelahnya.

“Jendra,”

“Hm?”

“Gue mau ngomong sesuatu,”

Go on,

Alen menarik nafas yang panjang. “Jadi... gue suka sama lo. Gue suka sama lo, pas lo rela ngerawat gue waktu itu. Entah kenapa, habis kejadian itu, gue rasa ada yang aneh sama gue.

My heart starts to beat so fast whenever you're around me. Gue harap lo nggak ngejauhin gue sehabis gue bilang ini...”

Jendra menatap kedua netranya dengan amat dalam. Pemuda itu terlihat begitu indah malam ini. Bahkan, matanya seperti memiliki bintang-bintang yang bersinar.

Ia tersenyum lembut, lalu memegang tangan Alen.

Cup!

Jendra mengecup bibir Alen dengan ringan. Sungguh membuat Alen tersontak. “Hey, gua suka lo dari awal kita ketemu. Dan yang pasti, gua nggak bakal ngejauhin lo.

So... will you be mine, Alen?

Alen yang masih memproses semua itu terdiam sesaat. “Nggak harus sekarang kalau lo butuh waktu,” lanjut Jendra. Satu detik... dua detik... tiga detik...

I will.

Kedua mata Jendra langsung terbelak, terkejut dengan ucapan Alen. “S-serius lo?” tanya Jendra, untuk memastikan. “Serius,” jawab Alen, kini dengan senyumannya yang dapat melelehkan hati Jendra.

Tanpa lama lagi, Jendra langsung menariknya ke dalam pelukan yang hangat. Sampai Alen dapat mencium wanginya tubuh Jendra, yang membuatnya tambah jatuh cinta.

“Jen,”

Yes, love?

“Aku sayang kamu.”

You know what? Aku sayang kamu lebih.”

written by kalacaffe.

casts: haechan as haidan & renjun as arjuna/juna. pair: hyuckren. part of 'love formula' universe.

CW // harsh words, kissing.

Di sinilah, tepat pada sore sebelum tahun baru; di kost milik Arjuna. Sang lelaki lebih kecil menelepon kekasihnya. “Halo? Kenapa cil?” tanya Haidan, dari speaker ponsel Arjuna.

“Cepet ke sini,”

Cie, kangen ya?

“Nggak, jangan halu.”

Mulai sok keras,

Seperti biasa, percakapan mereka selalu dimulai dengan pertengkaran kecil. Tak pernah sekalipun mereka tidak ribut. “Bercanda. Iya, aku kangen. Sekalian kita ngerayain tahun baru,” ujar Arjuna. “Iya-iya, sayang. Aku ke sana sepuluh menit lagi, oke?

“Oke hati-hati, jangan ngebut.”

Siap cil! Aku tutup yaaa, dadah!

“Dah!”

Tut!

Sambungan telepon tersebut pun dimatikan. Arjuna yang memiliki insting untuk melakukan sesuatu, Ia langsung beranjak berdiri dari sofa-nya.

Tangan dan kakinya mulai bergerak secara cepat—mempersiapkan semua bahan-bahan yang akan mereka gunakan untuk makan-makan nanti.

“Kalau segini... cukup nggak ya?”

Ucapnya, dengan kedua tangan melekat di samping pinggang; seraya menatap meja yang penuh dengan roti, daging, buah serta minuman soda.

Arjuna memang memiliki banyak kelebihan, tetapi salah satu kekurangannya adalah berpikir berlebihan. Ia takut, kalau makanannya tidak cukup bagaimana? Kalau Haidan tidak puas? Kalau mereka gagal merayakan tahun baru? Gimana?

Semua itu muncul satu-persatu di benak Arjuna. Ia benar-benar perlu kekasihnya saat ini juga. Untuk menenangkannya.


Di sisi lain, Haidan sedang berada di perjalanan. Tentu, berkendara dengan menggunakan motornya. Di tengah-tengah perjalanan, Ia tiba-tiba mempunyai sebuah ide.

Haidan pun berhenti di salah satu toko. “Kalau gue beliin bunga, dia bakal seneng 'kan?” batinnya. Ya, dirinya sedang mampir ke toko bunga.

Ia memasuki toko tersebut, lalu bertanya kepada sang pemilik toko. “Permisi Mbak, ada bunga tulip nggak ya?” tanyanya. “Ada Kak. Mau berapa tangkai?”

“Sepuluh aja, jadiin kaya bouquet gitu, Mbak.”

“Siap Kak! Akan saya segera ambilkan.”

Saat menunggu, Haidan membuka ponselnya dan melihat sebuah notifikasi yang berada di halaman depannya. Ternyata, itu adalah pesan dari kekasihnya.

Ia terkekeh kecil membaca pesan tersebut. “Kenapa lo lama banget sih, anjir? Cepetan, gue gamau nunggu kelamaan,” batin Haidan, membaca pesan itu.

“Gemes banget,” ucapnya pelan.

Tak lama kemudian, si pemilik toko bunga pun kembali—membawa bouquet berisi bunga-bunga tulip—sesuai dengan permintaan Haidan. “Ini ya, Kak! Totalnya lima ratus ribu rupiah. Mau dibayar pakai e-wallet atau cash?” ujar perempuan itu.

E-wallet aja, Mbak. Saya scan di sini ya?”

“Iya, Kak. Silakan di scan.

Akhirnya, Haidan berhasil membeli sebuah hadiah untuk manusia kesayangannya. Walaupun sedikit mahal, cintanya tetap berada di barisan paling depan.

Dasar bucin, hadeh.

Setelah itu, Haidan keluar dari toko bunga tersebut dan melanjutkan perjalanannya ke kost-an Arjuna. Senyumannya tertampak jelas seiring perjalanan. Bisa-bisa Ia disangka seperti orang yang aneh oleh orang-orang asing.

Hanya Arjuna seorang yang dapat membuat Haidan tersenyum lebar—dan jantungnya yang berdetak dengan amat kencang.

Beberapa menit kemudian, sampailah Haidan di depan kost Arjuna. Ia memarkirkan motornya terlebih dahulu sebelum mengetuk pintu.

Tok! Tok! Tok!

Ketukan pintu yang dihasilkan oleh tangan Haidan terdengar jelas. Lalu, pintu itu pun terbuka. Memperlihatkan sang lelaki yang lebih pendek darinya; yang sangat menggemaskan baginya.

Dengan tangan Haidan yang berada di belakang—karena menyembunyikan hadiah bouquet—membuat Arjuna curiga dengan Haidan. “Hai... kamu ngumpetin apa tuh?” tanya Arjuna.

Belum juga Haidan menyapanya, sudah dicurigai saja. “Tutup mata dulu coba,” perintah Haidan.

“Ngapain?”

“Udah, tutup mata aja dulu.”

“Nggak ngasih yang aneh-aneh 'kan?”

“Nggakkk! Udah cepet, tutup mata!”

“Ya.”

Satu... dua... tiga. Haidan memperlihatkan hadiah kecilnya di hadapan Arjuna. “Sekarang udah boleh buka mata.”

Begitu Arjuna melihat hadiah dari kekasihnya, raut wajahnya berubah menjadi sangat senang. Ia memberikan senyuman yang manis. Haidan memberi bunga bouquet itu kepadanya.

“Gimana...? Suka nggak? Maaf kalau nggak banyak, aku—”

Cup!

Sebuah kecupan ringan mendarat di pipi Haidan. “Aku suka. Thank you,” ucap Arjuna dengan senyuman yang belum memudar. “S-serius?” tanya Haidan. “Iyalah, goblok! Masa hadiah dari pacar sendiri nggak suka?”

Lalu, Haidan langsung memeluk pinggang mungil milik lelaki itu. “Hehehe, iya sayang. Makasih udah mau nerima hadiah dari aku,” ucap Haidan dengan suara lembutnya. Tak pernah gagal membuat hati Arjuna meleleh.

“Ya, sama-sama. Masuk dulu, aku baru masak banyak tadi.”

“Widih, pacarku ternyata bisa masak!”

“Orang dari dulu anjir, gue sleding lo lama-lama.”

“Hehe, ampun Jun.”

Kedua lelaki itu pun memasuki ruang tamu dari kost milik Arjuna. Sudah tercium jelas; wangi masakan Arjuna di hidung Haidan. Baunya enak sekali.

“Kita makan dulu ya? Aku laper cil,” ajak Haidan. Dibalas dengan anggukan oleh Arjuna, Haidan langsung duduk di kursi dekat meja makan—dan langsung melahap daging di hadapannya itu.

Arjuna yang melihatnya memakan sangat lahap, tanpa sadar kedua sudut bibirnya terangkat. “Makan yang banyak, babe.

Haidan langsung tersenyum kepadanya, walaupun mulutnya masih dipenuhi dengan makanan. “Sini ikut makan bareng aku,” ucap Haidan. “Iya, ini aku mau makan juga kok.”


Selesai kegiatan makan-makan, kedua perut mereka pun sudah terisi sempurna oleh banyaknya makanan yang mereka lahap tadi. Rasanya kenyang.

“Cil,”

“Hm?”

“Liat kembang api di teras, mau?”

“Ayooo!”

Kedua insan itu akhirnya keluar dari ruangan, dan duduk di area teras kost. Malam ini terasa sejuk, membuat Haidan langsung memandang kekasihnya—yang hanya memakai atasan kaos dan celana pendek se-lutut.

Jeder! Jeder! Jeder!

Kembang api yang sepertinya milik tetangga, terdengar sangat keras dan terlihat indah. Menghiasi langit malam yang gelap itu.

“Pakai jaket aku, lagi dingin soalnya,” ucap Haidan sembari memakaikan jaketnya di tubuh Arjuna. “Modus,” balas Arjuna. “Biarin, toh sama kamu doang.”

Lagi-lagi, ucapannya berhasil membuat Arjuna tersenyum malu. Pipinya juga memerah sedikit. “Cie, salting ya?” goda Haidan. “Idih, ge-er!” gerutu Arjuna. Padahal tebakan Haidan benar.

Cup!

Haidan mengecup bibir Arjuna. “Jangan galak-galak, nanti gemesnya ilang loh,” goda Haidan. “Nggak ada yang peduli,” ucap Arjuna.

“Aku. Aku peduli. Kamu marah, seneng, sedih, atau ngerasain apapun itu, aku selalu peduli.”

“Masa?”

“Jelas dong!”

Then kiss me, tapi lebih lama.”

“Cih, nggak nyambung.”

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas, Haidan langsung mempertemukan kedua bibir mereka. Ya... walaupun ucapannya tadi sedikit bertolak belakang dengan kelakuannya.

Biasalah, karena gengsi.

Lalu, Haidan memiringkan kepala sedikit agar mempermudah ciumannya. Kedua lengan Arjuna pun dilingkarkan ke leher Haidan.

Mereka tidak peduli jika ada yang melihat mereka seperti ini.

Hanya langit malam, bintang dan kembang api yang menjadi saksi bisu kedua insan itu. Indah sekali. Hingga saatnya Arjuna kehabisan nafas, yang membuat Haidan langsung melepaskan tautan mereka.

“Maaf kelamaan...”

“Gapapa, aku suka kok.”

“Bener nih?”

“Iya, Haidan.”

“Aww, gemes banget pacar gue!”

Dan pada akhirnya, Haidan dan Arjuna menikmati malam itu sembari berpelukan di teras—serta memandangi kembang-kembang api yang menandakan tahun baru telah di mulai.

“Cil,”

“Ya, kenapa?”

Promise me, that we will stay together until the end.

I promise.

written by kalacaffe.